Oleh : Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq
Islam
memerintahkan kaum perempuan untuk memakai hijab yang dapat membuat mereka
tampil elegan, terhormat, dan terhindar dari sikap tak simpatik kaum lelaki.
Dengan demikian, hijab sejatinya menjadi alat pemelihara dan pelindung kaum
perempuan, bukan pengekang dan penghambat dalam beraktivitas. Karena itu, hijab
dalam ajaran Islam tidak sampai pada keharusan menutup wajah dan dua telapak
tangan, satu bentuk berpakaian yang sebenarnya berasal dari tradisi masyarakat
tertentu dan tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam sesungguhnya.
Menarik
untuk dicatat, bahwa berhijab sebenarnya telah dianggap sebagai salah satu
bentuk pengejawantahan dari kesalehan dan keluhuran moral, bukan saja dalam
pandangan islam, tapi juga dalam pandangan Kristen. Model pakaian yang
dikenakan para biarawati yang menutupi tubuh dan kepala mereka, misalnya,
menjadi bukti pandangan positif Kristen terhadap hijab. Di dalam Perjanjian Baru,
bahkan terdapat perintah bagi kaum perempuan untuk menutup kepala dan rambut
mereka saat beribadah. ( lihat: Surat paulus yang pertama kepada jemaat di
korintus 11:10.). Oleh karena itu, tak aneh bila para wanita-baik ibu kepala
Negara maupun selebriti ternama-merasa perlu menutup kepala dan rambut mereka
saat bertemu dengan Paus di Vatikan.
Agama
Islam sama sekali tak pernah membatasi kaum perempuan untuk mendapatkan hak
pendidikan. Bahkan sebaliknya, Islam memerintahkan dengan tegas kewajiban
belajar dan menuntut ilmu bagi laki-laki maupun perempuan, tanpa pembedaan,
sebagaiamana hadist Nabi saw.: “ Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap
muslimin dan muslimah.” (HR. Ibnu Majah dalam Muqoddimah sunan-nya.)
Oleh
karena itu, bukanlah suatu hal yang bersifat kebetulan jika dalam sejarah
panjang umat islam, kita mendapatkan cukup banyak nama-nama perempuan yang
menjadi pakar di bidang keagamaan, sastra dan humaniora. Tatkala Rasulullah
saw. menikahi Hafshah ra. yang telah
memiliki pengetahuan dasar membaca dan menulis, beliau masih merasa perlu
memanggil Syifa’ al adawiyah untuk meningkatkan dan mengembangkan seni
baca-tulis sang istri, Hafshah ra. Sayyidatuna A’isyah ra., istri Nabi saw yang
lain, bahkan dikenal sebagai wanita yang sangat menonjol dalam pengetahuan
keagamaan, mengungguli sahabat-sahabat yang lain. Tak heran bila Rasulullah
saw. sendiri pernah berpesan kepada para sahabatnya untuk menggali ilmu-ilmu
agama dari Aisyah ra.
Sebagaimana
hak belajar dan hak mendapatkan pendidikan, Islam juga tidak melarang kaum
perempuan untuk bekerja dan berkarir. Kaum perempuan memiliki hak untuk bekerja
dan mengembangkan karir yang mereka butuhkan dan sesuai dengan kemampuan dan
keahlian yang mereka miliki.
Dalam
kajian keislaman, kita tidak menemukan nash-nash keagamaan yang melarang
perempuan untuk belajar dan bekerja. Bahkan di masa Rasulullah saw. hidup, kaum
perempuan telah memberikan kontribusi positif dalam berbagai bidang pekerjaan,
seperti membantu para tentara, menjadi paramedis mengobati yang terluka, dan pelbagai
bidang pekerjaaan lain yang lazim dan dibutuhkan pada masa itu.
Setelah
penjelasan diatas, tampaknya menjadi suatu keharusan bagi kita untuk membuat
garis demarkasi antara ajaran murni Islam yang jelas-jelas menjaga dan membela
hak-hak kaum perempuan di satu pihak, dan budaya atau adat istiadat yang
berlaku di beberapa komunitas muslim yang membelenggu hak-hak mereka untuk
bekerja dan mendapatkan pendidikan di pihak yang lain. Budaya atau adat
istiadat yang disebut terakhir ini tentu saja tidak direstui Islam. Betapa
tidak ? Islam yang sangat menghormati kaum perempuan justru berkepentingan
untuk membentuk kepribadian kaum perempuan agar dapat menjalankan fungsi mereka
sebagai “madrasah” bagi putra-putri mereka, serta berperan aktif menelurkan dan
membina generasi-generasi Islam yang diharapkan akan menjadi tulang punggung
kemajuan dan kejayaan masyarakat dan bangsanya.
No comments:
Post a Comment