Ngaji Hikam #2 - Memilih Pilihan Allah Atas Dirimu - Santrijagad

Ngaji Hikam #2 - Memilih Pilihan Allah Atas Dirimu

Bagikan Artikel Ini
إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من السهوة الخفية، وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد إنحطاط عن الهمة العلية

“Keinginan Anda berada pada suatu maqom tajrid, bersamaan dengan itu Allah Ta’ala mendudukkan Anda pada maqom asbab adalah termasuk syahwat yang samar, sedangkan keinginan Anda berada pada maqom asbab, bersamaan dengan itu Allah Ta’ala mendudukkan Anda pada maqom tajrid adalah terjatuh dari himmah (kedudukan) yang tinggi.”

Oleh: Ustadz Ulin Nuha Asnawi

Jangan terjebak dengan istilah tajrid dan asbab, sehingga memalingkan diri dari kata kuci ‘keinginan Anda’ dan ‘apa yang Allah tempatkan pada diri Anda’. Karena pada hakikatnya tajrid dan asbab akan bernilai jika taqshid (berkesesuaian) dengan ridla Allah Ta’ala. Wa man ya’tashim bi-Lah fa qad hudiya ila shirathim mustaqim!

At-Tajrid dan al-Asbab merupakan dua kedudukan yang bertingkat, seperti guru dan murid, Ahli syareat dan Ahli hakikat, Mursyid dan murid, Ulama dan awam, dosen dan mahasiswa, bos dan karyawan, atau yang paling mudah dilihat seperti fenomena sekarang kiai dan santri.

Jika demikian, maka keinginan Anda tampil sebagai guru padahal Anda adalah seorang murid maka Anda terjebak dalam syahwat yang samar/lembut. Begitu juga keinginan Anda sebagai Ahli Hakekat pada hal Anda adalah Ahli Syareat, keinginan Anda sebagai mursyid padahal Anda seorang murid, keinginan Anda sebagai Ulama padahal Anda adalah awam, keinginan Anda sebagai dosen padahal Anda adalah mahasiswa, keinginan Anda sebagai bos padahal Anda adalah karyawan, keinginan Anda sebagai kiai padahal Anda adalah santri.

Menurut Ahli Hikmah, nafsu yang mendorong seseorang tampil sebagai bukan prioritasnya, bukan kapasitasnya; seperti fenomena akhir zaman ini; banyak yang tidak berilmu tampil sebagai Ulama, banyak yang tidak berilmu (awam) tampil sebagai ustadz adalah syahwat yang samar/lembut. Bisajadi dikatakan samar kerena mungkin pelakunya sendiri tidak menyadarinya, bahkan yang mengikutinya juga tidak mengetahui kapasitas yang diikutinya. Wal ‘iyadz bil-Lah.

Kebanyakan para penyarah kitab, seperti Ibnu ‘Ubbad An-nafazy, atau Asy-Syarqawy, Ibnu Ajibah atau Abdul Majid asy-Syarnuby (rahimahumulLah) mengatakan; Asbab merupakan kedudukan hamba dihadapan Tuhannya, kedudukan yang banyak keterkaitan pada ibadah-ibadah dzahir, asbab-musabbab, banyak usaha, sedangkan tajrid kebalikan dari asbab.

Al-faqir ingat betul apa yang dikatakan asy-Syaikh Asy-Syarqawi (rahmahulLah) dalam Sarah Hikamnya:

إقبال الناس على المريد قبل كماله سم قاتل
"Penerimanaan orang-orang atas seorang murid (satri, sebagai guru) sebelum kesempurnaan (kearifan)-nya bagaikan racun yang mematikan."

Oleh karena itu wahai kawan-kawanku yang aku cintai, berhati-hatilah dalam memilah dan memilih guru, menerima pendakwah, atau ustadz yang bukan kapasitasnya. Bisa jadi Anda tidak terbunuh secara dzahir akan tetapi aqidah keyakinan Anda terancam, menjadi rusak, dan kelak akan menuai penyesalan.

Hakikatnya ahli Tasawuf, seperti Ibnu Athalillah Assakandary (rahimahulLah) tidak menggeneralisir maqam tajrid dan asbab, tapi bukankah lebih beradab, jika kita memasuki maqam tajrid atau maqam asbab dengan ridla Allah Ta’ala. Wa qul robbi ad-khilni mudkhola shidqin, wa akhrij nii mukhoraja shidqin! Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku dengan masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan keluar yang benar juga (Engkau ridlai).

