Selesaikan Hidupmu! - Santrijagad

Selesaikan Hidupmu!

Bagikan Artikel Ini
Oleh: KH. Nurul Huda Haem

Pernahkah Anda berjumpa dengan seorang kiai yang kelihatannya tidak bekerja tetapi kekayaannya luar biasa? Saya pernah, seorang guru memperkenalkan saya dengan sosok kiai di pulau Jawa. Meski harta berlimpah ruah sejagat raya, tak setitikpun hatinya itu kepincut sama hartanya. Kuda Australi ada 30 ekor, belum lagi mobil dari Innova sampe Ferrari.

Kiainya tak kedengaran berbisnis, memang tidak dikenal sebagai pengusaha, meski sebenarnya beberapa jenis usaha ada dilakukannya, cuma syarat saja, supaya secara syariat tidak kesalahan. Beliau juga bukan penceramah kondang, apalagi menetapkan tarif. Beliau hanya ada di pondoknya saja, mengawal para santrinya, lalu sesekali keliling dunia, entah untuk apa. Hanya pernah beliau mengatakan, "Hidup ini cuma main-main dan senda gurau, jangan terlalu serius, masa' Allah ciptakan bumi Eropa yang eksotis nan indah sampean gak datangi?"

Mengapa bisa kaya raya? Jawaban yang sempat saya simpulkan; limpahan berkat yang tak tertahankan. Apa yang mereka mau niscaya Allah kirimkan. Hidup mereka itu sudah sampai pada point of no return, istilahnya 'sudah sampai' alias wushúl, wis teko.

Tapi kesimpulan saya itu salah. Apakah semata-mata karena berkat, gampang banget, lalu apa proses sebelumnya? Saya coba menelusurinya sampai ketemu kata ajaib ini; awareness, kesadaran!

Sang kiai kaya raya yang saya pernah temui itu tidak pernah setitikpun berkeinginan mendapatkan berkat, boro-boro ingin, terlintas dalam pikiran dan hati saja tidak. Ia menyempurnakan kepercayaan dan penerimaannya bahwa everything is done, di tangan Allah semua sudah selesai. Semua peristiwa, semua kejadian, tidak ada yang meleset. Besar kecilnya, kuat lemahnya, berat ringannya, semua sudah ada catatan-Nya. Kepercayaan semacam ini diterimanya dengan damai, tulus, ikhlas, tanpa protes, tanpa tapi.

Jenis kepercayaan dan penerimaan semacam ini pernah dialami oleh seorang kekasih Allah bernama Dzunnun al Mishri, sebagaimana pernah diceritakan oleh pengarang kitab Risalah al-Qusyairiyyah. Bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya, "Wahai Abu al-Faidl!" begitu ia memanggil demi menghormatinya, "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah?"

"Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu," begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran, "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku."

Lalu Dzunnun berkata, "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkuk berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad: cukup, aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah. Aku pun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Mahakasih berkenan menerimaku."

Kesadaran, awareness.

Saya ingin menulis kesadaran itu setara dengan apa yang disebut 'irfan. seseorang yang mencapai maqam kesadaran irfani disebut sebagai al-'Árif Billâh. Momentumnya perjumpaan antara Murîd dengan Murâd.

Murîd adalah individu yang telah melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, yang sepenuhnya berserah kepada kehendak sang Mahakuasa sang Mahamutlak yang di tangan-Nya tergenggam kendali segala sesuatu, dari atom sampai galaksi. Sementara "murâd" adalah jiwa bahagia yang telah bergerak hanya dengan apa yang diinginkan oleh Tuhan, dan tertutup sama sekali dari yang selain Dia, sehingga sang hamba tidak lagi memiliki keinginan atau pun hasrat selain ridha-Nya. Demikianlah ia menjadi sosok yang diingini dan menjadi perhatian Allah.

Lalu cukupkah dengan kesadaran semacam itu? Sebentar. Ini belum selesai.

Jiwa yang tercerahkan oleh kesadaran semacam di atas tadi akan bergerak mengarungi samudera kehidupan dengan tanpa beban, jiwa yang sangat tenang. Lâ khaufun 'alaihim wa lâ hun yahzanûn.

Ketenangan menutup pintu kepanikan! Maka aktivitas 'kerja' yang dijalani lewat hati yang tenang itulah kerja sesungguhnya. Maka kesadaran irfani yang menggerakkan 'kerja' itulah kerja sesungguhnya. Maka ketulusan hati yang melandasi pekerjaanmu itulah 'kerja' yang sesungguhnya. Maka kegembiraan hatimu menggembirakan orang lain, termasuk customermu, itulah 'kerja' sesungguhnya.

Jadi, pergi ke sawah, buka toko, mburuh di pabrik, masuk kantor, memburu berita dan semua jenis pekerjaan dan usaha duniawi lainnya itu punya nilai apa? Ya tidak ada artinya selama dikerjakan tanpa kesadaran, tanpa ketenangan, tanpa ketulusan dan tanpa spirit pelayanan yang penuh kegembiraan.

Jadi para kiai yang kaya raya itu bekerja atau tidak?

Hussss, sampean itu santri kok kepo gak ketulungan, endasmuuuù, para kiai itu hanya menjaga keseimbangan dan menghindari terjadinya fitnah. Ojo macem-macem.

Lalu, implementasinya buat yang bukan kiai bagaimana?

Sama saja. Teman saya baru berhenti dari ASN, bukan pensiun dini, tapi berhenti atas permintaan sendiri. Dia kaya raya, banget. Saya pernah tanya, apa rahasiamu bisa apa saja yang dimaui itu mewujud nyata? Dia jawab, "Ra usah dipikir, jalani saja peranmu dengan baik, nanti dipertemukan, kalau kamu kepingin bertemu malah stress, nanti saja dipertemukan."

Jika kau menginginkan kesenangan
Sepenuhnya lepaskan semua kemelekatan
Dengan melepaskan semua kemelekatan
Kesenangan paling sempurna ditemukan
Selama kau mengikuti kemelekatan
Kepuasan tidak akan pernah ditemukan
Siapapun menjauhi kemelekatan
Dengan kebijaksanaan ia mencapai kepuasan

*Ditulis oleh KH. Nurul Huda Haem di akun facebooknya, pengasuh Pesantren Motivasi Indonesia, Bekasi.

No comments:

Post a Comment