Mbah Dauzan Farook |
Namanya Dauzan Farook, lebih akrab disapa dengan sebutan Mbah Dauzan atau Dawiyan, logat Jawa. Lahir tahun 1925 di Kauman, Yogyakarta. Tiap kali menemui kumpulan anak-anak yang sedang bermain, ia berhenti dan mengiming-imingi mereka dengan buku-buku kisah, dongeng, dan sebagainya. Betul-betul blusukan. Siapa dia?
Setelah berlalunya masa perjuangan revolusi fisik, ia gantung bedil. Namun perjuangan tak berakhir. Ia mewakafkan dirinya untuk berperang melawan kebodohan. Karena dari kebodohanlah lahir keserakahan, kemiskinan, konflik antar-masyarakat, serta masalah-masalah sosial lain. Cara yang ia lakukan sederhana namun berat; mengajak membaca langsung ke targetnya. Bukan dengan seminar-seminar atau bentuk retorika-retorika lainnya.
Semasa muda ia bergabung dengan pasukan Sub Wenkreise (SWK) 101. Ia pernah terlibat baku tembak dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kotabaru pada 6 Juli 1947. Juga mati-matian saat terjadi kontak senjata pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Bahkan, di rumahnya terdapat foto kenang-kenangan ketika berpose dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Liputan tentang beliau pernah diputar di Global TV. Saat diwawancarai, ia hanya mengenakan celana panjang dengan dada telanjang. Di leher terkalung tasbih. Semasa hidup, Dauzan menikahi dua wanita. Yakni Zaringah dan Siti Sudarinah. Perkawinannya dengan Zaringah dikarunai tiga anak. Sedangkan dengan Siti Sudarinah melahirkan lima anak. Rumah di Kadipaten adalah anak dari perkawinan istri keduanya.
Sejak tahun 1990 hingga menghembuskan napas terakhir, Mbah Dauzan dikenal sebagai pustakawan. Ia terpanggil untuk terjun ke medan perjuangan membela tanah air lewat jalur pendidikan. Yaitu mendirikan perpustakaan keliling Mabulir (Majalah dan Buku Bergilir). Perpustakaan berciri proaktif, gratis dan sistem kelompok multi level reading ini terus disosialisasikan ke masyarakat. Dia memperoleh buku-buku dari kocek pribadi dan sumbangan.
Masyarakat, pecinta buku dan kalangan perguruan tinggi, termasuk pemerintah, mengacungkan jempol untuk kerja kerasnya. Bantuan buku berbagai judul terus berdatangan. Karena terus bertambah, dia menyulap rumahnya menjadi tempat perpustakaan umum. Jumlah koleksi bukunya mencapai sekitar 25 ribu buku. Masyarakat yang berdatangan untuk membaca dan meminjam buku semakin banyak. Mulai anak-anak, remaja, mahasiswa hingga orang tua dari berbagai kalangan.
Ia wafat pada 6 Oktober 2007 dan dimakamkan di Makam Pahlawan Sawit Gamping. Tentu banyak kalangan yang kehilangan beliau. Ima Zahra, dalam blognya (imazahra.wordpress.com) menuliskan kenangan dan kekagumannya atas perjuangan Mbah Dauzan, berikut potongan kalimat beliau;
“Kalau dulu saya mengangkat senjata untuk membela negeri tercinta ini, maka sekarang saya ‘mengangkat’ buku dan majalah bekas yang sudah tidak dipakai orang-orang. Saya minta, saya sampuli rapi-rapi dan saya edarkan bergilir, keliling dari satu rumah ke rumah lainnya, dari satu asrama ke asrama lainnya, dari satu kantor ke kantor lainnya dengan sepeda tua sahabat saya itu, sepanjang ada yang mau membaca. Mudah-mudahan ini menjadi amal jariah saya sekaligus bentuk ‘mengangkat senjata’ yang bisa Mbah lakukan. Mencerdaskan orang Yogya, melalui aktifitas membaca.”
![]() |
Perpustakaan Mabulir Mbah Dauzan |
Sajak Mbah Dauzan;
IN THE NAME OF ALLAH
Berhentilah mencaci maki kegelapan
lebih baik kau nyalakan secercah cahaya
bagi mereka yang kegelapan
Tebarkanlah iman dengan cinta
gubahlah dunia dengan prestasi
jadikan hidupmu penuh arti
setelah itu bolehlah bersiap untuk mati
kalau kelak datang hari perjumpaan
basahkan bibirmu dengan ucapan kalimat thoyyibah
“Laa ilaaha illallaah”
Semoga amal jariah beliau terus mengalir menyejahteraan ruhnya di alam barzakh. Dan perjuangannya membangkitkan semangat generasi muda Nusantara. [Zq]
*Sumber: tokohbuku.blogspot.com, imazahra.wordpress.com