Terkadang, guru-pun dituntut belajar didudukkan seperti murid, Kiai-pun perlu muthala’ah seperti kedudukan santri, bos-pun terkadang dituntut bekerja seperti kedudukan karyawan. Akan tetapi jika melebihi kapasitanya, pastinya menurunkan muru’ah-nya, demikian layaknya dibahasakan oleh Ibnu Athailah; terlempar dari kedudukan yang tinggi.

Kita sudah mempunya tashawwur (gambaran) apa itu tajrid? Apa itu asbab? Seberapa had-batasannya, sehingga kita mempunyai pandangan (an-nadlr) bahwa dalam syahwat yang samar termasuk su’ul adab adalah seorang santri yang belum tamam (sempurna keilmuannya) terburu-buru mendudukkan diri sebagai seorang guru, kiai atau bahkan ulama, apalagi awam atau mu’alaf yang belum banyak mengetahui disiplin ilmu Islam.

Ingatan kita tentang ungkapan penyarah kitab Syaikh As-Syarqawi (rahimahulLah) masih segar, bahwa keterlanjuran diterimanya murid yang belum tamam (sempurna keilmuannya), bagaikan racun yang mematikan. Jauh-jauh hari Rasulullah ShallalLahu ‘alaihi wasalam, dari riwayat Abu Hurairah (radlialLahu ‘anh) mengingatkan

وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال : بينما كان النبي صلى الله عليه وسلم يحدث إذ جاء أعرابي فقال : متى الساعة ؟ قال : " إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة " . قال : كيف إضاعتها ؟ قال : " إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة " . رواه البخاري .

Riwayat Abi Hurairah (radlialLahu ‘anh), bahwa ketika beliau berkhutbah, datang seorang Arab Badui menanyakan, kapan hari kiamat? Ketika amanah disia-siakan maka pastilah datang hari kiamat, jawab Rasulullah. Bagaimana amanat disia-siakan, wahai Rasulullah? Jika suatu perkara diserahkan kepada selain ahlinya, tegas Rasulullah.

Al-amru/suatu perkara tersebut menurut Syaikh Ali al-Qary (rahimahullah) dalam Mirqat al-Mashabih, adalah urusan kepemimpinan (amr as-Sulthan), regulasi pemerintah (imarah), putusan hukum (al-qadla), serta hukum-hukum islam (al-hukumiyah). Sedangkan faktanya dari semua hal tersebut mengalami penurunan yang masif terutama lemahnya nilai-nilai Islam, akibat dari ulama yang bukan semestinya, awam yang diulamakan.

Nampaknya kita terjebak dalam urusan ini sehingga ulama yang sesungguhnya pun menghabiskan waktu untuk menjelaskan permasalahan yang sangat serius ini kepada santri dan jamaahnya. Selain itu ulama-ulamaan tersebut sering merebut panggung, bertabrakan dalam arus sosial yang tajam. Sehingga masyarakat awam -seperti alfaqir ini- sering bertabrakan satu samaclain dalam furu’iyah, ubudiyah sosial, serta politik yang tidak sehat.

Mungkin al-Hikam menjawab permasalahan ini dengan cara; tetaplah mendudukkan diri pada maqom asbab jika oleh Allah Ta’ala kalian ditakdirkan berada pada maqom asbab, dan tetaplah mendudukkan diri di maqom tajrid jika Allah Ta’ala menghendaki kalian di maqom tajrid.

Seseorang yang didudukkan oleh Allah Ta’ala pada maqom tajrid, kedudukan yang bi ghoiri yuhtasab, atau kedudukan tanpa banyak keterkaitan asbab. Jika ia mendudukkan dirinya pada maqom asbab maka dirinya layaknya terlempar dari kedudukan yang tinggi.

Gambarannya seperti bos yang mendudukan dirinya sebagai pekerja, guru yang mendudukkan dirinya sebagai murid, atau ulama yang terlampaui akan tetapi mendudukakan dirinya pada maqom santri bahkan awam. Maka mereka seperti terlempar dari kedudukan yang tinggi, muru’ah serta harga dirinya tertawan oleh tingkah lakunya sendiri.

Betapa banyak orang yang terlihat tanpa pengaruh dimata penghuni dunia tapi diperhitungkan oleh penduduk langit, disebabkan memilih selamat dari pada terlihat hebat di mata manusia.

Yogyakarta, 1/3/2019

No comments:

Post a Comment