"Urip ki ra sah kakean diangen-angen, sing penting urip ki dilakoni."
Teringat dulu sewaktu masih santri, setiap ngaji “Bab Zakat atau Bab Haji” kitab saya tutup, terus piye carane bisa tidur. Setelah saya mengajar santri-santri, setiap ngaji Bab Zakat, Bab Haji juga saya lompati.
Alasan saya, sesuai dengan daya pikir dan cara kerja otak saya adalah:
(1) Santri-santri saya kebanyakan masih kecil-kecil , dan (maaf) kebanyakan dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Ilmu Zakat dan ilmu Haji, bagi mereka jelas bukan ilmu Hal (ilmu yang segera akan dilaksanakan)yang wajib dipelajari, sehingga lebih baik saya gunakan untuk ngaji bab lain atau kitab lain yang lebih urgent.
(2) Sedangkan saya sendiri secara ekonomi hanyalah miskin, sehingga sama sekali tidak tertarik dengan ilmu Zakat dan ilmu Haji. Masalah zakat dan haji ‘membayangkan’ pun saya tidak berani. Itu kan kewajiban orang-orang yang berduit, orang-orang yang kaya. Sedangkan saya, bisa makan sehari 3 kali pakai lauk dan bisa memberikan uang jajan untuk sekolahnya anak-anak pun sudah alkhamdulillah.
Saya dan istri tertawa jika teringat masa-masa lalu. Masa-masa awal pernikahan. Masa dimana sehari hanya makan dua kali dengan satu telur diper empat untuk lauk berdua. Masa dimana harus mengantar istri ke pasar, ke acara semaan Quran, atau acara-acara lain dengan sepeda onthel Jawa. Apalagi jika teringat ngendikane bapak saya, ketika saya memperkenalkan calon istri saya kepada beliau, “Ya udah, itu namanya sudah kufu. Kamu kere, calon istrimu miskin. Mencari istri memang harus kufu. Hehe….”
Sungguh menggelikan. Hehehe…
“Maa tadri nafsun maadzaa yakuunu ghodan; Seseorang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok."
Saya tidak tahu apakah ini ungkapan hadits atau hanya perkataan ulama, yang jelas saya merasakan betul kebenarannya. Zakat, yang dulu setiap ngaji saya lompati, alkhamdulillah sekarang setiap tahun saya jalani. Haji, yang dulu membayangkanpun tidak berani, alkhamdulillah tahun 2006 kemaren, bersama dengan istri, saya dipanggil Allah untuk mengunjungi-Nya di Makkah al Mukarromah. Sepeda motor yang dulu saya miliki hanya dalam mimpi, sekarang di garasi rumah ada sepeda motor untuk saya, untuk anak-anak saya bahkan ada ada mobil.
Allah Ta’ala berfirman, “Jika mereka (orang-orang yang menikah) itu orang-orang yang fakir (berkekurangan), maka Allahlah yang akan mencukupi mereka, dengan kemurahan-Nya."
Maha benar Allah dengan semua janji-Nya. Inilah yang saya rasakan. Karena, sejak dulu sebelum nikah hingga sekarang beranak 4, yang saya lakukan dan yang saya kerjakan hanyalah sama. Mengajar ngaji santri-santri dan ngaji bersama masyarakat. Itulah kegiatan saya sejak bujang hingga sekarang. Bedanya, kalau dulu saya miskin, sekarang alkhamdulillah (setidak-tidaknya saya merasa) sudah kaya.
Kesimpulannya, jangan sampai akal membuat kita pesimis menjalani hidup ini. Kita harus selalu optimis. Akal hanyalah untuk memandu bagaimana kita harus berbuat, tapi jangan sekali-kali dipercaya bahwa ia yang mengatur dan menentukan hidup kita. Percayalah pada janji-janji Allah. Dialah yang tak akan pernah menyalahi janji-janji-Nya. Sungguh hidup ini tidak butuh dibingungkan, tetapi hanya butuh dikerjakan.
*KH. Katib Masyhudi adalah pengasuh Pesantren Fadhlun Minallah, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta.
Betul sekali, banyak diantara kita gamau ngaji terus protes lagi ke orang yang ngaji... syukron untuk sharingnya, Jangan lupa kunjungi web kami juga di : Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah
ReplyDelete