Setrum Kiai; Kenikmatan Surga di Dunia Fana - Santrijagad

Setrum Kiai; Kenikmatan Surga di Dunia Fana

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq

Tempo hari haul almarhum Mbah Kiai Ali Shodiq Umman di Ngunut Tulungagung. Sehari kemudian haul almarhum Mbah Kiai Ali Maksum di Krapyak Yogyakarta. Mbah Ali Shodiq selain dikenal sebagai alumni kebanggaan Lirboyo juga pernah mondok di Krapyak, bersahabat erat dengan almarhum Mbah Kiai Mufid Mas'ud Pandanaran.
KH. Ali Shodiq Umman (Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung) dan KH. Mufid Mas'ud (Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta)

Mengenang sosok-sosok seperti mereka, yang terbersit di benakku adalah tentang setrum. Tentang pendar-pendar energi spiritual dari diri mereka kepada orang sekelilingnya. Tentang daya tarik jiwa yang kuyakin itulah inti warisan para nabi sejak dahulu kala. Setrum yang berlaku di segala tempat dan zaman.

Setrum semacam itu tidak muncul hanya dari timbunan pengetahuan tanpa amal, juga tak sekedar dari ritual wirid tanpa landasan ilmu, apalagi tanpa keduanya. Melainkan dari konsistensi ilmu dan amal yang mendarah daging dalam diri mereka.

Sepengamatanku, kalangan intelektual yang kenyang ilmu namun tak hobi ritual punya kecenderungan meremehkan mereka yang giat beribadah thok. Misalnya kaum santri yang menganggap remeh kawula muda hijrah yang tak ngaji. Alasannya cukup berdasar, bahwa ilmu itu mulia dan pengemban ilmu memiliki kedudukan istimewa.

Begitupun sebaliknya. Kalangan pegiat ritual-ritual ibadah -yang kurang perhatian pada ilmu- cenderung meremehkan mereka yang sibuk berpengetahuan thok. Seperti ujaran mereka yang sedang puber agama kemudian meremehkan kalangan santri yang dibilang kurang ghirah agamanya. Alasannya juga telak, bahwa ilmu tanpa amal tiada gunanya.

Sedangkan kalangan yang bukan keduanya, bukan orang yang sibuk dalam disiplin keilmuan maupun ritual peribadatan, cenderung meremehkan semuanya. Ia punya othak athik gathuk pikirannya sendiri. Ia merasa merdeka dengan falsafahnya sendiri. Ia menganggap kalangan intelektual itu dangkal, dan menganggap kaum ritual itu bebal. Baginya, ukuran semua hal hanyalah rasa dan jiwa.

Justru kalangan yang tidak punya tendensi meremehkan siapapun adalah mereka yang ahli ilmu sekaligus ahli ibadah. Ilmunya amaliah, amalnya ilmiah. Sebab perpaduan ilmu dan amal inilah sehingga mereka betul-betul mampu menyentuh rasa dan jiwa, meski tanpa kata-kata.

Duduk sejenak bersama orang-orang semacam ini, bisa membuat semangat kebaikan kita memuncak tinggi hingga berminggu-minggu, meski tak diceramahi. Sekedar memandang wajah mereka, apalagi sampai ditatap oleh sorot matanya, serasa ada hawa sejuk merasuk ke dalam diri, kemudian melahirkan keinsafan yang mengisi 'baterai jiwa' hingga berhari-hari.

Orang-orang seperti Mbah Ali Shodiq, Mbah Mufid, Mbah Ali Maksum, Mbah Zainal, Mbah Hamid, Mbah Shonhaji, Abah Anom, Guru Ijai, Mbah Muntaha, Mbah Umar, Abuya Dimyati, dan tokoh-tokoh lainnya adalah contoh pribadi-pribadi bersetrum semacam itu. Sosok yang bila dibersamai terasa damai bagai di taman surga. Sosok yang dengan rela hati kita anggap guru meski belum tentu diakui.

Beruntunglah bagi Anda yang saat ini masih dianugerahi kesempatan untuk membersamai para penerus mereka. Bukan hanya penerus nasab, bukan hanya penerus sanad, tapi juga penerus setrumnya. Sangat tepat apa kata Habib Umar bin Hafizh dalam satu ungkapannya,

مصاحبة الرجال ذوى الوفاء
نعيم الخلد في دار الفناء

"Kebersamaan dengan sosok-sosok pemilik keteguhan hati, ialah sebentuk kenikmatan surgawi di dunia yang fana ini."

___
Kalibening, Salatiga, 14 Januari 2019.

No comments:

Post a Comment