Kiai Sa’id adalah putra dari Kiai Armiya, Cikura - Tegal, seorang ulama besar yang merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan Islam di daerah Tegal bagian selatan. Atas jasa ayahnya berkembanglah pendirian masjid-masjid jami' di hampir setiap desa sebagai pengokoh pengembangan keilmuan serta kegiatan-kegiatan umat Islam.
Setelah agak besar, dimulailah masa pencarian ilmu bagi Kiai Sa’id. Dengan berbekal pengetahuan yang didapatkan dari ayahnya, beliau memulai menimba beraneka ragam ilmu di pondok pesantren. Inilah awal perjalanan yang mengantarkan beliau menjadi seorang ulama besar di kemudian hari.
Pesantren pertama yang beliau singgahi adalah pondok yang dulu menjadi tempat ayahnya menimba ilmu; pondok Kiai Anwar di Lemahduwur – Tegal. Masa itu pondok Lemahduwur diasuh oleh Kiai Romdlon, menantu serta pengganti dari Kiai Anwar. Kiai Romdlon adalah sosok yang terkenal wira'i dan memiliki kegemaran menghafal kitab-kitab, bahkan semua kitab yang beliau miliki seluruhnya habis dihafal di luar kepala.
Perjalanan selanjutnya, Kiai Sa’id mondok di pesantren Kiai Abu Ubaidah, Giren – Tegal yang masyhur sebagai pusat pendidikan ilmu tauhid. Atas kesungguhan dan kegigihan dalam menimba ilmu mengantarkan beliau menjadi santri yang dikagumi oleh gurunya, hingga kemudian Kiai Abu Ubaidah menikahkan beliau dengan putrinya, Nyai Nafisah, serta mempercayakan beliau untuk menjadi kholifah dalam mengemban dakwah tauhid Ahlussunah wal Jama’ah.
Melanjutkan perjuangan guru serta mertuanya, sehari-hari Kiai Sa’id mengasuh pondok Giren. Sebagai pengasuh, beliau sangat dikagumi oleh santri-santri atas keilmuan, wibawa dan kasih sayang yang beliau miliki. Entah bagaimana, hampir semua santri yang diasuhnya masing-masing merasa menjadi santri yang paling diperhatikan dan dikasihi oleh beliau.
Sebagai ulama yang benar-benar mengabdi kepada Allah, Kiai Sa’id mewakafkan semua umurnya untuk berjuang di jalan Allah. Usianya dihabiskan untuk mengajar santri-santri dan membina masyarakat secara umum. Sebagai hasilnya, banyak santri-santri beliau yang kemudian menjadi ulama besar yang arif biLlah.
Karya beliau yang hingga kini menjadi pelajaran wajib adalah kitab Ta'limul Mubtadiin (1 & 2) yang lebih dikenal dengan sebutan Risalah Awal dan Risalah Tsani. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa Tegalan, berisi rangkuman akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang merujuk pada rumusan Imam As-Sanusi. Kitab ini belakangan juga menjadi muatan lokal wajib di sekolah-sekolah dasar sekabupaten Tegal.
Dalam kesempatan haul tahun lalu, Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdulqadir Bilfagih (Darul Hadits al-Faqihiyyah, Malang) mengisahkan pengalamannya tentang kitab Risalah Awal dan Risalah Tsani ini. Ia pernah bermimpi melihat Kiai Said duduk di hadapan Rasulullah sambil membacakan kitab pegon berbahasa Tegalan tersebut.
Saat ini pondok Giren masih intensif mengajarkan ilmu tauhid dibawah asuhan KH. Ahmad Sa’idi dan KH. Muhammad Hasani yang keduanya merupakan putra Kiai Sa’id. Atas ramainya kegiatan keagamaan yang berlangsung hingga sekarang, saat ini dusun Giren resmi menjadi desa wisata religi kabupaten Tegal.
Kiai Sa’id lahir di Cikura sekitar tahun 1895. Beliau wafat di Giren pada hari Selasa, 29 Juli 1975 yang bertepatan dengan 20 Rojab 1395 H dan dimakamkan di komplek pemakaman Giren. Sebagai penghormatan atas kebesaran beliau, sampai saat ini masyarakat Giren rutin memeringati haul kewafatan beliau bersamaan dengan haul guru serta mertua beliau, Syekh Abu Ubaidah setiap tanggal 15 Jumadil Tsani. Dan sebagai ungkapan 'birrul walidain', setiap tanggal 20 Rojab bersamaan dengan peringatan Isra Mi’raj Nabi Agung Muhammad s.a.w. juga selalu diperingati haul kewafatan beliau di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah, Giren. Kedua acara besar tersebut diisi dengan ziarah makam, khotmil Qur’an dan pengajian umum.
Di tahun ini, peringatan Isra Mi’raj Nabi Agung Muhammad s.a.w. dan haul ke-45 Kiai Sa’id bin Armiya akan dilaksanakan pada hari Rabu, 27 Maret 2019 di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah, Giren - Tegal. Semoga kita semua mendapatkan taufiq untuk bisa menghadiri bersama segenap keluarga.
Membaca ceritanya, jadi ingin ke Tegal. Kayaknya kental banget nuansa keislamannya. Banyak santri ya di sana? Pasti banyak kegiatan pengajian di kampung kampung. Kapan-kapan kalau ada kesempatan, ingin main-main ke sana... baca juga https://www.ladangcerita.com/2018/10/cerpen-maling-yang-mendadak-jadi-kyai.html
ReplyDeleteWaliyullah
ReplyDeleteMasya Allah
ReplyDelete