Ketika Habib Ali al-Jufri Menyesali Poligami - Santrijagad

Ketika Habib Ali al-Jufri Menyesali Poligami

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Muhammad Ismael Amin al-Kholili

“Saya berpoligami, dan saya menyesal telah berpoligami,” begitulah pengakuan Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri ketika berdialog dengan para aktivis wanita Mesir dalam acara 'Momkeen' yang ditayangkan secara live di stasiun TV CBC. Rekaman dialog ini bisa ditonton di sini.


“Kenapa saya merasa perlu menceritakan pengamalan pribadi saya ini? Karena saya rasa ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan 'hanya' menyebutkan dalil-dalil dan pendapat para ulama,” lanjut Habib Ali.

“Saya bukannya menafikan ada sebagian praktek poligami yang bisa berdampak positif. Hanya saja 'nafsu' ini jika sudah terlanjur menginginkan sesuatu maka akan mencari-cari ribuan dalil dan alasan untuk membenarkan kemauannya. Ia akan mencari 'tameng' sehingga seakan-akan apa yang ia lakukan adalah hal suci nan mulia, padahal tujuan utama 'nafsu' ini adalah memuaskan keinginan pribadi.”

Habib Ali meneruskan penjelasannya, Khairi Ramadhan Sang pembawa acara dan 3 Aktivis wanita Mesir itu tampak serius menyimak, “Waktu itu umur saya 22 tahun. Dan saya berpoligami dengan alasan banyak syarifah-syarifah yang belum menikah. Kali saja dengan menikahi sebagian dari mereka saya bisa 'menjaga' mereka di rumah saya, dan dengan itu saya akan mendapatkan pahala karena telah membantu mereka.”

“Namun kemudian saya berpikir, saya mengintropeksi diri dan bertanya pada diri saya; Apakah niatmu itu benar-benar tulus? Jika memang begitu, mengapa engkau tidak memberikan hartamu itu untuk lelaki lain yang memang layak menikahi wanita-wanita itu ? Bukankah dengan itu kau juga akan mendapat pahala yang besar ? Mengapa 'harus' dirimu yang menikahi mereka bukan orang lain?”

Pernyataan Habib Ali ini mungkin membuat banyak pihak terkejut, tapi tentunya bukan berarti beliau menolak syariat poligami. Beliau tetap berpendapat bahwa poligami hukumnya 'mubah' atau bahkan dianjurkan dalam sebagian contoh kecilnya. Di dalam acara lain, Amantu Billah, ketika berdialog dengan aktivis liberal Mesir Hala Diyab, beliau berkomentar,

“Tidak ada yang salah dengan syariat poligami. hanya saja dari pengalaman pribadi saya, saya bisa menyimpulkan bahwa kebanyakan pria di zaman ini tidak layak untuk berpoligami, termasuk saya sendiri.”

Pengakuan beliau ini menurut saya adalah sebuah sindiran akan banyaknya fenomena-fenomena unik poligami di zaman now ini. Sekarang banyak ustadz muda yang baru 'viral' dikit aja, dengan wajah lumayan, memiliki banyak jama'ah wanita, langsung saja ia memilih ber-poligami lalu berteriak-teriak, “Sunnah! Sunnah!” Ia menampilkan dirinya sebagai pahlawan dan penegak sunnah, toh padahal yang ingin ia bela dan ingin ia tegakkan adalah 'nganu'-nya sendiri. Lebih miris lagi ia yang kesehariannya jauh sekali dari sunnah-sunnah rasul, nggak pernah Tahajjud, jarang sholat Dhuha, males-malesan puasa, tapi ketika ingin kawin lagi dengan berapi-api dia berkata: Sunnah! Sunnah!

Lagian siapa bilang poligami itu sunnah? Adakah dalil yang menyatakan bahwa mereka yang beristri banyak lebih tinggi derajat dan lebih melimpah pahalanya dari mereka yang hanya beristri satu? Menambah istri hukum aslinya adalah mubah (boleh) sama seperti ketika kita makan di warung lalu kita minta nambah es teh atau sepiring bakso. Syaikh Wahbah Zuhaily menegaskan bahwa menikahi satu wanita itu lebih utama, sedangkan poligami diperbolehkan dalam keadaan mendesak karena sebab-sebab tertentu. Pada asalnya, Islam sama sekali tidak pernah 'menganjurkan' poligami apalagi mewajibkannya.

