Memperbaiki Dakwah Hijrah - Santrijagad

Memperbaiki Dakwah Hijrah

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Zia Ul Haq

Ustadz Hanan Ataki Lc. punya wadah atau komunitas dakwah yang ia sebut ‘Shift’ atau ‘Pemuda Hijrah’. Evie Effendi yang tempo hari menuai kontroversi juga termasuk pegiat dalam komunitas itu. Mereka memakai pendekatan ‘dakwah gaul’ ala anak muda perkotaan. Perlu digarisbawahi di sini istilah ‘perkotaan’, sebab yang ditarget memang anak-anak muda urban yang jengah dengan hedonisme ala kota. Hal ini bisa kita amati dari atribut-atribut yang ditampilkan, semisal kupluk, hoodie, skateboard, t-shirt, jins, kafe, dan semisalnya.

Gerakan mereka cukup atraktif dan disambut baik oleh para ‘pemuda-pemudi hijrah’. Terbukti dari kajian rutin yang selalu padat pengunjung di beberapa titik kota besar, belum lagi geliat kajian mereka melalui media sosial populer saat ini. Mungkin kajiannya memang tidak sedalam bahasan Ustadz Abdul Somad, Lc. M.A. dengan ‘Tafaqquh’-nya, atau Ustadz Adi Hidayat Lc., M.A. dengan ‘Akhyar’-nya. Namun bisa dimaklumi sebab targetnya adalah sekedar menampung dan membuat nyaman para muda yang ingin ‘pulang’ ke masjid.

Secara pribadi, saya sangat mengapresiasi upaya semacam itu, terlepas dari kualitas penyampaian atau hal-hal lain yang bisa disebut sebagai kekurangan sebagaimana sering digunjingkan oleh teman-teman dari pesantren. Kalangan santri tentu sangat alergi melihat pengajian rutin keagamaan tanpa membuka kitab salaf, mengimami salat mengenakan kaos dan celana jins, atau menggelar tanya jawab sekenanya tanpa mengutip qaul mu’tabar. Oke lah, hal-hal itu bisa jadi bahan kritik. Namun upaya mereka masih patut diapresiasi, sebab mereka bisa masuk di ruang dakwah yang hampir tidak tersentuh secara masal oleh kalangan sarungan.

Kalangan santri masih sebelah mata memandang gerakan ‘dakwah hijrah’ semacam itu. Mereka memandangnya sebagai suatu bentuk pengajian yang tidak mengindahkan adab (unggah-ungguh) keilmuan, jauh dari para ulama yang sebenarnya, dan maunya instan dalam beragama. Sayangnya, pandangan semacam ini membuat mereka menyinyiri gerakan tersebut dan menganjurkan khalayak untuk menjauhinya. Bukan malah mengapresiasi, mendekati, dan memperbaikinya agar sesuai dengan idealisme keilmuan dan keadaban ala santri.

Memangnya apakah gerakan pengajian ala-ala ‘dakwah hijrah’ yang bersampul gaul kekinian itu bisa melek adab, bisa sarat keilmuan kitab-kitab salaf, dan bisa basah dengan guyuran ulama sepuh? Sangat bisa. Sayangnya saya belum melihat sampelnya di negeri kita, dan contoh yang akan saya gambarkan ini bukan di Indonesia, melainkan di California, Amerika Serikat.
Ustadz Usama Canon dalam salah satu kegiatan pengajian di Ta'leef Collective

Ta’leef Collective nama komunitas itu. Suatu wadah dakwah non-profit yang program utamanya adalah mendidik para mualaf dan ‘pemuda-pemudi hijrah’. Slogannya, “Come as you are, into Islam as it is.” Ada empat program dakwah di Ta’leef Collective. Pertama, Convert Care, yakni asistensi intelektual dan emosional bagi para mualaf yang baru masuk Islam. Kedua, Inheritors, yaitu program kajian Islam bagi muda-mudi muslim usia 13-30 tahun berupa mentoring, diskusi kelompok, dan edutainment.

Ketiga, Living and Learning, berupa program kajian umum untuk seluruh anggota komunitas, seperti kajian bahasa Arab, muamalah, akhlak, akidah, dan sirah nabawiyah. Keempat, Ta’leef Academy, semacam program kaderisasi dai muslim secara berkelanjutan demi memenuhi kebutuhan penyebaran dakwah Islam damai di Amerika. Di program ini, para peserta diperkenalkan dengan tradisi keilmuan Islam otoritatif dan bersanad.

