Syahdan, ketika Wahab Hasbullah muda yang energik sedang sibuk untuk mendirikan cabang Sarekat Islam di Arab Saudi, sampailah kabar kepadanya bahwa ibunya sakit, maka ia pun segera kembali ke tanah air. Beberapa bulan kemudian ia sudah merapat kembali di pelabuhan Jeddah. Namun kedatangannya kali ini disertai dengan ibunda dan seorang wanita muda, yakni adiknya yang bernama Chadijah, pengantin baru yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya. Kedatangannya bersama ibunya ke tanah suci adalah untuk menunaikan ibadah haji dan sebagai pelipur lara sang adik.
Setelah beberapa lama tinggal di tanah suci, oleh Wahab Hasbullah, adiknya ini kemudian dijodohkan dengan temannya. Bisri Sansuri yang telah lama menemani Wahab Hasbullah sejak masih menjadi santri di Kajen, bersedia menikahi adik temannya ini. Namun rupanya Wahab memiliki rencananya sendiri. Setelah acara pernikahan selesai, ia mengutarakan niatnya untuk kembali ke tanah air kepada teman lama yang telah menjadi adik ipar barunya. Namun rupanya Bisri Sansuri berkeinginan juga untuk pulang ke tanah air, ia juga sudah merindukan kampung halamannya. Tetapi Wahab menolaknya, sebesar apa pun keinginan, Bisri sekeras itu pula penolakan Wahab yang menginginkan agar mereka menetap lebih lama lagi di tanah suci.
Karena sama-sama ngotot, Wahab nampak mulai mengalah. Maka mereka pun, Wahab beserta ibunda, adik dan ipar Bisri, berangkat menuju dermaga pemberangkatan kapal. Sesampainya di dermaga mereka berhenti dan hanya menunggu, Bisri mempertanyakan mengapa mereka tidak segera naik, Wahab pun menjawab bahwa mereka semestinya tidak perlu turut pulang. Perdebatan pun kembali terjadi, hingga akhirnya tangga jembatan yang menghubungkan antara kapal dan dermaga diangkat. Ketika peluit pemberangkatan kapal kemudian melengking tinggi, Wahab segera melompat dan berenang menuju tambang kapal yang masih berjuntaian di atas permukaan air. Sementara Bisri kebingungan, ia sangat ingin turut melompat dan mengikuti Wahab kembali ke tanah air, namun bagaimanakah dengan mertua dan istrinya? Rupanya ia perlu beberapa waktu untuk menyadari bahwa tadi, Wahab hanya mengulur waktu saja agar mereka tidak bisa ikut.
Cerita bahwa Bisri "dikerjain" Wahab ini sering disampaikan oleh Gus Dur dalam pengajiannya di Pesantren Ciganjur. Beberapa tahun kemudian mereka kembali ke Tanah air, dan mendirikan pesantren di Denanyar Jombang dengan bekal sebidang tanah dari mertuanya, KH. Hasbullah, ayah Wahab, pengasuh pesantren Tambak Beras. Pernikahan Bisri dan Nur Chadijah ini dikaruniai sepuluh anak, namun yang hidup hingga dewasa hanya empat, salah satunya adalah Munawaroh (Sholichah A. Wahid Hasyim).
Salah satu keberanian kontroversial yang tampaknya kemudian menurun dari KH. Bisri Sansuri kepada anak cucu mereka adalah ketika mereka mendirikan Pesantren Putri di bawah pengawasan langsung Ibu Nyai Hj. Khadijah. Konon di Denanyar inilah cikal bakal pesantren putri di Jawa Timur, yang sebelumnya belum lazim didirikan.
Masa kecil dan Pernikahan
Munawaroh lahir di Jombang 11 oktober 1922 sebagai seorang anak Kyai pengasuh pesantren. Neng Waroh (panggilan kecilnya) dididik dalam lingkungan keagamaan yang ketat, namun keberaniannya telah terlihat sejak kecil. Neng Waroh sering menyelinap melihat prosesi pemakaman orang-orang Cina di bong dekat pesantrennya, baik sendirian maupun mengajak teman-temannya. Ia juga sangat mahir memanjat pohon, sesuatu yang tidak lazim bagi anak putri. Kenakalan masa kecilnya ini berakhir ketika ia dinikahkan dengan Abdurrachim, putera KH. Cholil, Singosari, pada usia 14 tahun. Pernikahan pertamanya ini hanya berumur satu bulan karena suaminya meninggal.
Dua tahun kemudian, 10 Syawal 1356 H./1938 M. ia dinikahkan lagi dengan Abdul Wahid, putera sulung KH. Hasyim asy'ari, dan diboyong ke Tebu Ireng. Maka sejak inilah kehidupan Munawaroh menapak babak baru, entah bagamana selanjutnya ia lebih di kenal sebagai Ibu Sholichah, Nyonya Wahid.
