Syahdan, pada
zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang-orang di
sekitarnya memanggilnya Kiai Yazid, lengkapnya Kiai Abu Yazid Thoyfur bin ‘Isa al-Bustami dari Bustham, daerah Bagian
Timur Laut Persia. Salah satu fragmen hidup beliau di bawah ini setidaknya bisa
sekilas menjadi renungan pengasah ketawadhu’an bagi kita.
Black Dog |
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam
berlari-lari. Kiai Yazid merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa
anjing itu akan mendekatnya. Eh1? Ternyata tahu-tahu sudah dekat; di
sampingnya. Melihat itu Kiai Yazid –secara reflek dan spontan– segera
mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas
apakah karena -barangkali– merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan
dengan anjing yang liurnya najis itu!
Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si
Anjing Hitam yang di dekatnya tadi memprotes:
“Tubuhku kering dan aku tidak
melakukan kesalahan apa-apa!”
Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid
masih terbengong: benarkah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan
ilusinya semata? Sang Kiai masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan
celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup mencucinya dengan air yang
bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila
engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak
akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si
Anjing Hitam di dekatnya, Kiai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara
spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang
merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia
telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
“Ya, engkau benar Anjing Hitam,” kata Kiai Yazid, “Engkau
memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu,
marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi
bersih!”
Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan
rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi
mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya
itu.
“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku
dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut
kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu,
tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara
para sufi. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau
memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata Si Anjing Hitam dengan
tenang.
Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si
Anjing Hitam. Setelah dilihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah
meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi
dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Sang Kiai.
“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan
bersama seekor anjing milik-Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu
Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada
yang termulia di antara makhluk-Mu yang terhina di antara semuanya!” seru Kiai
Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu.
Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan
meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia
sudah rindu kepada para santri yang menunggu pengajarannya.
“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang
mengganggu Si Anjing Kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena
sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan
tergesa-gesa,” kata Kiai Yazid kepada para muridnya.
Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai.
Setelah itu, Si Anjing Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya
dengan tenang, tidak merasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning
memberikan hormatnya kepada Kiai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai
ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang
sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Kiai
Yazid ataukah Si Anjing Kuning.
Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah
seorang murid Kiai Yazid yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah
Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya.
Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian
martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada
seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?!”
Kiai Yazid menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara
diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal
kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah
kehormatan sebagai raja di antara para kaum sufi?” Begitulah yang sampai ke
dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”
Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu,
murid-muridnya manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham
mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Tidak ada yang
membantah dan terus meneruskan perjalanannya. []