Wasiat Pemuda Pendosa - Santrijagad

Wasiat Pemuda Pendosa

Bagikan Artikel Ini

Dzun Nun al-Mishri melihat kejadian aneh. Empat orang laki-laki memanggul jenazah kea rah kuburan tanpa ada siapapun yang mengiringi. Entah siapa jenazah itu, betapa buruk citranya sehingga tiada seorangpun yang merasa kehilangan atas kematiannya. Iapun berinisiatif untuk turut mengantar jenazah itu. Semoga menjadi amal baik, gumamnya.

“Mas, siapa di antara kalian wali bagi jenazah ini?” tanya Dzun Nun.

“Maaf Mas, tidak ada. Kita semua di sini atas dorongan yang sama, rasa kasihan,” jawab salah seorang dari mereka, “Ayo segera kita bereskan saja.”

Jadilah kelima pria itu mensalatkan hingga menurunkan jenazah ke dalam pusara. Ketika mereka menimbunkan tanah ke atas lubang kuburan, Dzun Nun kembali bertanya,

“Mas, maaf, jenazah ini siapa sih? Orangnya bagaimana?”

“Kami juga tidak tahu, Mas. Setahu kami, tadi ada seorang wanita sedang menangis tersengguk-sengguk di sisi mayat pria ini. Dia yang minta tolong kepada kami agar mengurusi jenazah ini.”

Sedang asyik berbincang, muncul wanita yang dibicarakan. Ia berlari dan tersungkur di atas pusara. Di samping kuburan itu, ia menangis begitu deras, hingga acak-acakan kerudungnya. Tapi sesaat kemudian dia hening sambil mengangkat kedua tangan. Dia berdoa, mengucapkan sesuatu.”

Wanita itu terus berdoa tanpa menghiraukan sekitarnya, lalu terdiam sambil tersungkur. Para pengubur pun bingung. Lebih bingung lagi setelahnya, wanita itu terhentak bangun sambil tertawa-tawa bahagia. Mereka tambah bingung. Setelah suasana dirasa agak tenang, Dzun Nun mendekat dan memberanikan diri bertanya,

“Mengapa Ibu tertawa begitu setelah sebelumnya menangis begitu duka?”

Wanita itu terdiam sejenak,

“Kalau bukan engkau yang bertanya, demi Allah, aku takkan mau cerita. Tapi karena kutahu kau termasuk orang-orang saleh, biar kuceritakan padamu,”

Mereka memasang baik-baik pendengarannya,

“Mas, laki-laki yang kau kuburkan itu adalah putraku. Dia itu bandelnya bukan main. Doyan pacaran. Kesana-kemari berbuat maksiat, kalau ada acara-acara maksiat, dia tak pernah absen. Dia anak muda yang menantang Tuhannya dengan maksiat dan dosa-dosa, Mas,” kenang Si Ibu.

Si penyimak geleng-geleng kepala.

“Hingga akhirnya dia mendapatkan cobaan ini, sakit keras selama tiga hari. Entah mengapa, di akhir-akhir hidupnya, dia berubah total. Mungkin dia merasa kematiannya sudah begitu dekat, sampai-sampai berpesan kepadaku;

‘Ibu, jika aku mati, tolong jangan beritahukan kabar kematianku kepada siapapun yang mengenalku. Mereka pasti takkan merasa kasihan sedikitpun padaku, sebab aku ini tukang maksiat..’

Anakku menangis. Akupun turut menangis. Kemudian dia bersenandung,

لي ذنوب شغلتني – عن صيامي و صلاتي
تركت جسمي عليلا – مات من قبل وفاتي
ليتني تبت لربي – من جميع السيئات
أنا عبد لإلهي – مغضب في الخلوات
محت جهرا بذنوبي – وعيوبي قاتلات
قد توالت سيئاتي – وتلاشت حسناتي

Dosa-dosa telah menyibukkanku, dari puasa dan sembahyangku..
Kutinggalkan tubuhku terperdaya, mati sebelum wafatku..
Andai saja aku bertobat pada Tuhanku, dari segala kesalahanku..
Aku hamba bagi Tuhanku, yang dibenci dalam kesendirianku..
Tersiar jelas dosa-dosaku, aib-aibkulah yang membunuhku..
Sungguh telah berjaya kejelekanku, dan kalah sudah kebaikanku..

Lalu anakku menangis tersedu-sedu. Aku tak tega melihatnya. Dia terus meronta sambil berkata,

‘Aah! Betapa kerasnya hatiku!’

‘Ibu, tolong, jika aku mati, telentangkan jasadku di atas tanah dan letakkan telapak kakimu di wajahku. Katakanlah; inilah ganjaran bagi orang yang durhaka pada Tuhannya, meninggalkan perintahnya, menuruti hawa nafsunya! Dan setelah aku dikubur, angkatlah tanganmu Ibu, nyatakan kepada Tuhan; Duhai Allah, aku rela terhadap anakku, semoga Engkaupun rela terhadapnya.’


Diapun wafat di pangkuanku. Maka akupun menuruti permintaannya. Kulakukan apa yang dia pesankan. Kuangkat tinggi-tinggi tanganku menghadap langit, kupanjatkan doaku setulus-tulusnya. Aku tersungkur menangisi nasib anakku. Lalu kudengar suara seseorang begitu jelas menegur entah dari mana, kukenal betul itu suara anakku,

‘Duhai Ibu, bangkitlah! Aku telah menghadap Yang Mahamulia dan Ia rela terhadapku. Tiada kemurkaan.’

Sebab itulah aku tertawa gembira. Betul-betul bahagia. Inilah kisah kusampaikan padamu, Mas. Lihatlah, betapa agung Kemuliaan dan Kelembutan-Nya terhadap para pendosa ini."

Apa yang dikisahkan bukanlah hujjah untuk tenang berbuat durhaka. Melainkan bisyarah bagi para pendosa yang hampir putus asa. Sebagaimana sabda Nabi, pintu ampunan terbuka lebar hingga nyawa tertarik hingga kerongkongan. Semoga kita tak kehilangan harapan pada-Nya dan tak pula membuat orang lain putus asa.