Sejak tinggal di Tebu Ireng inilah ia mulai aktif di pengajian-pengajian masyarakat, membuka ranting-ranting Muslimat NU baru dan terlibat di Fujinkai yang membuatnya terlibat dengan banyak kalangan. Salah satu sisi penting dari kehadiran Sholichah adalah "mengganti baju" Fujinkai, dengan dipenuhi "badge" kemuslimatan. Di mana kegiatan-kegiatannya diisi dengan pengajian dan kursus-kursus kemandirian perempuan.
Dalam situasi perang, sebagai istri seorang tokoh nasional, aktifitas Sholichah adalah membantu para pejuang dengan mendirikan dapur umum di dekat pabrik gula Cukir. Menyelamatkan dokumen-dokumen rahasia ketika suaminya dikejar-kejar Belanda, termasuk menyamar menjadi babu.
Sejak Januari 1950 ketika terjadi penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, Sholichah mulai meninggalkan Jombang karena harus mengikuti kepindahan suaminya yang dipercaya untuk menduduki jabatan Menteri Agama. Pada masa-masa ini A. Wahid Hasyim dan istri lebih dapat sering berkumpul sebagai sebuah keluarga. Namun kesempatan dan keutuhan ini tidak berlangsung lama, tiga tahun kemudian, A. Wahid Hasyim meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil di daerah Bandung, sementara Sholichah baru berumur tiga puluh tahun.
Bertahan di Jakarta
Semenjak ditinggalkan oleh almarhum KH. Wahid Hasyim, sebagai janda dengan enam orang anak yang masih kecil-kecil tentu terasa sangat berat hidup di Jakarta. Dari sini banyak tawaran mengajaknya kembali saja ke kampung halaman, Jombang Jawa Timur. Namun mengingat pesan almarhum suaminya yang menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat dididik untuk menjadi orang-orang yang dapat diandalkan untuk memperjuangkan bangsanya, Sholichah menyatakan tekadnya untuk bertahan di Jakarta. Tawaran ini juga datang dari orang tua Beliau, KH Bisri Sansuri. Ia meneguhkan dirinya tetap menempati rumah peninggalan suaminya, Jalan Amir Hamzah nomer 8 Matraman Jakarta Pusat.
Lalu bagaimanakah caranya agar cita-cita almarhum suaminya dapat diwujudkan? Sementara ia hanyalah seorang janda? Maka ia pun mulai berusaha mempertahankan kehidupannya di Jakarta. Ny. Sholichah kemudian mengajukan ijin dagang beras kepada Walikota Jakarta yang kala itu dijabat oleh Syamsurijal. Setelah mendapatkan ijin, ia mencoba mengembangkan pangsa pasarnya dengan mendapatkan hak untuk memasok kebutuhan Departemen Sosial dan Departemen Agama.
Ia juga membuka usaha jual beli mobil secon yang pada waktu itu disebut sebagai catut mobil. Serta menjadi subrevelansir bahan-bahan bangunan dalam proyek pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok. Ia mendatangkan pasir dan bambu-bambu dari daerah untk dijual kepada pelaksana di sana, yakni PT Sitra dari Perancis. Dengan demikian ia dapat membiayai pendidikan putera-puterinya hingga ada yang dikuliahkan ke ITB, Pesantren Tegal Rejo serta ke Mesir dan lain-lain dengan topangan perekonomian yang dirintisnya sendiri dari awal.
Selanjutnya, Sholicah terus melanjutkan perjuangannya dengan berkecimpung di dunia politik melalui NU, turut membesarkan NU di Jakarta dan terpilih sebagai anggota DPRD mewakili NU hingga ketika NU harus berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan.
Sejak saat itu, Ibu Sholichah mulai menjalani berbagai aktivitas. Beraneka ragam kegiatan dijalaninya, mulai dari menjadi Anggota Pimpinan Muslimat NU Gambir (1950), Ketua Muslimat NU Matraman (1954), Ketua Muslimat NU DKI Jaya (1956), hingga Ketua I Pimpinan Pusat Muslimat NU sejak 1959 sampai meninggal.
Menurut Mahmudah Mawardi, teman seperjuangannya di PP Muslimat NU, Sholichah adalah sosok yang berpikiran maju, menjadi salah satu motor penggerak Muslimat NU serta dicintai oleh anggota. Ia bukan hanya pandai menganjurkan, melainkan juga senantiasa lebih dahulu memberikan contoh atas anjuran-anjurannya, termasuk banyak sekali mengorbankan hak-haknya untuk kemajuan dan perkembangan organisasi, dalam hal ini Muslimat NU.
