Sufisme Dan Negeri Persia - Santrijagad

Sufisme Dan Negeri Persia

Bagikan Artikel Ini
Kota Bashrah, Kuffah, Damaskus, Kairo dan Baghdad beserta padang tandus Arabia, Sinai, dan Mesopotamia adalah pusat kelahiran dan perkembangan gerakan sufi. Bersamaan waktunya dengana gerakan sufi ini, lahir pula sebuah aliran mistik yang sangat besar vitalitasnya dan berpengaruh di daerah Khurasan yang terpencil dan jauh. Daerah yang merupakan jembatan penghubung antara Timur Tengah dan Timur Jauh. Tokoh Semi-Historis yang pertama diantara tokoh-tokoh suci Persia adalah Syeh Ibrohim Bin Adham “Pangeran dari Balkh”.
Persian Emperor Map

Sebelum masa Islam kota Balkh merupakan pusat masyarakat Budha yang besar. Ada peninggalan biara Budha yang bernama Naubahar masih dapat disaksikan berabad-abad sesudah kedatangan islam. Syeh Ibrahim mengembara dari Balkh ke Syiria untuk mencari nafkah yang halal. Kisahnya menyebutkan bahwa beliau meninggal ketika pertempuran antara angkatan kaum muslimin dengan angkatan laut Byzantium disekitar tahun 780M. Syeh Ibrahim telah menjalin hubungan pribadi dengan banyak tokoh sufi di Syiria dan Iraq.
"Makam Syeh Ibrahim Bin Adham, Sang Pangeran"

Selanjutnya ada Syeh Abu Yazid dari Bustam, genius mistik dari Khurasan, meninggal dunia sekitar tahun 875 M. Syeh Abu Yazid Al Bustami adalah manusia dengan spiritualitas mendalam. Seseorang yang telah lama berprihatin dan melakukan laku yang kemudian berhasil mencapai wushul kepada Allah. Kisahnya panjang mengenai pelariannya dari manusia yang sebatangkara menuju Allah Yang Maha Esa. Melalui Syeh Abu Yazid kita mengerti intoksikasi (melayang mabuk) dalam sufisme, mabuk kepada cinta Illahi.
Makam Syeh Yazid Al Bustami

Pada tahun-tahun pertama abad kesepuluh, sejarah menyaksikan puncak reaksi kaum Muslimin ortodoks terhadap transendentalisme individual dari para sufi. Pada tahun 922 Syeh Manshur Al Hallaj dihukum mati di kota Baghdad tahun 922M dengan tuduhan mengaku sebagai “Al Haq” oleh penguasa saat itu. Kemudian setelah peristiwa ini masyarakat sufi berusaha menciptakan rekonsiliasi dengan tradisionalisme dan kepercayaan yang bisa diterima masyakarakat.

Dalam memperjuangkan perdamaian ini (antara transedensi individual dan masyarakat) orang-orang Persia telah mengambil peran penting. Banyak literatur yang menjelaskan ucapan-ucapan para sufi yang tak lazim ke dalam bahasa masyarakat contohnya literatur dari Syeh As Saraj dari Thus (meninggal tahun 988M), Syeh Abubakar dari Kalabadz (955M) , ada pula yang terkenal dari Syeh Al Qusyairi dari Nishapur (meninggal tahun 1072). Dari Nishapur sendiri terkenal Syeh Umar Khayam, ada pula Syeh As Sulami (meninggal 1021) penulis koleksi tertua yang masih dapat ditemukan tentang biografi sufi. Dari Isfahan ada Syeh Abu Nu’aim (meninggal tahun 1038) dengan karya monumentalnya “hiasan manusia-manusia suci” yang kemudian menjadi rujukan tentang Hagiologi (ilmu tentang orang-orang suci kaum muslimin).

Semua tokoh diatas menulis karya-karya mereka di dalam bahasa Arab yang pada masa itu merupakan bahasa ilmiah dari kalangan atas di dunia islam. Sementara itu renaisans politik persia dibawah dinasti-dinasti Saffarid dan Samanid, dinasti yang pada hakikatnya merdeka telah menghidupkan kembali bahasa Persia. Bahasa ini secara dramatis mengalami transformasi dari bahasa Pahlawi Kuno sebagaimana bahasa Inggris dari bahasa Anglo-Saxon dan kedua fenomena ini terjadi karena negeri-negeri mereka dikuasai oleh kekuatan asing.

