Gus Mus: Kita Semakin Kekurangan Teladan - Santrijagad

Gus Mus: Kita Semakin Kekurangan Teladan

Bagikan Artikel Ini
Oleh: KH Musthofa Bisri – Pesantren Roudhotut Tholibin Leteh Rembang

Malam ini kita membacakan tahlil dan mendoakan almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir. Kita itu sok-sok-an. Model seperti saya dan panjenengan gayanya mendoakan Kiai Zainal. Ya, kita semua sesungguhnya hanya mengharap barokah dari beliau.

Kiai Mustofa Bisri
Meski saya bukan wali, tapi saya meyakini Kiai Zainal itu adalah wali. Karena seperti terdapat dalam al-Qur`an, ciri wali itu tidak punya rasa takut dan tidak punya susah. Lha saya belum pernah tahu Kiai Zainal itu punya rasa takut dan susah.

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Sebenarnya panjenengan itu juga bisa jadi wali, wong panjenengan sudah memiliki salah satu syaratnya. Padahal syarat menjadi wali cuma dua. Panjenengan semua sudah punya satu, yaitu mengakui bahwa Gusti Pangeran itu hanyalah Allah Ta’ala.

إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ، ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.”

Jadi syarat yang pertama, menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah (قالوا ربنا الله), yang kedua adalah istiqomah (ثم استقاموا). Untuk jadi wali seperti Kiai Zainal, panjenengan kurang satu syarat saja, yaitu istiqomah. Syarat istiqomah ini memang yang paling sulit.

Panjenengan menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Zainal dalam keadaan gerah masih berangkat ngimami di masjid dan tetap memikirkan santri. Sementara banyak orang yang mau sholat, tapi jarang yang sholatnya bisa istiqomah; orang yang mau mengajar juga banyak, tapi yang mengajar dengan istiqomah itu jarang; banyak yang bisa memperhatikan anaknya orang, tapi yang memperhatikan anak orang secara terus-menerus itu sedikit sekali. Istiqomah itu yang berat.

Saya mendengar ada gunung meletus tidak begitu kaget, meskipun abunya sampai Jogja. Tapi saya kaget mendengar kiai-kiai wafat, Kiai Sahal Mahfudz kemudian menyusul Kiai Zainal. Gusti Allah itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, bila mengambil ilmu-Nya, tidak dengan cara mencabut ilmu itu dari dada para ulama (إن الله لا يَنْتَزِعُ العلم انتزاعا من صدور العلماء), akan tetapi (بقبض العلماء) Allah mengambil ilmu-Nya dengan cara mewafatkan ulama.

Kiai Munawwir dipundut nyawanya, sekaligus diambil ilmunya; Kiai Abdullah dipundut beserta ilmunya; Kiai Abdul Qodir dipundut beserta ilmunya; Kiai Ali Maksum dipundut beserta ilmunya; Kiai Warsun dipundut beserta ilmunya; Kiai Zainal dipundut beserta ilmunya.

حتى إذا لم يَبْقَ عالم، وفي رواية: حتى إذا لم يُبْقِ عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا – أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

Kalau kiai-kiai sudah diambil, orang-orang bingung harus bertanya kepada siapa. Mereka kemudian bertanya kepada orang sembarangan: pokoknya asal orang pakai sorban; asal jenggotan; asal jubahan; dipanggil kiai; dipanggil ustadz; pasti akan ditanya. (فأفتوا بغير علم) Maka mereka menjawab tanpa ilmu, (فضلوا وأضلوا) jadinya mereka sesat dan menyesatkan orang lain.

Ini semua sekarang sudah kelihatan tanda-tandanya: banyak mufti jadi-jadian, yang ditanya apa saja bisa menjawab. Padahal itu tandanya geblek, bukan tanda orang yang alim. Tandanya orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab.

Ditanya, “Bagaimana hukumnya ayam yang ketabrak mobil, Ustadz?”
“Itu ayamnya masih hangat apa tidak?”
“Masih agak hangat, ustadz”
“Kalau masih agak hangat berarti agak halal…”

Sampeyan kalau mau tahu silahkan buka televisi, ukuran jawabannya asal bisa dinalar saja.