Ketika NU menjadi partai, Sholichah aktif dalam berbagai kegiatan Muslimat NU. Ketika NU berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, ia tetap menjadi anggota legislatif (1978-1987). Sempat aktif dalam kegiatan Yayasan Dana Bantuan, sejak 1958 sampai akhir hayatnya. Terlibat aktif dalam mendirikan Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (1974), serta mendirikan Panti Harapan Remaja, Jakarta Timur (1976).
Dalam bidang kegiatan keagamaan, Ibu Sholichah mendirikan Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU (1963), Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (1978), Pengajian Al-Islah (1963), Lembaga Penyantun Lanjut Usia (1976) yang kemudian diubah menjadi Pusat Santunan dalam Keluarga (Pusaka), Majlis Taklim Masjid Jami Matraman.
Salah satu sifat paling menonjol dalam diri Solichah adalah rasa sosial dan kedermawanannya. Dalam banyak hal, ia cenderung mengedepankan kepentingan orang-orang lain, terutama kepada mereka yang tergolong kurang beruntung secara ekonomi. Rasa sosialnya ini nyata terlihat ketika Beliau dipercaya untuk membina badan sosial Muslimat. Dalam pembinaannya, bersama dengan kekompakan teman-teman seangkatannya seperti Ibu Mahmudah Mawardi dan Asmah Syahroni, badan sosial Muslimat mencatat banyak sekali kemajuan. Antara lain dengan mendirikan Rumah bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik KB dan memberikan bea siswa kepada putera-puteri NU yang terlantar, serta kunjungan-kunjungan berkesinambungan kepada panti-panti sosial lain di daerah.
Para cucu menceritakan bahwa Nenek mereka ini hampir-hampir tidak pernah berbelanja di super market, langganan belanja untuk kebutuhan sehari-harinya adalah pasar cikini, meskipun ia adalah anggota DPR.
Selain itu pada saat yang sama, Sholichah juga aktif beraktivitas di perkumpulan "Bunga Kemboja", yakni sebuah organisasi sosial yang khusus menangani masalah jenazah dan penguburan di Jakarta. Bersama-sama dengan Ibu Lasmidjah Hardi (dari kalangan nasionalis), Ibu Anie Walandaoe (golongan Kristen) dan Mr. Hamid Algadri (dianggap sebagai wakil golongan sosialis), beliau mendirikan yayasan tersebut sebagai bukti sosial yang tentu saja "hanya" berlaku bagi kalangan menengah-atas ibu kota saja.
Karena keaktifan dan prestasinya dalam berorganiasasi, maka sejak 1957 Ibu Sholicah telah terpilih menjadi Anggota DPRD DKI Jakarta (1957), Anggota DPR-GR/MPRS (1960) anggota DPR/MPR (1971-1987).
Selama menjadi DPR, sebagai seorang janda mendiang menteri agama, Sholichah Wahid tidak menunjukkan keangkuhan sedikit pun, ia senantiasa berbaur bersama masyarakat tanpa pernah ingin disambut sebagai janda mantan pejabat tinggi negara atau menunjukkan rasa ingin dihormati. Ia senantiasa tidur seadanya di tempat yang telah disediakan oleh panitia (bukan di hotel). Tanpa mengalami perubahan apa pun baik sebelum suaminya menjadi menteri agama, selama ia sebagai istri menteri maupun setelah ia berstatus sebagai janda mendiang menteri agama.
Bukan hanya mau berkecimpung di organisasi pada level nasional atau pusat saja, melainkan juga tetap bersedia aktif membimbing beberapa organisasi di tinkat yang terendah seperti PKK di kelurahan dan RT/RW tempat tinggalnya.
Bersama dengan teman-temannya, ia juga mendirikan Yayasan al-Islah di Kebayoran Baru untuk mengelola yatim puiatu dan anak-anak tidak mampu lainnya.
Seabrek kegiatan organisasi lain yang dijalaninya adalah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Sosial RI (1958). Bendahara BKS-Wamil (Badan Kerjasama Wanita Militer)/Front Nasional Pembebasan Irian Barat (1958), anggota Palang Merah Indonesia (1950), Anggota Pimpinan Yayasan Dana Bantuan Departemen Sosial RI. Anggota pimpinan Kowani wakil dari Muslimat NU (1960).
Salah satu bukti perhatiannya kepada perkembangan keislaman di tingkat lokal adalah masjid peninggalannya di Ciganjur. Yang dinamai al-Munawwaroh, nama kecilnya. Masjid ini didirikan pada mulanya dengan swadaya dan bantuan masyarakat sekitar, namun dalam perkembangannya, pembangunan ini mendapatkan sumbangan dari Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Di mana menurut penduduk setempat, mereka banyak sekali menerima wejangan dari Ibu Sholichah agar berjanji untuk selalu memakmurkannya hingga kelak jika ia meninggal dunia.
Rupanya Sholichah ingin mendobrak stigma negatif mengenai adanya pandangan bahwa tradisi perempuan-perempuan pesantren adalah pribadi yang apatis dan hanya bisa menjadi konco wingking (teman pelengkap) saja, apalagi kok terhadap dunia politik. Dalam hal ini ia berhasil menepis stigma-stigma miring seputar peran perempuan pesantren. Melalui aktivitasnya tersebut, ia ingin menyadarkan kepada khalayak, "Ini lho bukti bahwa perempuan pesantren tak kalah bersaing dengan perempuan kota atau pun laki-laki."
Masa G30.S
Selama masa-masa pergolakan pemberontakan gerakan G30.S Sholichah merupakan salah satu penandatangan pernyataan pengganyangan terhadap PKI yang disebut-sebut sebagai dalang dari segala peristiwa tersebut. Bahkan menurutnya, Muslimat NU-lah yang terlebih dahulu memiliki ide dan pernyataan pengganyangan ini, namun demi efektivitas aksi, akhirnya pernyataan ini diatasnamakan pada PBNU. Hal ini karena menurutnya, Muslimat telah terlebih dahulu mengeluarkan pernyataannya pada tanggal 3 Oktober 1965, sedangkan PBNU baru mengeluarkan pernyataan senada pada tangal 5 Oktober 1965 bersama-sama dengan ormas-ormas lain. Sholichah-lah yang pertama kali mengeluarkan pernyataan pengganyangan melalui siaran RRI.
Sholichah bersama-sama dengan Subhan ZE, pemimpin Front Pancasila dan Kesatuan Aksi Pengganyangan G30.S bahu-membahu untuk mengkonsolidasikan kekuatan demi mengganyang PKI. Meski rumah Subhan yang dijadikan markas pengganyangan, namun secara spesifik markas pengganyangan PKI PBNU berada di kediaman Sholichah. Di sana sekaligus berfungsi sebagai dapur umum. Rumahnya-lah yang dianggap paling aman saat itu, karena letaknya berdekatan dengan rumah Jenderal Alamsyah yang merupakan orang dekat Soeharto, Komandan Kostrad yang merupakan pemegang komando resmi pengganyangan.
Selaku ketua pusat Muslimat, ia adalah orang pertama yang membubuhkan tanda tangan di atas surat pernyataan yang berisi kecaman terhadap aksi kekerasan tersebut. Bahkan, beberapa orang mengatakan, "Andai Sholichah tidak mengawali tanda tangan, sangat mungkin PBNU tidak mengeluarkan pernyataan sikap."
Paling Berkesan
Menurut penuturannya kepada majalah Risalah Islamiyah tahun 1977, hal paling berkesan dalam hidupnya adalah pidatonya di depan sidang badan pekerja MPRS 1967 dalam rangka memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden RI. Ia mengatakan bahwa "Bungkarno adalah orang yang berjasa dan pejuang yang tidak diragukan lagi. Tetapi manusia bisa khilaf, bersifat terbatas dan tidak dapat terlepas dari kesalahan, karenanya, saya mengusulkan untuk memberhentikan Bung Karno dari Jabatan Presiden." Katanya waktu itu. Kesempatan inilah menurut pengakuannya, menjadi hal paling berkesan yang pernah dilakukannya.
Sementara menurut KH. Abdurrahman Wahid, putera sulungnya yang mantan presiden RI keempat, menyatakan bahwa hal paling berkesan dari ibundanya ini adalah, kegigihannya dalam bersilaturrahmi. Termasuk adalah ketika Ibu Sholichah harus berkeliling ke seluruh pulau Jawa untuk meminta tanda tangan dari para kiyai untuk pernyataan ketidakterlibatan adik iparnya, Yusuf Hasyim, dalam gerakan DI/TII. Saat itu Yusuf Hasyim sedang dalam tahanan Polisi Militer. Bahwa Beliau adalah "Anak Jaman" yang sangat rajin bersilahturahmi, di samping memberikan "sumbangan" besar dalam menegakkan kerukunan antar golongan setelah mencapai kemerdekaan.
Ibu Sholichah al-Munawwarah (nama yang dikenal di Ciganjur sekarang) wafat pada 9 Juli 1994 di RSCM dan dikebumikan di pemakaman keluarga, Komplek Pesantren Tebu Ireng Jombang. Semoga perjuangan dan dharma bhaktinya dapat kita teladani dan arwahnya diterima di sisi Allah SWT.
*Sumber : http://zulfanioey.blogspot.co.id/2011/11/ibu-hj-nyai-sholihah-munawwaroh-wahid.html
No comments:
Post a Comment