Ngaji Akhlak Dasar Madrasah Santrijagad - Santrijagad

Ngaji Akhlak Dasar Madrasah Santrijagad

Bagikan Artikel Ini
Selain akidah dan fikih, mengaji akhlak menjadi salah satu hal yang wajib bagi setiap muslim. Bahkan akhlak disebut-sebut menjadi jiwa bagi keyakinan (akidah) dan amalan (fikih). Tanpa akhlak, keyakinan dan pengamalan ibadah kita akan kaku dan kurang indah. Seakan-akan akhlak itulah misi utama risalah Islam. Sampai-sampai Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dhawuh,

Ø¥ِÙ†َّÙ…َا بُعِØ«ْتُ Ù„ِØ£ُتَÙ…ِّÙ…َ Ù…َÙƒَارِÙ…َ الْØ£َØ®ْÙ„َاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi)

Sebagaimana ilmu akidah dan ilmu fikih, ilmu akhlak juga ada disiplinnya sendiri. Lazim disebut dengan ilmu tasawuf, ilmu tazkiyah, dan lain sebagainya. Di Madrasah Online Santrijagad, kita mengaji ilmu akhlak yang sudah disajikan secara sistematis oleh salah seorang pesohor dalam ilmu tasawuf. Yakni al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi atau lebih dikenal dengan nama Imam Ghazali (450-505 H).

Beliau dikenal sebagai pengasas tasawuf amali. Yakni pendekatan sufistik batiniah yang berimbang dengan pengamalan disiplin ritual lahiriah. Sebagaimana tergambar jelas dalam salah satu karya monumentalnya, Ihya Ulumiddin. Karya Imam Ghazali yang disebut-sebut sebagai pintu gerbang menuju kitab Ihya adalah kitab Bidayatul Hidayah, rujukan pengajian akhlak dasar di Madrasah Online Santrijagad.

Hanya ada tiga bab di kitab Bidayatul Hidayah. Bab I menerangkan tentang berbagai jenis ketaatan beserta adabnya. Bab II menerangkan berbagai jenis kemaksiatan jiwa dan raga serta ajakan menjauhinya. Bab III menerangkan etika bergaul dengan Allah dan sesama makhluk Allah. Tiga bab seakan-akan menggambarkan secara ringkas inti akhlak seorang hamba, yaitu; melakukan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, dan menjaga pergaulan.

Sajian akhlak praktis di dalam Bidayatul Hidayah diracik dengan seksama oleh Imam Ghazali dari tuntunan Al-Quran dan Sunnah agar pas dosisnya dengan muslim awam seperti kita. Yakni menyeimbangkan antara ritual lahiriah dengan pemaknaan batiniah. Kitab ini dinamai Bidayatul Hidayah (permulaan hidayah) sebab dianggap sebagai langkah awal bagi seorang hamba untuk menempuh jalan hidayah dan ketakwaan. Langkah awal itu tak lain dan tak bukan adalah menata ibadah-ibadah lahiriah.

Dahulu, saat masih mengaji kitab ini di majlis Habib Ahmad bin Novel Jindan, saya ingat betul beliau berkata bahwa kitab Bidayatul Hidayah ini termasuk karya yang tipis namun isinya berat. Sebab kitab ini bukanlah kitab teori, melainkan kitab praktek. Kitab ini bukan sekedar buku bacaan, namun lebih seperti modul petunjuk teknis pelaksanaan. Cara efektif mengaji kitab ini bukanlah dengan membacanya sampai khatam lalu selesai. Tetapi dengan membacanya satu fasal untuk dipahami, kemudian mempraktekkannya. Kalau sudah bisa mempraktekkannya minimal satu pekan, baru lanjut pasal selanjutnya.

Beliau juga menceritakan kisah perjalanan tiga sahabat. Pada kisaran abad ke-11 hijriyah, berangkatlah tiga orang ulama dari kota Tarim (Hadramaut, Yaman) menuju Madinah. Ketiganya adalah Habib Abdurrahman bin Mustafa Alaydrus, Habib Syaikh bin Muhammad Al-Jufri, dan Habib Abu Bakar bin Husein Bilfaqih. Mereka bertiga berjanji setia untuk mengamalkan seluruh isi kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali.

Berkat keistiqamahan dan kesungguhan mereka, masing-masing sosok ini mendapat kesempatan bertemu dengan Rasulullah (dalam mimpi atau terjaga, wallahu a’lam). Kepada Habib Abdurrahman Alaydrus, Rasulullah memberi kitab kecil berwarna putih dan memerintahkannya untuk berdakwah ke Mesir. Kepada Habib Syaikh bin Muhammad al-Jufri, Rasulullah memberi piring dan memerintahkannya berdakwah ke India. Sedangkan kepada Habib Abu Bakar bin Husein Bilfaqih, Rasulullah memberinya sebuah tongkat dan memerintahkannya berdakwah ke Aceh.

Mari kita mutolaah isi kitab Bidayatul Hidayah, sambil belajar mempraktekkannya sesuai kemampuan kita masing-masing. Kitab tasawuf amali semacam Bidayatul Hidayah bukanlah sekedar untuk diobrolkan, apalagi untuk diperdebatkan. Melainkan untuk diamalkan, dihayati, dan dirasakan. Semoga kita semua mendapatkan futuh (keterbukaan) dalam ibadah, serta memperoleh puncak hidayah. Untuk seluruh guru, dan tentu saja untuk Imam Ghazali, mari kita layangkan doa dan Fatihah.

Zia Ul Haq
Admin Santrijagad

No comments:

Post a Comment