Hujjah Aswaja #9 - Mengapa Menetapkan Awal Ramadan Dengan Ru'yah? - Santrijagad

Hujjah Aswaja #9 - Mengapa Menetapkan Awal Ramadan Dengan Ru'yah?

Bagikan Artikel Ini
Hujjah Aswaja #9 - Mengapa Menetapkan Awal Ramadan Dengan Ru'yah?



Persoalan Kelima,
Penetapan 2 Bulan, Yaitu Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal,

Pada zaman ini, tepatnya sejak mendekati pertengahan abad, di Negara Indonesia umpamanya, telah menyebar perdebatan dan bantahan di antara kaum muslimin terkait penetapan 2 bulan, yaitu Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal dalam menentukan awal Bulan Ramadhan untuk mengawali puasa dan Bulan Syawal untuk melaksanakan hari raya Idul Fitri.

Kami memberikan nasehat kepada orang yang ahli di bidangnya untuk menjelaskan permasalahan dnegan merujuk kepada Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah serta berpegangan kepada tali Allah secara keseluruhan, dan menjauhi perpecahan karena sesungguhnya puasa dan hari raya idul fitri merupakan syiar-syiar Allah yang Maha Luhur dan simbol penyatuan kalimat di atas kalimat tauhid (La ilaha Illallah). Di sini ada beberapa kajian ilmiah yang bersifat syar’i yang telah dirumuskan oleh para ulama’ dunia, yang mana kita bisa mengetahui kesimpulannya :

Sesungguhnya para imam madzhab empat telah bersepakat bahwa Bulan Ramadhan tidaklah ditetapkan kecuali dengan salah satu dari 2 perkara, yaitu ruqyatul hilal (melihat bulan) atau menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari jika di sana terdapat hal yang bisa mencegah ruqyatul hilal (melihat bulan) baik berupa mendung, awan, debu, ataupun lainnya.

Sesungguhnya mereka (para imam madzhab empat) juga bersepakat bahwa masuknya Bulan Syawal ditetapkan seperti itu, yaitu dengan ruqyatul hilal (melihat bulan). Jika bulan pada Bulan Syawal tidak bisa dilihat maka wajib menyempurnakan Bulan Ramadhan menjadi 30 hari.

Sesungguhnya perjalanan kaum muslimin secara keseluruhan adalah berdasarkan hal tersebut (ruqyatul hilan atau istikmal) tanpa pengecualian, karena kami tidak melihat jejak adanya perselisihan perdapat dari Ahlul Qiblat (orang islam) di luar Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebelum tampaknya perselisihan pada zaman akhir. Sesungguhnya Golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan lainnya, semuanya telah bersepakat atas ketidakbolehan menggunakan metode hisab.

(Tambahan : Karena syariat tidak memerintahkan dengan menggunakan metode hisab) ini dinisbatkan kepada orang umum. Adapun jika dinisbatkan kepada hasib (orang yang mengunakan metode hisab) sendiri dan murid-muridnya (pengikutnya) maka hanya Imam Syafi’i saja yang telah benar-benar membolehkannya. Dan adapun imam-imam lainnya, dari golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan lainnya, maka mereka berpendapat menolak secara mutlak (menggunakan metode hisab), baik untuk orang umum maupun khusus.

Dan sesungguhnya ibrah di dalam penetapan 2 bulan, yaitu Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal, adalah dengan rukyatul hilal (melihat bulan), tidak dengan wujudnya hilal dengan melakukan praktek di dalam sesuatu yang terjadi yang mana (sesuatu itu) terkadang dapat diketahui melalui metode hisab. Lima kesimpulan ini dapat diketahui melalui kajian-kajian yang akan datang (dijelaskan).

Di dalam Kitab “Al-Madzahib Al-Arba’ah” dijelaskan, menetapkan Bulan Ramadan adalah dengan salah satu dari 2 perkara :

Pertama, rukyatul hilal (melihat bulan) jika langit tersepikan dari apa saja yang bisa mencegah penglihatan seperti mendung, awan, debu, dan sebagainya.

Kedua, menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari jika langit tidak tersepikan dari sesuatu yang telah dijelaskan sebagaimana sabda Nabi SAW :

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ - رواه البخاري عن أبي هريرة

“Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berbukalah kalian (Idul Fitri) karena melihat bulan, dan jika kalian terhalang mendung maka sempurnakanlah bilangan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari” [HR. Bukhori dari sahabat Abu Huroiroh].

Tambahan (dari KH. Ahmad Subki Masyhudi, penambah keterangan dalam kitab ini): Makna hadist – Jika di langit terdapat mendung maka hari yang dikembalikan pada saat itu adalah masih terdapat pada Bulan Sya’an, dengan artian kita menyempurnakannya menjadi 30 hari, sekiranya jika ada hari yang berkurang di dalam perhitungan kita maka kita bisa mengabaikan hari yang kurang itu. Dan jika hari itu sudah sempurna, maka wajib berpuasa. Ini adalah kaidah yang telah diletakkan oleh syariat yang mana syariat mengehendakinya.

Syekh (KH. Ali Maksum, Penulis Kitab Hujjah ASWAJA) berkata : Dan di dalam sabda Nabi SAW :

فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ

“Dan jika kalian terhalang mendung”

Kami menemukan Madzhab Hambali sangat berhati-hati, mereka berpendapat bahwa ketika Bulan terhalangi di saat tenggelam pada hari ke-29 Bulan Sya’ban, maka tidaklah wajib menyempurnakan Bulan Sya’ban menjadi 30 hari, wajib menginapkan niat, dan berpuasa pada hari berikutnya pada malam itu (hari setelah 29 Sya’ban). Sama halnya di dalam apa yang terjadi di Bulan Sya’ban atau di Bulan Ramadhan, meniatkannya di Bulan Ramadhan. Namun jika sudah jelas di pertengahan Bulan Ramadhan bahwa hari itu (hari setelah tanggal 29 Sya’ban, yang mana tidak wajib menyempurnakan 30 sya’ban) adalah masih termasuk Bulan Sya’ban maka tidak wajib menyempurnakan Bulan Ramadhan (menjadi 30 hari). Pendapat mereka ini dengan dinisbatkannya pada (penetapan) awal Bulan Ramadhan.

Adapun dengan dinisbatkannya pada akhir Bulan Ramadhan maka sesungguhnya mereka seperti Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi, dan Madzhab Maliki di dalam pendapatnya dengan wajibnya menyempurnakan Bulan Ramadhan menjadi 30 hari ketika mereka terhalangi mendung. Semua itu merupakan amaliyah berdasarkan kehati-hatian dalam beribadah.

No comments:

Post a Comment