Pesantren Sebagai Pusaka Walisongo - Santrijagad

Pesantren Sebagai Pusaka Walisongo

Bagikan Artikel Ini
Oleh: KH Agus Sunyoto – Pesantren Tarbiyatul ‘Arifin Malang

KH Agus Sunyoto
Atlas Walisongo ini saya tulis karena ada upaya sistematis untuk menghilangkan keberadaan Walisongo. Padahal kalangan sejarawan, seperti yang tertulis dalam Sejarah Indonesia Modern, mencatat bahwa Islamisasi di Tanah Jawa pasca Walisongo terjadi begitu cepat dan tidak masuk akal. Apa yang menjadikan proses ini begitu cepat masih menjadi misteri bagi kalangan sejarawan.

Kenapa dianggap tidak masuk akal? Alasannya:

Islam dibawa oleh saudagar-saudagar dari Timur Tengah ke Nusantara dimulai pada abad ke-6 Masehi. Menurut catatan Dinasti Tan (China), tahun 670 M sudah ada saudagar Arab yang sampai di Kerajaan Kalingga di Tanah Jawa. Tetapi setelah ratusan tahun kemudian Islam tidak berkembang secara masif. Islam hanya dianut oleh orang-orang asing.

Buktinya, enam ratus tahun kemudian, sekitar tahun 1292, Marcopolo pulang dari China lewat jalur laut ke Teluk Persia, ia singgah di Perlak. Ia menyebutkan bahwa penduduk Perlak terdiri dari tiga kelompok masyarakat: orang-orang China yang beragama Islam, orang-orang Arab dan Persia yang juga beragama Islam, penduduk pribumi yang menganut animisme dan dinamisme. Bahkan, di pedalaman, ia mencatat masih ada suku-suku kanibal yang saling makan sesama manusia.

Nah, seratus tahun kemudian, tahun 1405, Laksamana Cheng Ho pertama kali datang di Tanah Jawa saat Wikramawardhana menjadi raja. Dicatat oleh juru tulis Cheng Ho ketika singgah di Tuban, ada seribu keluarga China, semuanya muslim. Begitu pula keadaan di Gresik dan Surabaya di masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa Islam belum berkembang secara masal di masyarakat.

Bahkan ketika terakhir Cheng Ho datang ke Nusantara, pada perjalanannya ke tujuh, yakni tahun 1433, ia mengajak seorang juru tulis bernama Ma Huan (seorang haji), tercatat bahwa penduduk Pulau Jawa sepanjang pantai utara terdiri dari tiga kelompok masyarakat. Yaitu; orang-orang China yang semua beragama Islam, orang-orang Timur Tengah yang juga beragama Islam, dan penduduk mayoritas pribumi yang –menurut Ma Huan- masih kafir semua.

Jadi, dari tahun 670 sampai 1433 atau sekitar delapan ratus tahun Islam belum bisa diterima di sini. Itu fakta sejarah. Lalu tujuh tahun kemudian, dari Champa (sekarang di Vietnam) datang rombongan Sunan Ampel yang merupakan periode awal Walisongo. Ketika Sunan Ampel datang ke Majapahit, beliau diangkat menjadi imam di Surabaya, sedangkan kakaknya, Ali Murtadha, diangkat menjadi imam di Gresik. Setelah itu putra-putra Sunan Ampel, yakni Sunan Bonang, Sunan Drajad, kemudian menantunya, Raden Patah, Sunan Giri, dan lainnya mulai dakwah dan dikenal sebagai generasi Walisongo.

Generasi ini mulai terbentuk sekitar tahun 1470 saat putra-putra Sunan Ampel sudah dewasa, mereka berdakwah dengan metode kultural di tengah masyarakat. Kira-kira, lima puluh tahun kemudian, yakni tahun 1515, seorang Portugis bernama Tommy Pires datang ke Jawa, saat itu masih ada Sunan Kalijaga. Ia mencatat bahwa sepanjang pantai utara Pulau Jawa penguasanya adalah adipati-adipati beragama Islam, sedangkan kerajaan yang non-muslim berada di pedalaman, yakni Majapahit dengan Wijaya sebagai rajanya.

