#SeriSantri (E): Ruang-ruang Pesantren - Santrijagad

#SeriSantri (E): Ruang-ruang Pesantren

Bagikan Artikel Ini

Oleh: Zia Ul Haq


Dalam teori ilmu geografi, tidak ada satu ruangpun yang berdiri sendiri. Setiap ruang memiliki karakteristiknya masing-masing yang khas, sehingga terjadilah interaksi antarruang. Begitu kata teman saya yang sarjana geografi, Budi Mulyawan. Demikian pula konsep ruang dalam proses pendidikan. Seseorang tidak akan bisa belajar hanya di satu bentuk ruang dan menafikan ruang lainnya. Apalagi pendidikan Islam.


Kiai Ahmad Dahlan punya ideologi menarik yang dikenal dengan sebutan ‘Caturpusat Pendidikan’. Bahwa proses belajar umat Islam berlangsung di empat ruang, yaitu rumah, tempat ibadah, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Nah, ternyata pesantren sudah menjadi miniatur bagi konsep pendidikan empat ruang itu.


Pesantren punya ruang-ruang yang berperan penting dalam proses pendidikan santri. Ada masjid, ‘dalem’, ‘gothakan’, madrasah, hingga sawah atau kebun. Ibarat anatomi tubuh manusia, ruang-ruang infrastruktur itu laksana jantung, hati, mata-telinga, otak, dan kaki-tangan.

Masjid


Yakni tempat dimana kiai dan santri mendirikan shalat berjamaah, zikir, haflah, maulid, dan ritual lainnya. Bisa berupa masjid, mushalla, langgar, surau, atau apapun sebutannya. Masjid menjadi pusat aktivitas belajar para santri, juga secara umum menjadi pusat perikehidupan umat Islam. Di tempat inilah asal degup nadi kehidupan pesantren. Inilah ‘jantung pesantren’.


Dalem


Yaitu tempat di mana pengasuh beserta keluarganya tinggal dan menerima tamu. Berupa kediaman atau rumah kiai. Termasuk dalam hal ini adalah makam pendiri pesantren. Sosok yang menjadi penawar bagi racun-racun duka santri. Sebagai pengendap bagi keruh-keruh batin santri. Sebagai cermin bagi tingkah laku santri. Inilah ‘hati pesantren’.


Gothakan


Adalah tempat di mana santri tinggal. Di tempat inilah santri meneguhkan tugas mereka untuk menyaksikan teladan, menyimak ujaran, mengucap pemahaman, meraba nilai, dan merasakan hidup. Mereka belajar bersosialisasi bersama sesama santri, berkehidupan secara wajar, sebagai salah satu unsur penting dalam proses belajar. Inilah ‘mata dan telinga pesantren’.


Madrasah


Ialah ruang di mana kiai menggelar pengajian. Dahulu di serambi masjid atau surau, makin lama makin berkembang sehingga butuh tempat khusus berupa aula, joglo, ruang-ruang kelas, lapangan, bengkel, lab, sekolah, sanggar, kampus, dan lain-lain. Di sinilah proses penggalian pengetahuan berlangsung. Inilah ‘otak pesantren’.


Kebun


Suatu tempat di mana kiai dan santri berupaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka secara mandiri. Biasanya berupa aset pribadi kiai yang digarap bersama. Bisa berupa sawah, kebun, kandang, tambak, warung, toko, koperasi, dan segala jenis unit usaha yang dikelola dengan manajemen profesional sebagai aset yayasan pesantren. Inilah ‘kaki tangan’ pesantren.


Sejak dahulu pesantren sudah akrab dengan konsep kemandirian. Bagaimana mereka bisa berupaya memenuhi kebutuhan dapurnya sendiri, tanpa bergantung kepada institusi negara. Bukan hanya untuk menjaga martabat dan wibawa pesantren, tapi juga mempertimbangkan kehalalan dan keberkahan asupan yang dikonsumsi.


Maka aspek ‘kebun’ ini juga menjadi ruang vital dalam proses pendidikan santri. Bahkan di beberapa pesantren, seperti Pesantren Abuya Munfasir Padarincang Banten, santri baru disyaratkan membawa cangkul dan benih buah untuk ditanam, sebagai sumber pangan para santri.


Dengan ukurang teori ‘Caturpusat Pendidikan’ ala Kiai Ahmad Dahlan, masjid menjadi pusat pertama (tempat ibadah), madrasah menjadi pusat kedua (sekolah), gothakan menjadi pusat ketiga (rumah), ndalem dan kebun menjadi pusat keempat (masyarakat). Empat ruang ini menjalin interaksi yang erat.


Praktik keterkaitan antarruang pendidikan semacam ini juga warisan dari zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ketika hijrah ke Madinah dan membangun peradaban kaum muslimin, beliau membangun masjid sebagai pusat kegiatan umat, memilih rumah tinggal sebagaai tempat sowan para sahabat, menyediakan kamar untuk menginap para santri ahlus-suffah, serta menghidupkan pasar sebagai ruang perputaran ekonomi.

Foto: KH. Muntaha Asy'ari al-Hafidz (Wonosobo) berjalan kaki napak tilas dari Wonosobo ke Kendal bersama para santrinya



No comments:

Post a Comment