Sastra adalah salah satu media para ulama menuangkan idenya. Biasanya dalam bentuk sajak (nadzam) maupun prosa (natsar). Semisal dalam ‘Imrithi (tata bahasa), Aqidatul Awwam (akidah), maupun Baiquniyah (waris). Tentunya sajak-sajak tersebut merupakan ‘perasan’ dari dalil-dalil syar’i yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Begitu juga dalam bahasan hukum menikah. Syaikh al-Jidari dalam Qurratul ‘Uyun karya Syaikh Muhammad at-Tihami menorehkan sajak;
وواجب على الذي يخشى الزنا # تزوج بكل حال أمكنا
Wa wajibun ‘alalladzi yakhsyaz zina # tazawwujun bikulli khaalin amkana
Dan bagi mereka yang takut melakukan zina # maka wajib menikah kapan saja selagi bisa
وزيد في النساء فقد المال # وليس منفق سوى الرجال
Wa ziida fin nisaa-I faqdul maali # wa laysa munfiqun siwar rijaali
Dianjurkan menikahi wanita tak berharta # karena tiada yang menafkahi selain kaum pria
وفي ضياع واجب والنفقة # من الخبيث حرمة متفقة
Wa fi dhiyaa’in wa jibin wan nafqah # minal khobiitsi khurmatun muttafaqah
Mengabaikan kewajiban atau menafkahi istri dari harta haram # para ulama mengharamkan pernikahan yang demikian
لراغب أو راجي نسل يندب # و إن به يضيع ما لا يجب
Li roghibin aw roji naslin yundabu # wa in bihi yudhoyyi’u la yajibu
Bagi mereka yang menginginkan keturunan, maka sunnah hukumnya # serta tiada dikhawatirkan untuk berzina
ويكره إن به يضيع النفل # وليس فيه رغبة أو نسل
Wa yukrohu in bihi yudhoyya’un naflu # wa laysa fiihi roghbatun aw naslu
Jika kesunnahan diabaikan, tak ingin menikah dan tak berharap keturunan # maka hukumnya makruh bila pernikahan tetap dilaksanakan
و إن انتفى ما يقتضي حكما مضى # جاز النكاح بااسوى المرتضى
Wa in intafa ma yaqtadhi khukman madho # jaazan nikaakhu bis siwal murtadho
Dan jika terjadi kekosongan hukum, selain di atas # maka menikah hukumnya mubah
Dari rangkaian sajak di atas; hukum nikah ada lima. Pertama hukumya wajib, yaitu bagi yang mengharapkan keturunan dan khawatir berzina bila tidak menikah.
Kedua, sunnah. Yaitu bagi yang mengharapkan keturunan tapi dia tidak khawatir berbuat zina bila tidak menikah. Baik menjalaninya dengan senang ataupun tidak, meskipun nikahnya bisa menghalanginya untuk melakukan ibadah lain yang bukan wajib.
Ketiga, makruh. Yaitu bagi orang yang tidak berniat untuk menikah dan tidak mengharapkan keturunan, serta bila tidak menikah maka dia tidak bisa melakukan ibadah lain yang bukan wajib.
Keempat, mubah. Yaitu bagi orang yang yang tidak khawatir akan berzina, tidak mengharapkan keturunan, dan tidak menghalanginya untuk melakukan ibadah yang bukan wajib.
Kelima, haram. Yaitu bagi orang yang dapat menyakiti pasangannya karena tak mampu bersenggama secara memuaskan. Tidak mampu memberi nafkah, dan tidak memiliki pekerjaan yang halal, sekalipun dia sangat ingin tetapi tidak sampai khawatir berzina.
Lima kategori hukum ini juga berlaku untuk kaum wanita. Ibnu Arafah menambahkan alasan lain bagi kaum wanita, yakni wajib menikah pada saat tidak mampu menjaga dan melindungi dirinya kecuali dengan menikah.
Dalam hal ini diperdebatkan apakah menikah lebih utama daripada membujang yang selalu dapat beribadah kepada Allah? Menurut pendapat yang terkuat ialah menyatukan keduanya, menikah dan juga selalu beribadah karena pernikahan bukanlah penghalang untuk senantiasa beribadah kepada Allah.
Pada saat kita jarang sekali menemukan wanita yang berpegang teguh pada agama, kita diperkenankan untuk melajang bahkan dianjurkan untuk menjauhi wanita seperti itu.
Dalam kitab ‘Awarif Al Ma’arif penulis mengutip sebuah hadits tentang kebolehan hidup melajang. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Sungguh akan datang suatu zaman dimana orang tak dapat menyelamatkan agamanya kecuali orang yang selalu pindah dari satu desa ke desa yang lain, dari satu gunung ke gunung yang lain. Sebagaimana rubah yang lari dari incaran musuh.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kapan masa demikian terjadi?”
Beliau menjawab, “Di saat kebutuhan hidup tak dapat diperoleh lagi kecuali dengan cara bermaksiat kepada Allah. Apabila kondisinya sudah parah seperti itu maka dihalalkan untuk melajang.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah kenapa bisa seperti itu? Padahal engkau telah memerintahkan kami untuk menikah.”
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya bila kondisi zaman sudah sangat parah maka kehancuran seorang anak berada di tangan kedua orang tuanya, kehancuran seorang suami berada di tangan istri dan anak-anaknya. Apabila istri dan anak-anaknya telah tiada maka kehancurannya ada di tangan sanak keluarganya”
Para sahabat bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, kenapa terjadi demikian?”
“Lantaran mata pencaharian hidupnya yang sempit kemudian dipaksa melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya. Sehingga mereka terjerumus ke dalam lembah kehancuran,” jawab Rasulullah.
Pada kesempatan lain Rasulullah bersabda,
“Akan datang suatu zaman dimana kehancuran suami ada di tangan sang istri, kedua orang tua dan anaknya. Keadaan tersebut terjadi karena kefakiran. Mereka memaksa agar melakukan sesuatu di luar batas kemampuannya sehingga dia memasuki tempat-tempat yang akan mengakibatkan terkikisnya keimanan. Itulah saat kehancuran dirinya."
Namun kita harus kembali kepada anjuran Rasulullah yang sangat solutif dengan memperhatikan fitrah manusiawi,
"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah maka hendaklah melaksanakannya. Karena menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun bagi yang belum mampu, sebaiknya ia berpuasa, karena puasa merupakan benteng baginya." [Bm/Zq]