Artinya, setelah era Walisongo, penduduk sepanjang pantai utara Jawa sudah muslim semua. Berarti dakwah itu dilakukan oleh Walisongo, karena sebelum masa mereka, selama delapan ratus tahun, tidak ada perkembangan signifikan yang terjadi. Inilah yang dianggap oleh para sejarawan sebagai hal yang tidak masuk akal. Dengan waktu sesingkat itu, sekitar satu generasi, sudah bisa mengislamkan seluruh Jawa, bahkan tercatat bahwa dakwah Walisongo sampai ke Hitu di Maluku. Sejarawan dunia mengakui adanya perkembangan drastis masyarakat muslim pasca Walisongo, namun belum bisa menjawab keluarbiasaan ini.

Stratifikasi Masyarakat Nusantara

Ternyata, kalau kita kaji dengan kacamata sosiologis masyarakat saat itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam tidak bisa diterima oleh masyarakat di Nusantara secara massal.

Ketika Islam berkembang di jazirah Arab, Rasulullah pernah mengirim surat kepada Raja Persia sebagai ajakan memeluk Islam, tetapi ditolak. Begitu juga ketika surat dikirim ke Romawi, Raja Heraklius pun menolak. Mereka merasa sudah berperadaban maju sehingga tidak mau mengikuti ajakan orang-orang dari padang pasir. Rupanya kasus ini juga terjadi di Nusantara. Ketika saudagar-saudagar Islam dari Timur Tengah dating, peradaban di sini sudah maju, bahkan teknologi di sini sudah berkembang pesat.

Contohnya, pada abad ke-3, tahun 272, ada seorang petugas bea cukai dari pelabuhan Guang Zhou bernama Huan Zen menulis bahwa kapal dagang yang datang dari selatan (Jawa) berukuran tiga kali kapal dagang China. Jong-jong China paling panjang 20 meter, sedangkan kapal kita 65 meter panjangnya, dan tinggi geladaknya dari permukaan laut setinggi 10 meter serta mampu menampung 700 awak kapal dan 10.000 ton muatan. Bayangkan, abad 3 masehi bangsa kita sudah mencapai kemajuan teknologi seperti itu, bakan China belum bisa. Belum lagi kalau melihat kemampuan membangun candi-candi besar fenomenal.

Bahkan sejak tahun 648 M, bangsa kita sudah memiliki kitab undang-undang hukum pidana dan perdata. Kitab ini bernama Kalingga Dharmasastra yang disusun oleh Raja Kalingga saat itu, Kartikea Singha, terdiri dari 119 pasal. Pada masa yang sezaman dengan masa Khalifah Usman di Timur Tengah ini kita sudah memiliki kemajuan sistem pemerintahan. Raja saat itu hanya berperan sebagai kepala negara yang membawahi para hakim dan jaksa. Sedangkan yang mengurusi eksekutif pemerintahan adalah mahapatih. Sistem demokrasi yang dipraktekkan masa itu adalah raja memiliki kewenangan untuk menerima laporan langsung dari rakyat.

Caranya, raja memiliki tempat khusus di alun-alun, diapit dua beringin besar, untuk mendengarkan keluh kesah rakyat. Rakyat yang hendak protes terhadap kebijakan pemerintahan akan berjemur di alun-alun dengan hanya mengenakan cawat, tradisi ini disebut dengan ‘pepe’. Saat hari sudah siang, ada petugas yang akan membawa orang tersebut untuk menghadap raja. Di sanalah si rakyat sowan menyampaikan keluh kesahnya kepada raja atas jalannya pemerintahan. Semakin banyak orang apor, maka makin terlihat kinerja pemerintahan, dari sinilah raja mempertimbangkan kebijakannya.