إن نظام وحدة الزوجة هو الافضل و هو الغالب و هو الاصل شرعا و اما تعدد الزوجات فهو أمر نادر استثنائي و خلاف الاصل لا يلجأ اليه الا عند الحاجة الملحة و لم توجبه الشريعة على أحد و لم ترغب فيه و انما اباحته لأسباب عامة و خاصة

Senada dengan Syaikh Wahbah, Syaikh Al-Buthy juga berpendapat bahwa tidak seharusnya seorang lelaki menambah istri kecuali dalam keadaan gawat darurat. Tentu saja saya kaget ketika tempo hari membaca fatwa salah seorang ulama salafi-wahhabi yang menyatakan bahwa: siapa yang meyakini bahwa menikahi satu wanita lebih utama dari poligami maka ia dihukumi kafir!

Pada intinya poligami itu sama seperti rindu. Sama-sama berat. Ia yang tidak bijak dan adil dalam berpoligami akan dipermalukan Allah kelak di hari kiamat karena ia akan dibangkitkan dengan tubuh miring sebelah. Rasulullah bersabda,

من كانت له إمرأتان فمال إلى أحدهما جاء يوم القيامة و شقه مائل

“Barang siapa yang memiliki dua istri, lantas prilakunya condong pada salah satunya, maka kelak di hari kiamat ia akan dibangkitkan dengan tubuh miring sebelah.” (HR. Tirmidzi)

Menurut Habib Ali Al-Jufri, seorang yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan yang sempurna untuk menguasai keadaan, mengatasi konflik, dan mengobati 'luka'. dan tidak sembarang orang memiliki kemampuan seperti itu. Tak heran, ketika ditanya, “Mengapa Anda tidak mempunyai banyak istri layaknya ulama-ulama lainnya?” Syaikh Wahbah Zuhaily, ulama besar asal Suriah itu menjawab, “Seandainya boleh dan bisa tergambarkan menikahi 'setengah' wanita, maka aku akan menganjurkan para pemuda untuk menikahi setengah wanita saja! Ya setengah! Bukan satu!”

Punya satu istri saja tanggung jawabnya sudah sebegitu beratnya, gimana mau mikir nambah dua atau tiga? Mungkin itu yang ada dalam pikiran Syaikh Wahbah ketika menjawab pertanyaan itu.

Masih menukil kalam Habib Ali, “Meskipun mendengar ribuan dalil, nash-nash dan hikmah-hikmah syariat poligami, seorang perempuan tak akan pernah rela jika suaminya menikah lagi, ini adalah fitrah asli setiap wanita. Ini adalah tabiat setiap wanita dan sudah sewajarnya mereka seperti itu. Sayyidah Aisyah saja merasa cemburu kepada Sayyidah Khadijah padahal ia sudah wafat bertahun-tahun lamanya.”

Di sini Habib Ali seakan memberikan sindiran keras kepada mereka yang sudah membawa-bawa 'sunnah', eh malah menuduh istri yang tidak rela dipoligami sebagai istri yang cacat iman dan kurang berkah, mereka mengukur lemah-kuat keimanan istri hanya dari kesediaannya untuk dimadu atau tidak. Mereka yang mempunyai pandangan seperti itu seakan-akan sedang ingin membunuh tabiat dan 'fitrah' asli dari seorang wanita.

“Hanya saja,” Habib Ali menuturkan, “Seringkali apa yang ditetapkan syariat itu bertentangan dengan keinginan kita, terasa berat oleh nafsu kita.”

Beliau lalu menjelaskan bahwa Islam tidak pernah meminta seorang istri untuk tidak cemburu, atau memerintahkan istri untuk rela begitu saja ketika dimadu suami. Cemburu, tidak rela, jengkel, marah itu adalah hal yang wajar. Hanya saja jangan sampai hal-hal itu membuat seorang istri mengingkari suatu syariat yang diperbolehkan dalam islam. Akal juga harus bermain disini, bukan hanya nafsu dan perasaan.

Pada akhirnya tulisan ini hanyalah sebuah tulisan. Jangan ada yang terlalu baper, serius atau sepaneng membacanya. Saya penulis bebas, dan saya menulis apa yang ingin saya tulis. Sungguh bukan karena ingin menggalang suara ibu-ibu agar mereka mau menawarkan anak-anak gadis mereka, juga bukan karena iri atau ingin menyaingi para ustadz dan kiai muda yang sedang merencanakan proyek 'qobiltu' kedua atau ketiga. Sungguh bukan karena itu. Jadi selow-selow aja ya.

*Ismael Amin Kholil, 20 Desember, 2018.

No comments:

Post a Comment