Pada abad kesebelas, untuk pertama kalinya terbitlah karangan-karangan mengenai sufisme dalam bahasa Persia. Secara resmi, Kasyful Mahjub kaya Syeh Hujwiri adalah buku teks berbahaa Persia yang bisa dikatakan pertama dalam membahas ajaran-ajaran sufi seperti karya Ar Risalah dari Al Qusyairi. Kemudian Al Anshari dari Hirat, ahli hukum terkemuka dari mazhab Hambali (meninggal tahun 1088M) yang walaupun telah menulis karya-karya besar di dalam bahasa Arab seperti “tahapan di dalam pengembaraan mistis” beliau kemudian beralih menggunakan bahasa Persia bahkan di dalam karya doa-doanya yang indah yaitu munajat.

Syeh Al Anshari juga telah memproduksi sebuah edisi yang diperbaharui ke dalam bahasa persia Hirati karya Syeh As Sulami yang berjudul “kelas para sufi”. Kutipan dari kitab Munajat ini merupakan prosa berirama sesuai dari asliinya dan menunjukan betapa teguhnya Syeh Al Anshari mempertahankan pemikiran dan pernyataan para sufi dari masa sebelumnya.

Wahai sahabatku
Pandanglah pemakaman nun jauh disana
Saksikan betapa banyak pusara di dalamnya
Berapa ratus ribu manusia tak berdaya
Berbaring di sana dalam kelelapan

Tiap orang diantara mereka
Telah membanting tulang dan berjuang
Juga terbakar oleh harapan hampa dan ketamakan
Pakaian gemerlap bertahtakan permata
Mereka menumpuk emas dan perak
Merampas nafkah orang banyak
Berlomba dengan tipu muslihat
Mencari banyak uang
Dan akhirnya dengan penuh keluh sesal
Dibaringkan buat menghadap ajal

Gudang kekayaan mereka penuhkan
Dan didalam jiwa mereka tertanam benih ketamakan
Tapi akhirnya semua itu mereka tinggalkan
Sungguh menyedihkan dengan tak terduga
Terjerembablah mereka di pintu kematian
Dan disanalah cangkir takdir
Yang akan mereka minum

Wahai sahbatku renungkanlah bimbang hatimu
Dan bergegaslah engkau ke pintu taubat
Jika tidak ketahuilah olehmu
Bahwa engkau akan tersiksa selamanya

(Syeh Al Anshari, Munajat)

Pada masa yang sama ada pula hiduplah Syeh Abu Sa’id bin Abilkhail dari Marihana (Khurasan) seorang saleh yang sering berbalas surat dengan Ibnu Sina terkenal dengan syair 4 barisnya (Rubai), ciptaan baru yang mulai populer pada masa itu sebagai media penyampaian ide-ide dan pengalaman mistis.

Baba Thahir, seorang guru sufi yang mengembara yang semasa dengan Syeh Abu Sa’id menggubah syair-syair berbahasa daerah ke dalam bentuk yang menyerupai Ruba’i untuk memuja kekasih tercinta, kekasih yang digambarkan bersifat pemalu an sangat enggan bagai perawan desa.

Bagaikan kembang bakung diatas mawar
Rambutmu yang terurai diuntai
Kibaskan rambutmu yang gemerlap itu
Dan lihat betapa seorang remaja
Bergantung pada sehelai rambutmu
Semilir yang memeriakkan rambutmu
Harum semerbak melebihi bunga
Di dalam tidur kudekap bayangmu
Dan apabila mataku terbuka
Tercium olehku semerbak mawar

Berilah aku dua untaian rambutmu
Untuk pengingat serulingku ini
Karena engkau tak akan membalas cintaku
Mengapa engkau setiap malam mengantarkan
Mimpi-mimpi syahdu penyayat hati

Dua buah mata yang memandang redup
Dua buah rambut yang teruntai lepasa
Sebuah tubuh yang ramping menggoda
Benarkah engkau berkata:
“Mengapakah engkau berduka”

Kaulah pemilik jiwa ragaku
Wahai kekasihku yang manis suci
Tak dapat kukatakan apa yang kudukakan
Namun yang kuketahui pasti
Engkaulah penawar hati

(Baba Tahir)

*Sumber: Pengantar Buku Tadzkiraat Al Auliya, Syeh Fariduddin Attar

No comments:

Post a Comment