OLEH: KH. MUSTOFA BISRI
Mungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan penggunaan istilah-istilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”
Anehnya lagi, selaras dengan hal
tersebut di negeri ini di samping ada took buku ada took kitab. Orang “sekolahan”
kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko
kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual
buku-buku yang bertulisakan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko
kitablah –seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb.—yang menjualnya.
Apalagi “kitab kuning”, jangan
harap Anda dapat menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun
hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang
diterjemahkan tokoh-tokoh pesantrennya itu pun selalu ada tulisan Arabnya.
Demikianlah; seiring dengan
pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka
madrasah (dan pesantren) dianggap
tempat belajar agama dan kitab yang
dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang
dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum.
Baru belakangan –dugaan saya
sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab Bahasa Arab seperti
kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian
“Muslim-muslim kota”—toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual
“kitab-kitab”; terutama kitab-kitab terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan
“kitab-kitab” yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa
dijual di toko kitab. Juga umumnya “kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko
buku itu adalah terjemahan dari Bahasa Barat, utamanya Bahasa Inggris, tidak
seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab.
Boleh jadi ketertarikan orang
Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid
Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan
gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota
di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab
tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling
merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca
kitab-kitab karangan itu (Hasan al-banna, pendiri Al-Ikhwan Al-Muslimin,
ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal
Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyaris—sudah divonis—hukman mati tahun 1953, batal
karena protes keras dari dunia Islam).
Maka sekarang ini, bila Anda masuk
ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan
“bacaan agama”; termasuk buku-buku terjemahan dari kitab-kitab kuning.
Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan
Maududi ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko
buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya
pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat
keberagaman yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham
Islam yang garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris).
Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya
semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang
mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya
masih terasa. [bq]
*Sumber: Dr. KH. A. Mustofa Bisri. Edisi 32 Tahun 2009. Kitab dan Buku. Mata Air
No comments:
Post a Comment