Trinil: Membaca Kartini dari Pojok Sejarah Santri - Santrijagad

Trinil: Membaca Kartini dari Pojok Sejarah Santri

Bagikan Artikel Ini
OLEH: M. BUDI MULYAWAN

Trinil adalah nama kecil dan nama panggilan dari Kartini. Seorang yang menolak gelar Raden Ayu pemberian ayahnya dan hanya ingin dipanggil Kartini. Begitu yang dijelaskan Pramoedya Ananta Toer secara brilian dalam “Panggil Aku Kartini Saja”. Ibu Kartini Lahir pada 21 April 1879 di Jepara dan merupakan anak dari Bupati Jepara Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya bernama MA. Ngasirah seorang perempuan desa biasa yang bukan bangsawan anak dari KH. Madirono dan Nyai Siti Aminah guru ngaji di Telukawur Jepara. Kartini anak ke-5 dari 11 saudara tiri dan kandung. Penulis pernah berkesempatan mengunjungi museum Kartini di Jepara pada tanggal 11 April 2013. Tulisan ini sebagai sedikit uraian dan dokumentasi dari kunjungan saat itu.
"Panggil Aku Kartini Saja ~ Pramoedya Ananta Toer"

Ibu Kartini adalah satu guru dan satu perjuangan dengan Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyyah) yang ketiganya disahkan sebagai pahlawan nasional. Guru para pahlawan itu bernama KH. Sholeh Bin Umar As Samarani (KH. Sholeh Ndarat) lahir di Kedung Cemplung Jepara pada tahun 1820 sezaman dengan KH. Cholil Bangkalan dan Syeh Nawawi Al Bantani. KH Umar, ayahnya adalah yang dipercaya Pangeran Diponegoro pada saat berkecamuknya perang jawa. Beliau dimakamkan di bukit Bergotta Semarang.
"Seni Tembaga di Gerbang depan Museum Kartini"
Dalam antusiasme pencarian cahaya, Ibu Kartini pernah berpikir seperti ini: “Tidak ada gunanya bila saya membaca Alqur’an tapi tidak tahu isi dan maknanya” lalu kejadian kurang mengenakkan terjadi saat  guru ngajinya emosi padanya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an. Pasca kejadian itu justru bertambah semangat pencarian Ibu Kartini. Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat, seorang ulama masyhur di tanah Semarang.
Silsilah Kartini
Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan supaya orang-orang awam dan Kartini bisa mengetahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah.
Sebuah rajah Karya Sosrokartono, saudara Kartini yang menguasai belasan bahasa asing
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “ Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui terjemahan Mbah Shaleh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257).
Lukisan portrait Ibu Kartini
Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. Namun sayangnya penerjemahan kitab ini tidak selesai karena Mbah Shaleh Darat keburu wafat
Lukisan karya Ibu Kartini dengan cat minyak

Lukisan realis Ibu Kardinah, adik Ibu Kartini

Pesan Kartini tentang Ibu

Pesan Kartini tentang perlawanan terhadap feodalisme

Pesan Kartini yang sangat relijius

Ibu Kartini meninggal dalam syahid ketika melahirkan anak keduanya tepat di hari keempat di pangkuan suami tercintanya. Berjuang sebagai Ibu dan meninggal pula sebagai ibu pada tanggal 17 September 1904. Sebagaimana hadits Rasulullah saw bertanya, "Siapa yang kalian anggap sebagai syahid?" Mereka menjawab, "Yang berperang hingga terbunuh di jalan Allah Swt." Mendengar jawaban tersebut beliau bersabda, "Kalau begitu orang yang syahid di antara umatku sedikit. Namun, orang yang terbunuh di jalan Allah syahid, orang yang mati karena penyakit di perut syahid, orang yang kena wabah penyakit syahid, wanita yang meninggal dunia sementara dalam perutnya terdapat janin juga syahid (entah sebelum atau sesudah melahirkan)."(HR Imam Ahmad, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).
Makam Ibu Kartini di Rembang
Selamat ulang tahun Ibu Kartini, kekasih Tuhan, kekasih bangsa, dan kekasih kita semua. Semoga kita bisa meneladani perjuangan Ibu Kartini secara proporsional, bukan seremonial dan simbolis belaka.
Penulis di Ruang Meditasi Ibu Kartini
Tegal, Hari Kartini 2014