Dan saat itu berlaku aturan bahwa raja dan pejabat harus dari kalangan Ksatria. Di dalam kitab tentang ketatanegaraan dan aturan kehidupan sosial masyarakat saat itu, disebutkan bahwa kalangan Ksatria adalah orang yang tidak punya kekayaan pribadi, semua kekayaannya milik Negara, sehingga tidak bisa korupsi karena memang tidak diperbolehkan memiliki kekayaan.

Jika seseorang memiliki kekayaan pribadi, maka status sosialnya turun menjadi golongan Waisya, yakni petani, karena ia sudah punya rumah, sawah, ternak, dan itu dianggap rendah. Dan bila kekayaannya lebih besar lagi, maka kedudukan sosialnya pun turun lagi menjadi Sudra, yakni golongan saudagar, rentenir, tuan tanah. Asumsi masyarakat pada saat itu, rendahnya derajat sosial ditandai dengan kepemilikan harta benda duniawi yang semakin melimpah.

Nah, di bawah golongan Sudra itu ada golongan Chandala adalagi golongan Maleca, yaitu golongan orang asing. Sejak zaman Mataram Kuno hingga zaman Sriwijaya sampai Majapahit, penduduk pribumi tidak boleh bekerja sebagai pelayan. Karena kedudukan pribumi adalah orang mulia dan profesi pelayan hanya dari orang asing, seperti misalnya Juru Kemir, Juru Pegu, Juru Keling, Juru Jenggi yang semuanya orang-orang asing.

Maka ketika saudagar-saudagar Arab datang ke sini, mereka sudah memenuhi dua kriteria golongan rendah: orang asing (maleca) dan sekaligus pedagang (sudra). Sehingga orang-orang pribumi tidak mau mengikuti orang asing yang dianggap memiliki strata sosial lebih rendah. Sebab itulah Kertanegara marah dan melukai utusan yang membawa pesan agar ia tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan di China.

Sikap semacam ini diwarisi oleh masyarakat Nusantara terus menerus hingga zaman Islam. Termasuk pada saat Jepang menerapkan kewajiban Sikkerei, membungkuk 90 derajat ke arah utara setiap pagi sebagai penghormatan terhadap Tenno Heika, maka Kiai Hasyim Ay’ari marah dan memfatwakan keharaman Sikkerei tersebut.

Pandangan bahwa pribumi adalah strata tinggi inilah yang menyebabkan Islam tidak bisa diterima di sini. Nah, Walisongo mulai berdakwah di sini bukan sebagai pedagang, melainkan sebagai golongan Brahmana atau murni agamawan, guru. Sehingga mereka mudah diterima dan diikuti. Apalagi kemudian, dalam perkembangannya, mereka menjadi bangsawan-bangsawan yang masuk di lingkungan kerajaan.

Kolonialisme Dan Ketangguhan Pesantren

Nah, tatanan sosial masyarakat semacam ini baru mengalami perubahan pada 1 Mei tahun 1848 ketika Belanda mulai menerapkan struktur sosial Burgerlijk Wetboek (BW). Yaitu menempatkan kulit putih sebagai warga kelas satu, timur asing (China, India, Arab Persia) sebagai kelas dua, dan inlander atau pribumi sebagai warga kelas tiga. Mereka membalik tatanan yang sudah ada.

Hal inilah yang menjadi salah satu sebab orang-orang pesantren melakukan perlawanan. Dalam Collonial Archive, tercatat bahwa dari taun 1800 sampai 1900, selama rentang seratus tahun terjadi 112 kali pemberontakan yang dipimpin guru-guru tarekat dan dari pesantren-pesantren. Orang pesantren tidak mau direndahkan oleh aturan pemerintah kolonial.

Merasa kesulitan memuluskan aturan BW, maka Belanda menyuntikkan hegemoni pikiran secara sistematis melalui pendidikan berupa Schole (sekolah). Sehingga sekolah ini sebenarnya adalah proses kolonialisasi: penundukan masyarakat agar mau mengikuti aturan kolonial. Kalangan pesantren tetap bertahan, mereka tidak mau dibodohi. Karena itulah mereka tidak diakui oleh pemerintah kolonial. Anehnya, hingga kini, saat Indonesia sudah merdeka pun pesantren masih tetap tidak diakui sebagai lembaga pendidikan.

