OLEH: DZUL FAHMI
Upaya penggalian warisan intelektual dari sosok Ummu al-Mu'minîn,
Sayyidah Aisyah ra. tampaknya masih akan terus hidup. Setelah beberapa
tahun lalu terbit Ensiklopedi ”Mawsû’ah Fiqh ‘Âisyah Ummi al-Mu’minîn Ḫayâtuhâ wa Fiqhuhâ”
yang merangkum kompilasi fatwa beliau dalam banyak permasalahan hukum
Islam, kini, di awal tahun 2012, penerbit Dâr al-Salâm Kairo menerbitkan
sebuah buku berjudul al-Qawâ'id al-Ushûliyyah al-Mustanbathah min Fiqh Sayyidah 'Âisyah.
Tentu saja, terbitnya buku tersebut menjadi angin segar dalam dunia
kajian Islam, khususnya dalam literatur studi Usul Fikih. Apalagi –-
sebagaimana diakui penulisnya -– upaya menelusuri konstruk epistemologi
hukum versi istri Rasulullah Saw. tersebut bukanlah garapan yang
sederhana.
Dengan berbekal analisa kritis dan data-data
primer otoritatif, Doktorah Du’a Mazin –- muslimah progresif alumnus
Universitas Islam Irak –- berhasil mempersembahkan kepada umat Islam
sebuah karya genial yang berisi kumpulan kaidah Usul Fikih yang
terinferensi dari kompilasi fatwa yang dicetuskan oleh Sayyidah Aisyah
ra. Pada mulanya karya ini merupakan tesis master (risâlah al-mâjistîr)
yang ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan kelulusan pendidikan
pascasarjananya di Universitas Islam Irak, prodi Usul Fikih. Setelah
melewati proses revisi dan elaborasi lebih detail, akhirnya diterbitkan
dalam bentuk buku di awal Januari kemarin. Karya membanggakan ini
diproyeksikan guna merintis genre pembacaan baru (insight) dalam rangka konseptualisasi hasil ijtihad para pendahulu.
Sebagaimana
lazimnya menyibak pemikiran tokoh, hal yang pertama ditulis oleh Du’a
Mazin adalah biografi Sayyidah Aisyah. Putri keempat –- setelah
Abdullah, Asma', dan Abdurrahman -- dari Khalifah pertama umat Islam,
Abû Bakr al-Shiddîq ini hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ayahandanya, Abû Bakr
al-Shiddîq ra. terhitung salah seorang pembesar Arab yang disegani dalam
kemahiran bersyair dan sejarah peradaban Arab. Dari ayahnyalah, beliau
mendapat banyak pengalaman, khususnya dalam bidang sastra. Suasana
ilmiah tersebut semakin kondusif, setelah ayah beliau tergolong diantara
segelintir sahabat yang pertama masuk Islam (al-sâbiqûn al-awwalûn).
Sehingga perbincangan keilmuan yang dulunya berkisar pada sastra dan
peradaban Arab, kemudian beralih lebih luas ke ranah agama. Kecerdasan
intelektual Aisyah semakin matang ketika Rasulullah mempersunting beliau
sebagai istri, yang tentunya menjadikan beliau leluasa menggali ilmu
secara langsung dari sumber permata ilmu, Muhammad saw. (halaman. 26).
Selanjutnya,
Du’a Mazin memulai pembahasannya dengan mendeskrisipkan kecenderungan
ijtihad para Sahabat pascawafat Rasul saw. Menurut pembacaannya,
metodologi yang ditempuh para Sahabat dalam berijtihad menjawab
problematika baru yang muncul sangatlah varian, namun hal tersebut bisa
disimpulkan dalam dua karakter utama; pertama,
kelompok yang lebih cenderung menggunakan aspek nalar yang memfokuskan
aktivitas ijtihadnya dalam bentuk menggali spirit utama dari bunyi
harfiah teks syariat demi menghasilkan illat al-hukmi (ratio legis) sebagai patokan beranalogi (qiyas). Diantara pengusungnya adalah Umar ibn al-Khaṯṯâb dan Ibn Mas’ûd ra. Kedua,
kelompok yang lebih memperhatikan aspek riwayat dan memfokuskan
aktivitas ijtihadnya pada pendalaman makna nash syariat. Pendapuk metode
ini di antaranya Ibn Umar dan Zayd ibn Tsâbit. Nah, tipologi yang
digunakan Sayyidah Aisyah, dalam pandangan Du’a Mazin, adalah semacam
sintesa dari dua tren yang ditempuh para Sahabat kala itu. Secara
brilian, Ummu al-Mu'minîn dianggap berhasil mengkompromikan keduanya
serta berani mengartikulasikannya dengan pemikirannya secara mandiri,
sehingga lahirlah suatu konsep teoritis berfikih yang segar, baru, serta
hidup. (halaman. 39).