Kegiatan-kegiatan Ta’leef Collective diformat sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Amerika yang terbuka. Bagi ukuran kita, tampilan pengajiannya pun termasuk gaul dan kekinian yang bisa Anda bisa lihat di web dan akun-akun medsos Ta'leef Collective. Meski demikian, mereka masih tetap mengaitkan segala kegiatan kajiannya dengan khazanah keilmuan Islam yang ‘basah’ dengan bimbingan para ulama otoritatif setempat.

Selain diisi oleh dai-dai mudanya sendiri, Ta’leef Collective juga rutin menghadirkan para ‘kiai’ semisal Imam Zaid Shakir, Syaikh Umar Faruq Abdullah, Syaikh Hamza Yusuf, Ustadz Yahya Rhodus, atau Syaikh Abdul Hakim Murad untuk mengisi kajian. Di momen-momen tertentu, semisal maulid, Ta’leef juga kerap mengundang ulama dari luar negeri semisal Syaikh Salek bin Sidina dari Mauritania, Habib Husain as-Segaf, atau Habib Umar al-Haddad dari Yaman untuk menyampaikan wejangan. Bahkan update terakhir, Ta’leef dikunjungi salah satu ulama sepuh dunia yang aktif mendakwahkan perdamaian, Syaikh Abdullah bin Bayyah.

Asik ‘kan?

Komunitas progresif ini didirikan oleh duo sahabat muallaf, Mustafa Davis dan Usama Canon yang masuk Islam pada tahun 1996. Bagi Anda yang kerap mencari foto-foto habaib berkualitas bagus di internet, pasti tak asing dengan watermark Mustafa Davis, lulusan filmmaking di New York Academy. Sedangkan Ustadz Usama Canon belakangan dikenal sebagai dai cum akademisi muslim aktif di seantero Amerika mengikuti langkah gurunya, Syaikh Hamza Yusuf.

Setelah masuk Islam, Ustadz Usama Canon yang mengidap ALS (penyakit degeneratif syaraf) ini belajar di Zaytuna College, lembaga pendidikan Islam asuhan Syaikh Hamza Yusuf. Selesai belajar di sana, ia lanjut mengaji ke Maroko, Mesir, dan Yaman. Sekembalinya ke Amerika, ia bersama Mustava Davis mendirikan Ta’leef Collective pada 2005.

Saya menganggap orang-orang seperti mereka ini sebagai santri, sebab mereka sudah melakoni proses mengaji yang bertahap di hadapan guru yang otoritatif sebagaimana tradisi pesantren. Tidak seperti –maaf- beberapa gelintir muallaf atau ‘pemuda hijrah’ negeri ini yang enggan menjalani proses tersebut, memilih otodidak, kemudian langsung terjun ceramah.

Melalui Ta’leef Collective, Ustadz Usama Canon menjadi santri yang berhasil membahasakan tradisi keilmuan Islam salaf ke nuansa kekinian. Ia bisa menjadi penyambung antara kearifan sepuh dengan semangat muda dalam wadah yang nyaman. Wajah semacam inilah yang kita harapkan dari komunitas-komunitas dakwah hijrah di negeri kita. Tapi agaknya hal ini belum bisa begitu diharapkan muncul dari kalangan muda-mudi santri, sebab mereka belum familiar dengan dakwah berbasis komunitas, masih terpaku menjadi ‘lone-wolf muballigh’.

Padahal dakwah berbasis komunitas inklusif sudah dicontohkan para kiai sepuh. Sebut saja Gus Miek dengan Jantiko-Mantab-nya, atau Kiai Asrori dengan Al-Khidmah-nya, yang saya amati tema besarnya juga ‘hijrah’, meskipun segmennya lebih ke orang-orang dewasa. Nah, tinggal para santri muda mau menggarap wilayah ‘pemuda hijrah’ atau tidak.

Terakhir, saya melihat ada dua contoh tokoh santri muda yang representatif untuk hal ini. Yakni Gus Rifqiel Asyiq al-Hafizh pengajar di Pesantren Darul Quran yang akrab dengan beragam komunitas anak muda. Serta Gus Aqib Malik yang aktif menjadi dai motivator melalui Maliki Center-nya. Tabik!

_________
Kalibening, 27 Agustus 2018.

No comments:

Post a Comment