Maka dari itu, meskipun ada sekian triliun dana pendidikan tidak akan pernah sampai ke pesantren-pesantren salaf. Kalau pesantren ingin mendapat bantuan ya harus membuat sekolah. Itulah hegemoni pemikiran Barat mulai menguasai orang kita.

Maka, saya membuat ini (Atlas Walisongo) supaya kita tahu bahwa Islam tidak bisa berkembang di Nusantara tanpa Walisongo. Dalam tempo kurang dari 50 tahun mengislamkan seluruh Jawa, padahal sebelum kedatangan mereka selama delapan abad tidak terlihat perkembangan pesat. Mereka pasti orang-orang luar biasa dan ilmu pengetahuan barat tidak bisa menjawab fenomena ini.

Bangsa kita sudah mengenal peradaban sejak zaman dahulu. Bisa dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) yang mewarisi kelanjutan tradisi lokal tersebut , dari Mataram Kuno, Kediri, Singasari, Majapahit, sampai Demak dan seterusnya, adalah jam’iyyah ulama pribumi yang betul-betul memahami proses perjalanan Islam di Nusantara.

Tahun kemarin (2012) Monash University (Australia) bekerjasama dengan UIN Maulana Malik Ibrahim (Malang) meneliti tentang pesantren. Bagaimana di era global pesantren sebagai unsur lokal tetap tidak berubah, padahal proses globalisasi sudah mengubah semuanya. Bagaimana pesantren Jawa tetap mempertahankan pengajian-pengajian keagamaan dengan Bahasa Jawanya, pesantren di Jawa Barat dengan Bahasa Sundanya, orang Madura dengan Bahasa Maduranya. Kiai dan santri memberi arti kalimat dengan aksara pegon bahasa daerah masing-masing, padahal dimana-mana sekolah sudah berlomba-lomba go international, berburu gengsi dengan penggunaan bahasa asing sebagai pengantar. Skenario kapitalisme global kebingungan menghadapi fenomena ini.

Itulah resistensi warisan Walisongo yang harus dipertahankan. Karena globalisasi sedang mencoba menghilangkan semua hal yang bersifat lokal dan masyarakat sudah terkena imbasnya. Di sinilah peran pesantren sebagai benteng pertahanan lokalitas yang akan menaklukkan skenario kapitalisme global.

Ketika Kiai Hayim Asy’ari dan kiai-kiai yang lain menolak model sekolah karena beliau tahu bahwa penjajah berupaya penundukan terhadap cara berpikir masyarakat melalui sekolah. Sampai kemudian Belanda menetapkan aturan bahwa semua pegawai pemerintah (government) harus mempunyai ijazah sekolah, dan hal ini tetap dilanjutkan sampai zaman Republik Indonesia.

Sejarah mencatat, ketika pemerintah Jepang membentuk tentara sukarela PETA (Pembela Tanah Air) yang berjumlah 65 batalion, sebanyak 20 batalion dikomandani oleh para kiai brepangkat mayor. Misalnya, Mayor Iskandar Sulaiman adalah ketua syuriyyah NU Malang. Maka ketika awal pembetukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) tokoh-tokoh kiai inilah yang mengisi posisi-posisi penting. Nah, pada tahun 1948, ketika Bung Hatta menjadi perdana menteri, diberlakukan aturan baru rekruitmen tentara. Yakni tentara professional harus memiliki ijazah sekolah, maka kiai-kiai pesantren yang sudah bergelar mayor itu dilorot karena tidak memiliki ijazah sekolah.

Itu fakta-fakta sejarah yang kita harus belajar darinya.[Zq]

*Sumber: Transkrip ceramah peluncuran Atlas Walisongo dalam Sarasehan Budaya di PBNU Jakarta
http://www.youtube.com/watch?v=ccxw2csfMZI
http://www.youtube.com/watch?v=apZ-g_PpeRY