Konklusi ini setidaknya beranjak
dari beberapa riwayat yang dianggap representatif mewakili masing-masing
metode. Konsistensi beliau dalam berpegang teguh pada aspek riwayat,
misalnya, bisa dilacak dalam permasalahan kewajiban tabyît al-niyyah (niat sebelum fajar) pada puasa wajib. Dalam hal ini, beliau berpijak pada salah satu hadis Rasul, ”Barang siapa yang tidak men-tabyit niat sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”
(HR. Al-Dâruquṯniy). Sedangkan sikap beliau yang mengedepankan nalar,
salah satunya tampak pada keputusannya yang lebih cenderung tidak
menyukai ritual tawaf dan sa’i dengan naik kendaraan (rukûb),
padahal hal ini tampak bertentangan dengan realita yang dilakukan
Rasulullah. Dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa apa yang dilakukan
Rasulullah adalah sikap yang muncul dalam merespon sebab tertentu, yaitu
bahwa Rasul melakukannya karena khawatir diwajibkannya tawaf dan sa’i
dengan berjalan kaki, sehingga dalam hal ini riwayat tidak bisa
diamalkan begitu saja.
Dalam menyimpulkan kaidah Usul
Fikih dari kompilasi Fatwa Sayyidah Aisyah, Du’a Mazin tak bisa
menghindar untuk tidak menggunakan metode induktif, yaitu metode yang
bertumpu pada penelusuran hukum-hukum partikular (furû’iyyah) yang telah beliau cetuskan, kemudian menyimpulkannya menjadi kaidah tertentu yang bersifat universal (kulliy)
sebagai pijakan yang dijadikan landasan berijtihad. Hal ini sangatlah
wajar, karena sebagaimana diketahui, bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah
menyatakan secara gamblang (sharîh) kaidah Usul Fikih yang
beliau jadikan acuan dalam memproduksi hukum. Kendati demikian, bagi Dua
Mazin, hal tersebut bukanlah berarti menegasikan keberadaan metodologi
yang absah dalam aktivitas ijtihad beliau. Melainkan harus ada upaya
yang sungguh-sungguh dari generasi setelahnya untuk merumuskan
metodologi tersebut secara intens dan komprehensif dengan menggunakan
berbagai macam pendekatan. Poin inilah yang menjadi ide utama penulisan
buku setebal seratus delapan puluh satu halaman itu. Disamping hasrat
penulisnya yang memang ingin membuktikan bahwa Usul Fikih, sebagai
landasan berfikir dan berijtihad, bukanlah cabang ilmu yang asing dan
”diada-adakan”, melainkan fitrah dan sebuah keharusan yang telah
memiliki preseden sejak generasi awal umat Islam.
Satu
poin penting yang tak boleh dilewatkan dari buku ini adalah kesungguhan
penulisnya dalam menjelajahi seluruh kitab hadis dan atsar yang memuat
riwayat produk hukum dari Sayyidah Aisyah ra. Sikap selektifitas
paripurna yang menjadi harga mati dalam penulisan karya ilmiah,
benar-benar dijunjung tinggi oleh penulisnya, yang salah satunya
diaplikasikan dalam bentuk penyajian riwayat yang benar-benar terbukti
validitasnya (shahîh), lebih-lebih ketika menyikapi kontradiksi (ta’ârudh) yang terdapat dalam beberapa riwayat.
Menyusuri halaman demi halaman dalam buku ini bukan hanya membawa pembaca kepada pembahasan teoritis an sich
–- sebagaimana kebanyakan buku-buku yang ditulis dengan corak serupa
-–, namun juga mampu menghadirkan sebuah ’pembacaan baru’ dalam
menghidangkan teori usul fikih dalam bentuknya yang lebih segar dan
menjanjikan. Selain itu, aroma ”kebangkitan intelektual Muslimah” seakan
berhembus kencang dari penerbitan buku yang sukses meraih nilai imtiyâz (cumlaude) ini, karena ditulis oleh seorang Muslimah yang prolifik dan concern
dalam menekuni kajian-kajian ke-Islaman. Sehingga kita pun tersadar
bahwa kemegahan bangunan fikih Islam sejatinya tidaklah semata-mata
hasil hegemoni peran Ulama lelaki -– sebagaimana tuduhan yang sering
dilontarkan ke publik -–, melainkan juga hasil peran aktif para
intelektual Muslimah dalam menelurkan buah karyanya. Pertanyaannya
sekarang, adakah Muslimah lain yang ingin merintis jejak serupa?
*Penulis adalah sanri Universitas Al-Ahgaf Yaman
No comments:
Post a Comment