OLEH: RIJAL MUMAZZIQ ZIONIS
Menjelang Gestapu, di sebuah kebun di belakang kantor PKI di Desa/ Kec. Jombang Kab. Jember, beberapa orang asyik menggali lubang berbentuk persegi empat agak luas.
"Mau dibikin apa cak?" tanya tetangga yang tinggal di samping kantor PKI.
"Ya cuma mau bikin kolam ikan," jawab salah satu pekerja.
"Kolamnya agak luas ya?"
Pekerjanya hanya mengangguk sambil melanjutkan aktivitas penggalian.
30 September 1965, G-30-S/PKI pecah. Kabar ini baru sampai di daerah Jawa Timur beberapa hari setelahnya. Reaksi berbagai kelompok anggota Nasakom yang beragam semakin memanaskan suasana politik ideologis. Termasuk di desa yang terletak di sebelah barat kecamatan Kencong tersebut.
Di desa ini, tentara merangsek ke markas PKI yang telah melompong ditinggal pergi anggotanya. Di antara sisa-sisa dokumen yang terbakar, tersisa beberapa lembar dokumen yang hanya terjilat api di bagian pinggir. Lumayan, masih bisa di baca. Di dokumen tersebut, tertera nama-nama kiai yang menjadi target "culik-bunuh".
Daftar urutan "culik bunuh": Kiai Syafawi Abdul Basyir, Haji Mas'ud, Kiai Subki, Haji Kurdi, menyusul beberapa nama tokoh masyarakat dan tentara. Nama-nama inilah yang, konon, bakal dieksekusi dan dikubur di "kolam ikan" di belakang markas PKI Desa Jombang. Untunglah, sepasukan tentara yang dibantu pemuda Ansor dan beberapa santri telah bersiaga dan rencana PKI tak jadi dilaksanakan.
Beberapa minggu selepas G-30-S/PKI, di Desa Jombang, suasana masih mencekam. Para pemuda kampung dan para santri merapat di Pondok Pesantren Mabda'ul Maarif. Semua siaga berjaga. Di tengah kondisi yang tak pasti dan seringkali terjadi pembersihan kaum komunis itulah, Kiai Syafawi Abdul Basyir menunjukkan kebijaksanaannya. Meski ia dan keluarganya menjadi target "culik-bunuh" PKI, namun ia sendiri malah pasang badan melindungi orang-orang komunis dan abangan yang tiba-tiba meminta perlindungan kepadanya.
Bisa dibilang, tak ada pembantaian besar-besaran kaum komunis di sekitar zona pondok. Hanya saja, sungai kecil berair jernih di depan pondok saat itu tiba-tiba memerah darah. Beberapa mayat korban pembantaian ada di dalamnya, mengikuti aliran sungai yang mengalir ke pantai selatan. Mereka, konon, adalah kaum komunis korban pembantaian di Desa Ngampelrejo dan Ringinsari, dua desa yang terletak beberapa kilometer di utara Desa Jombang.
Bagaimana dengan aktivitas di pondok? Zona Pondok Pesantren PP. Mabdaul Ma'arif terhitung aman bagi siapapun yang berlindung di sana. Orang-orang abangan dan komunis yang sebelumnya jarang sembahyang, tiba-tiba menyesaki masjid kecil di pondok. Yang tak pernah memakai kopiah dan sarung tiba-tiba memakai pakaian tersebut. Semua tiba-tiba tampak "Islami". Tak ada masalah, semua diterima dengan tangan terbuka, sebab meski abangan dan ada juga yang komunis, anak-anak mereka juga mengaji di pondok yang diasuh Kiai Syafawi.
Mengapa harus menerima (dan bahkan melindungi) kaum komunis yang, konon, atheis?
"Bukankah mereka juga manusia?" demikian saya membayangkan jawaban Kiai Syafawi saat itu, meminjam jawaban Rasulullah ketika berdiri menghormati jenazah orang Yahudi. [Bm]
*Sumber: Facebook Timeline