Namanya Bapak Salim (50). Tinggal di Dusun Tawing RT 04 RW 05 Desa Sidorejo Ponggok Blitar. Sebuah rumah mungil yang berdindingkan bambu, di dalamnya hanya ada amben satu, di belakangnya hanya ada dapur dari tanah liat. Tanpa ada tempat mandi ataupun WC. Yang ada hanya padusan kecil buat wudlu. Terletak di sebuah kebun kiri kanan agak jauh dari rumah tetangga. Di dalamnya ini dihuni oleh Pak Salim seorang diri tanpa anak dan istri, seorang pekerja buruh macul dengan gaji yang tak menentu, mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Rumah Pak Salim |
Kedua siang hari saat kami mendapat satu amanah uang tunai sebesar Rp1.000.000,- dari sahabat. Saat kami sampaikan beliau juga menolak, saat itu saya hanya tunjukkan amplopnya, tak tunjukkan nilai nominalnya. Lantas saya buka amplop dan saya hitung di depan beliau, satu juta nominal yang ada. Namun beliau tetap menolak. Saya agak paksa untuk menerima. Dan alhamdulillah diterima. Namun satu lagi yang membuatku terperanjat, ketika beliau menggenggam tanganku dan mengembalikan amplop beserta uang itu sambil berkata, “Uang ini saya terima, tapi tolong sampaikan kepada yang lebih berhak lagi, masih banyak diluar sana yang lebih membutuhkan daripada saya.”
Kejadian itu sempat membuatku menangis haru. Meski dalam kondisi yang bila dilihat dari luar begitu susah, namun jiwa Pak Salim sangat mensyukuri nikmat. Beliau menjaga maruah dan harga diri beliau, serta mampu menjalani hari dengan sabar dan iklas atas ketentuan Ilahi. Padahal di zaman sekarang sangat banyak yang memiskinkan diri, demi sebuah nafsu dan ambisi, hilang malu dan nurani. Sukanya menerima tapi enggan memberi.
Pak Salim, padahal gaji beliau dalam satu bulan itu tak seberapa. Tapi dengan tekad dan keimanan beliau mampu hidup dengan damai dan nyaman dalam kesederhanaan.
Kunjungan ketigaku sengaja bersama rekan-rekan Wapri ke tempat Pak Salim untuk sebuah renungan. Sambil membawa bantuan sembako, di hati ini saya telahpun yakin akan ditolak sembako itu. Namun saya niatkan untuk sebuah renungan kawan-kawan yang lain tentang makna hidup.
Dan sampai disana ternyata kembali ditolak oleh Pak Salim.
Pak Salim, berbaju putih dan berpeci |
Ikhlas sabar nrimo loman merupakan satu kunci kehidupan yang bahagia. Ini satu sisi hidup, di sisi lain masih banyak juga kebalikan dari kisah Pak Salim, yaitu orang kaya raya harta namun kehidupannya tidak bahagia. Banyak orang berdasi, duduk megah di kursi sambil menikmati kopi. Gayanya selangit namun bila malam sendiri selalu mengeluh tentang hidup ini. Semoga satu perjalanan tertanggal Minggu,15/05/2016 ini mampu memberikan arti dan manfaat untuk sebuah renungan menuju hidup yang lebih baik dan damai. Aamiin Allahuma Aamiin. [Zq]
*Sumber: FB Ahmad Arif Afandi, disunting oleh Santrijagad
No comments:
Post a Comment