OLEH: DZUL FAHMI
Abrahah bernama lengkap Abrahah ibn al-Shabah Abi Ma'sum, atau juga
dikenal dengan panggilan Abrahah al-Asyram. Oleh Raja Habasyah,
al-Najasyi, ia dilantik menjadi gubernur di Yaman setelah berhasil
menaklukkan Kerajaan Saba. Lantas mengapa ia ingin meruntuhkan Kakbah?
Penduduk
Yaman adalah orang Arab yang beragama haniif –agama yang dibawa oleh
Nabi Ibrahim As. Mereka selalu berkunjung ke Mekkah untuk menunaikan
ibadah di Kakbah. Karena Abrahah beragama Nasrani, maka ia tak
menghendaki penduduk Yaman pergi ke Mekkah lagi. Ia lantas membangun
gereja di Sana’a yang lalu diberinama al-Qulays. Ia memerintahkan Bangsa
Arab untuk beribadah ke gereja yang dibangunnya itu.
Namun
ternyata keinginan Abrahah tak sesederhana yang ia duga. Resistensi
yang timbul dari Bangsa Arab, khususnya kaum Quraisy, sangat keras.
Mereka menolak jika Kakbah yang selama ini mereka muliakan harus
dialihkan ke Sana’a. Dikisahkan, bahwa salah seorang anggota suku
Quraisy pergi ke Sana’a dengan penuh kemarahan kepada Abrahah. Kemarahan
itu ia lampiaskan dengan masuk ke Gereja al-Qulaisy di malam hari. Lalu
mengotorinya dengan membuang najis di dalamnya.
Mengetahui
peristiwa itu, Abrahah murka. Ia lalu membuat perintah ekspedisi
pasukan untuk berangkat ke Mekkah untuk balas dendam. Ia pun bersumpah
akan turut serta dalam misi tersebut dan berjanji akan menyungkil
batu-batu Kakbah satu per satu. Kemudian berangkatlah Abrahah bersama
pasukannya ke Mekkah mengendarai gajah.
Abdul Muttalib,
salah satu pembesar suku Quraisy, menyampaikan berita tersebut kepada
seluruh penduduk Mekkah sambil menginstruksikan mereka pergi ke
bukit-bukit. Mereka khawatir akan kejahatan yang ditimbulkan Abrahah
beserta pasukannya. Sebelum meninggalkan Mekkah, bersama beberapa orang
Quraisy, ia berdoa dan memohon kepada Allah agar menyelamatkan Baitullah
dari serangan Abrahah dan bala tentaranya.
Dikisahkan
pula, ketika pasukan Abrahah telah sampai di kawasan Mughammas untuk
memasuki Mekkah, gajah-gajah mereka enggan bangun dan berjalan memasukki
Mekkah. Anehnya, jika dipalingkan ke arah lain, gajah-gajah itu segera
bergerak. Sehingga pasukan Abrahah harus memukul gajah-gajah mereka agar
mau berjalan.
Dalam keadaan seperti itu, Allah kemudian
mengutus burung-burung yang masing-masing membawa tiga batu kecil. Dua
batu di kedua kakinya dan satu batu di paruhnya. Burung-burung tersebut
beterbangan melintasi kepala para pasukan Abrahah sambil menjatuhkan
batu kecil yang dibawanya. Tak ada seorangpun yang terkena batu itu bisa
selamat. Spontan, pasukan Abrahah kocar-kacir menyelamatkan diri. Dan
Kakbah pun bisa terselamatkan.
Saya benar-benar penasaran
dengan puing-puing sejarah peninggalan Abrahah itu. Oleh sebab itu,
selama berjalan kaki menelusuri pasar tradisional yang terbentang dari
Babul Yaman, hati saya dirundung perasaan tak sabar. Saya terus
bertanya-tanya: Seberapa kokohkah Kakbah duplikat yang ingin dijadikan
alternatif pengganti Baitullah di Mekkah itu? Bagaimanakah kondisi
tempat itu saat ini? Dan pula segepok pertanyaan-pertanyaan yang lain
yang terus melintas di kepala. Awalnya saya mengira lokasinya sangat
dekat dari Babul Yaman. Ternyata tidak juga.
Saya baru
tahu, bahwa ternyata pasar tradisional yang akrab dengan nama Pasar Buzz
itu sangat luas. Kompleksnya juga berliku-liku. Lebih-lebih Desa
al-Qulays yang saya tuju itu ternyata berada di kawasan dalam. Saya
harus berjalan kaki menelusuri pasar dan beberapa perumahan warga.
Hingga sampailah akhirnya pada kompleks yang dimaksud. Di sebuah papan
pariwisata yang tertancap, bertuliskan ”Gharqat al-Qulays” dengan versi
Arab dan latin. Ya, itulah Kakbah duplikat yang didirikan Abrahah.
Terbelalak.
Saya nyaris tak percaya. Rumah ibadah yang konon megahnya luar biasa
itu kini tak menyisakan sesuatu yang berharga. Kecuali hanya sumur
raksasa yang di dalamnya dirimbuni semak belukar. Kini, sumur lingkaran
berdiameter kurang lebih 15 meter itu hanya diberi pelindung pagar besi.
Tingginya sekira satu meter. Saya merasa tak cukup menyaksikan sampai
di situ. Hati saya masih penasaran dengan apa yang tersimpan di sumur
itu.
Maka, saya memutuskan untuk memanjat ke pilar batu
yang menjadi pondasi sumur tersebut. Ketika ujung jemari saya telah
berhasil menyentuh atap besi. Tiba-tiba, ”wushhh”, semerbak aroma busuk
menyeruak ke hidung. Amis, apek, dan –maaf– pesing. Ya, memang itulah
aroma yang saya cium. Saya lantas tak ingin melanjutkan dan memilih
turun untuk berpose mengambil gambar.
”Arena Tawaf” yang
melingkari sumur tersebut juga kini telah beralih fungsi menjadi tempat
parkir kendaraan. Ketika saya ke sana, terlihat beberapa pemuda yang
sedang bermain bola di situ. Kesakralan tempat tersebut drastis hilang
bersamaan dengan perjalanan waktu. Kini, Gharqat al-Qulays tak lebih merupakan salah satu puing sejarah yang bentuknya lebih menyerupai ”tong sampah”.
Saya
semakin sadar bahwa Allah memberikan pelajaran dengan banyak cara serta
peristiwa. Pada dasarnya, Dia ingin mengingatkan manusia agar memahami
hukum alam yang sudah digariskan-Nya. Bahwa kebaikan akan terbalas
kebaikan dan kejahatan akan terbalas kejahatan. Kini, peristiwa yang
tahunnya dikenal dengan sebutan Tahun Gajah –tahun di mana Rasulullah
Muhammad dilahirkan– itu abadi di dalam al-Qur’an. Siapa pun bisa
mengambil pelajaran darinya.
"Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
bergajah?!. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk
menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti
daun-daun yang dimakan (ulat)” (QS. Al-Fîl : 1 - 5).
*Penulis adalah santri Universitas Al-Ahgaff, Yaman.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment