Oleh: Imron Rosyadi
Salah satu bahaya besar yang ditimbulkan akibat pilpres tahun ini adalah krisis akhlak kepada para ulama. Sebagai orang yang belum cukup bekal dalam memberikan ijtihad politik, maqom '"sami'na wa atho'na" kepada guru masing-masing itu sudah cukup untuk bersikap dalam menentukan pilihan politik.
Sekali lagi saya katakan 'cukup' mengikuti guru masing-masing, dan tidak perlu mengikuti ajakan media-media penyebar fitnah, hoax, cacian, hinaan, dan kebencian kepada mereka yang mempunyai pilihan politik yang berbeda.
Gara-gara media spesialis penggorengan isu, baik dari kubu ini maupun kubu itu, banyak orang yang kehilangan adab kepada para ulama. Jangankan kepada ulama yang berbeda pilihan politik, kepada ulama yang netral pun sudah tak lagi ada adab di dalam perilaku mereka yang fanatik dalam berpolitik. Contoh nyata ketika Maulana Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya 'diteriaki' selepas acara Haul Solo beberapa waktu yang lalu.
Sementara mereka yang terlalu fanatik calon tertentu, kepada ulama yang mempunyai ijtihad politik berbeda pun tetep tak luput dari kalimat yang tidak pantas. Pernah saya mendengar secara langsung dari telinga saya sendiri oleh seseorang mengatakan bahwa Mbah Maimoen sudah 'pikun' karena mendukung petahana.
Pernah juga saya melihat secara langsung percakapan di sebuah grup WhatsApp menyebutkan bahwa Gus Najih (Putra Mbah Maimoen) dianggap sebagai anak yang 'durhaka' karena berbeda pilihan dengan abahnya.
Ini jelas sangat parah, mereka sudah tidak punya naluri berpikir jernih. Jangankan kepada orang biasa, kepada para ulama pun masih 'qalil adab'. Kenapa itu semua terjadi ?
Karena peran pembisik-pembisik penyebar fitnah semakin banyak dan semakin luas jangkauannya akibat kedahsyatan media sisial. Saya memprediksi setelah Pilpres 17 April pun akan tetep ada hujatan, cacian, dan hinaan di sosial media, bahkan mungkin bisa jadi akan terus ada hingga 5 tahun yang akan datang.
Herannya, hal seperti itu dilakukan oleh orang yang katanya punya panutan yang sama, yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Apa benar Rasulullah mengajarkan perpecahan hanya karena perbedaan pilihan politik?
Jawabannya jelas tidak! Bahkan Rasulullah sendiri sebaik-baik contoh pemersatu bangsa. Dicontohkan oleh Rasulullah ketika baru berusia 25 tahun menjadi pemersatu berbagai suku di Makkah ketika proses pemindahan Hajar Aswad dengan sebuah kain, dimana kain itu dipakai untuk mengangkat Hajar Aswad dan setiap kepala suku memegang ujung kain dan bersama-sama memindahkan Hajar Aswad ke dalam Ka'bah.
Semoga kita semua dilindungi oleh Allah subhanahu wata'ala dari benih-benih perpecahan umat Islam pada khususnya, dan perpecahan bangsa dan negara pada umumnya. Amin!
Wabah Qalil Adab Terhadap Ulama Jelang Pilpres
Bagikan Artikel Ini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment