Oleh:
Prof. Dr. M. Quraish Shihab
Perhatikanlah
kesatuan logis dan keserasian yang menggumkan dalam paparan al-Quran menyangkut
siapa yang haram dikawini, seperti termaktub dalam surah al-Nis’ ayat 22-23.
Ayat tersebut –dalam satu redaksi—menuturkan secara rinci, menyeluruh, lagi
tidak mengabaikan sesuatu. Disamping itu, ayat tersebut disusun dengan amat
sistematis disertai syarat dan kondisinya serta petunjuk menyangkut siapa yang
haram dikawini.
Tak
dapat disangkal bahwa menyusun urutan semacam ini bagi ilmuwan merupakan suatu
olah nalar yang tidak mudah, apalagi bisa disusun secara spontan, sebagaimana
halnya keadaan wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad. Hal ini karena uraian
ayat di atas berkaitan dengan tiga belas kelompok yang berbeda.
Perhatikanlah
bagaimana ayat di atas menguraikan kelompok-kelompok tersebut secara berurutan
ke bawah: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, anak saudara laki-laki, anak
saudara perempuan, kemudian anak perempuan saudara perempuan yang memiliki
hubungan keakraban langsung, kemudian perempuan yang menyusukan, lalu saudara
perempuan sesusuan dan setelah itu disusul dengan keharaman mengawini mertua,
menantu, dan saudara istri.
Diamati
pula, bagaimana ayat di atas menyampaikan runtutan kelompok-kelompok tersebut
dengan mendahulukan penyebutan laki-laki dari perempuan, dan menyebut hubungan
kekerabatan dengan suami sebelum menyebut hubungan kekerabatan dengan istri,
sambil mendahulukan yang lelaki.
Dalam
al-Quran suraj al-An’am ayat 83-86, Allah menyebutkan nama 18 nama, tetapi
terlihat bahwa penyebutan nama-nama mereka disusun bukan atas dasar masa
kehadiran mereka di pentas kehidupan, juga tidak atas dasar keutamaan dan
derajad mereka.
Ayat
tersebut, menurut Ibrahim al-Biqa’i adalah dalam rangka menjelaskan anugerah
Allah kepada “Bapak Monoteisme” Ibrahim. Anugerah tersebut disamping sebagai
hujjah juga merupakan pemberian dari Allah yang berwujud dalam sosok
putra-putrinya. Yang pertama disebut adalah putera yang tidak terpisah
dengannya, yaitu Ishaq dan putra yang lain, yaitu Ya’qub, karena Ya’qub
merupakan ayah yang melahirkan anak cucu pembawa ajaran-ajaran Ilahi. Di sini,
Nuh disebut agar tidak timbul kesan bahwa anugerah tersebut diperoleh mereka
dengan melupakan orang tua, apalagi Nuh adalah leluhur kesepuluh yang paling
mulia. Karena beliaulah manusia pertama yang melarang penyembahan berhala.
Nah,
setelah selesai penyebutan nama-nama mereka yang berkuasa atau menguasai dan
mengalahkan penguasa, maka yang disebut sesudah mereka adalah yang dikuasai
atau dikalahkan oleh penguasa masanya. Zakaria dan Yahya dibunuh oleh penguasa
masanya, sedangkan Isa dan Ilyas diselamatkan oleh Tuhan dan diangkat ke
sisi-Nya.
Demikianlah,
terlihat hubungan keserasian dalam penyebutan nama-nama tersebut. [bq]
Sumber:
Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Edisi 32 Tahun 2009. Hubungan Kata Demi Kata dalam
Surah Al-Quran. Mata Air
No comments:
Post a Comment