Ada juga dikatakan: (موت العالِم موت العالَم). Pada masa ini yang sulit itu adalah mencari teladan. Islam itu kekurangan contoh. Oleh sebab itu wajah Islam kelihatan jelek, karena kurang contoh. Yang dijadikan contoh yang jelek-jelek. Sampeyan lihat Youtube, ada bocah edan pakai jubah, menginjak kepala, yang begini ini yang merusak. Kalau ditanya: bagaimana baiknya, maka jawabnya: baiknya mandeg saja, gak usah lagi. Ini merusak Islam. Orang Islam saja melihatnya jijik dan muak, apalagi orang lain.

Lha di (Krapyak) sini ini sudah banyak contoh. Ada Kiai Abdul Qodir, ada Kiai Ali. Kalau mau yang agak ketat, ada Kiai Zainal. Kalau mau contoh yang gampangan, ada Kiai Ali. Ada semua contohnya. Orang itu macam-macam. Ada yang maunya ketat, ada yang maunya enteng. Dan yang seperti ini sudah ada sejak zaman Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam. Santrinya macam-macam, ada yang seperti Abu Bakar, ada yang seperti Umar.

Sahabat Umar itu contoh sahabat sangat berhati-hati. Hingga terhadap teman dan saudaranya sendiri saja keras, hingga Sahabat Kholid bin Walid dipecat dari jabatannya sebagai Komandan Tentara. Sahabat Abu Bakar lain, lembut. Pendekatannya berbeda. Tapi semua itu didasarkan pada rahmat dan kasih sayang. Itu yang kemudian dilanjutkan dari sejak sahabat, tabi’in, dan para ulama, hingga sampai kepada Mbah Hasyim Asy’ari.

Beliau punya dua orang anak buah yang berbeda: Mbah Bisri Syansuri yang ketat dan Mbah Abdul Wahab Hasbullah yang gampangan. Warga Nahdliyyin yang sedemikian banyak akhirnya punya pilihan: yang belum bisa ya ikut Mbah Wahab, yang sudah bisa ya ikut Mbah Bisri. Tapi manusia yang macam-macam itu, yang ketat maupun gampangan, mesti dilandasi dengan kasih sayang.

Makanya kalau saya ditanya tentang kriteria kiai itu apa, maka saya jawab;

 الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرحمة

Kiai adalah mereka yang memandang umat dengan pandangan rahmat. Mereka ini hanya meniru Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, yang beliau itu:

عزيز عليه ما عنتم حريص عليكم بالمؤمنين رءوف رحيم

Tapi yang namanya meniru Kanjeng Nabi itu ya tidak mungkin bisa persis meniru semua seperti Nabi. Kalau sama persis nanti dikira ada nabi kembar. Ada yang meniru cara peribadatannya; ada yang meniru model perjuangannya; ada yang meniru cara dakwahnya. Meniru apa saja. Kanjeng Nabi itu hebat dalam bidang apa saja: termasuk saat menjadi panglima.

Jadi, meskipun orang itu pakai sorban sebesar ban truk, jenggotnya puanjang hingga pusar, tapi tidak punya belas kasih kepada umat, maka saya tidak sudi memanggilnya kiai. Sebaliknya, meskipun orang itu tidak berpenampilan kiai, tapi punya belas kasih kepada umat, maka dia itu kiai.

Sama halnya bila ada orang yang merasa pinter, dan menyatakan bahwa orang yang ber-Islam itu harus dengan merujuk langsung pada Qur`an dan Hadits. Ini orang yang juga tidak punya belas kasih terhadap orang awam. Bagaimana mungkin, sementara dia saja tidak becus membaca Qur`an, dan belum tentu paham dengan apa yang dibacanya.

Orang Arab sendiri belum tentu paham bila membaca Qur`an secara langsung. Sampeyan bandingkan dengan kiai-kiai zaman dahulu, seperti Imam Syafi’i dan sesudahnya, yang mereka membuat buku-buku praktis semisal Sullamut Taufiq, Safinatun Naja, maupun Taqrib. Ulama seperti mereka itulah yang pantas mengkaji dasar Qur`an dan Hadits secara langsung. Tidak sembarangan. Jadi orang-orang awam tinggal mengikut buku-buku praktis yang sudah dibuat, daripada jika mereka disuruh melihat Qur`an sendiri, tentu akan malas. Beliau-beliau para ulama itulah, dengan dilandasi kasih sayang, membantu orang awam dalam memahami Islam.

Dengan melihat istiqomahnya Kiai Zainal dalam ibadah, mengajar dan membimbing santri, paling tidak kita bisa tahu dan mencontoh bagaimana perilaku Nabi. Kita tidak perlu melihat Nabi secara langsung. Saya sendiri kadang melamun, seumpama saya hidup di masa Nabi, tentu saya merasa enak, karena tidak perlu membaca al-Qur`an, tidak perlu belajar banyak, sebab melihat sendiri sudah ada ‘Qur`an berjalan’. Jadi kalau mau perlu apa2 tinggal melihat Nabi :

Bagaimana membina persaudaraan yang baik, melihat Kanjeng Nabi;
Bagaimana memimpin ummat yang baik, melihat Kanjeng Nabi;
Bagaimana perjodohan yang baik, ya melihat Kanjeng Nabi;
Bagaimana bergaul dengan orang tua, melihat Kanjeng Nabi;
bagaimana bergaul dengan anak muda, melihat Kanjeng Nabi.

Semuanya tidak perlu membuka Qur`an dan tinggal melihat Kanjeng Nabi. Tapi kemudian tersirat pikiran waras saya, ya kalau saya ditakdirkan ikut Kanjeng Nabi. Kalau ternyata saya ditakdirkan ikut Abu Jahal?! Maka tak perlu melamun hidup di zaman Nabi. Kita hidup sekarang di zaman akhir seperti ini juga tidak apa-apa asal kita masih ikut dengan tuntunan Kanjeng Nabi.

Jadi semakin lama kita itu semakin sulit mencari contoh. Kalau kita rajin membaca al-Qur`an, mengerti maknanya al-Qur`an, maka tak mengapa bila kita tak usah cari contoh. Kita tidak perlu banyak contoh bila kita sudah rajin membaca al-Qur`an dan mengetahui makna al-Qur`an. Tapi yang terjadi; kita sudah tidak punya contoh, membaca al-Qur`an pun hanya ketika bukan Ramadlan, itupun bacanya ngebut.

Kenapa kalau membeli televisi atau sepeda motor kita tak perlu membaca buku panduannya? Padahal membeli barang-barang seperti itu pasti ada buku tebal sebagai panduannya: kalau mau menghidupkan, tekan tombol yang bertuliskan “power”; bagaimana caranya memindah channel. Tapi saya yakin, panjenengan itu beli tivi atau motor tanpa pernah membaca buku panduannya. Lha kok bisa tahu dari mana? Ya, karena panjenengan sudah sering melihat orang menghidupkan tivi.

Demikian juga dulu para sahabat. Meskipun tidak membaca buku panduan, tapi mereka melihat dan meniru Kanjeng Nabi. Sesudah Kanjeng Nabi tidak ada, ya harus melihat para sahabat sebagai murid-murid Kanjeng Nabi, dan seterusnya, sebagaimana diperintahkan oleh Kanjeng Nabi :

أصحابي كالنجوم، بأيهم اقتديتم اهتديتم

Sahabat-sahabatku bagai bintang gemintang, kata Nabi, dengan siapapun di antara mereka kalian berpegang, kalian akan mendapat petunjuk. Demikian, semoga kita semua mendapatkan barokah Kiai Zainal, menjadi orang yang sholeh. []

*Artikel ini adalah intisari mauidzah Gus Mus yang disampaikan dalam tahlilan almarhum KH Zainal Abidin Munawwir di Krapyak Yogyakarta, Senin 17 Februari 2014 M./16 Robi’uts-Tsani 1435 H. Ditulis ulang oleh KH Hilmy Muhammad.