Oleh Ahmad Syafii Maarif
Dalam perspektif al-Quran, Islam adalah sebuah agama yang
menentang setiap perbuatan yang merusak, membinasakan, melukai, dan membunuh
tanpa alasan yang benar. Bahkan dalam peperangan sekalipun, prinsip-prinsip
moral, akhlak, dan etika harus dijadikan acuan. Cerita-cerita tentang kekejaman
Fir’aun, kaum A’ad, Tsamud, dan kaum Nuh yang durhaka adalah di antara gambaran
klasik mengenai sikap dasar al-Quran yang menentang setiap bentuk perbuatan
zalim, onar, dan melampaui batas. Fir’aun misalnya, dikatakan “sesungguhnya ia thagha” (perbuatan
durhaka yang melampaui batas) (QS an-Nazi’at: 17). Seperti kita ketahui, di
antara kekejaman penganut Fir’aun itu adalah membantai semua anak laki-laki
karena khawatir akan mengganggu kekuasaannya, sedangkan anak-anak perempuan
dibiarkan hidup (QS al-Baqarah: 49; al-A’raf: 141; Ibrahim: 6). Dari ayat-ayat
ini saja kita dapat menyimpulkan bahwa Islam menyatakan perang terhadap segala
bentuk kekerasan, kebiadaban, dan kezaliman, karena semuanya itu termasuk dalam
kategori “perbuatan durhaka yang melampaui batas.” Maka tidak disangsikan lagi
bahwa terorisme adalah perbuatan biadab yang wajib diperangi dan dibasmi,
siapapun yang melakukan: perorangan, kelompok, atau pun negara.
Jangankan membunuh banyak orang melalui aksi terorisme,
membunuh seorang anak manusia saja pun diharamkan, karena perbuatan itu
seakan-akan telah membunuh semua manusia. Begitupun sebaliknya, seseorang yang
memelihara hidupnya orang lain, seakan-akan ia telah memelihara hidupnya
seluruh manusia (lihat QS al-Maidah: 32). Terorisme hampir selalu berkaitan
dengan persoalan politik, yaitu penggunaan kekerasan atau ancaman untuk
mencapai tujuan politik. Terorisme selalu menimbulkan ketakutan dan kengerian
yang luar biasa dalam masyarakat. Terorisme sebenarnya adalah tindakan pengecut
yang teramat keji. Oleh sebab itu, Islam pasti menentangnya dari ujung sampai
ke pangkal.
Isu mengenai jaringan terorisme internasional mengemuka
secara luas sejak tragedi New York dan Pentagon pada 11 September 2001 dan
kemudian diikuti oleh tragedi Bali 12 Oktober 2002 yang telah membunuh ribuan
dan ratusan manusia tidak bersalah. Tragedi New York dan Pentagon, menurut
Informasi yang kita terima, dilakukan oleh 19 orang nekad berkebangsaan Arab
(13 Saudi dan enam dari Mesir dan Aljazair). Pelaku perbuatan teror ini adalah
orang-orang profesional, kelas menengah, dan terdidik. Fenomena ini jelas
mengandung tanda tanya besar. Mungkin jika yang melakukan itu adalah orang desa
dan berjenggot dari Afghanistan, barangkali orang tidak akan terlalu kaget. Apalagi
orang desa yang tidak terdidik (lihat Thariq Ali, The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and Modernity, 2002:293-294).
Karena para pelakunya adalah mereka berkebangsaan Arab Muslim, maka sementara orang
menyimpulkan bahwa Islam itu identik dengan terorisme, sebuah tuduhan yang
tidak kurang kejinya. Sebagai perbandingan, orang misalnya tidak boleh
menyimpulkan bahwa tentara Amerika yang telah membunuh secara brutal ratusan
ribu rakyat Vietnam melalui terorisme negara, maka Kristenitas lalu sama dengan
terorisme, karena umumnya rakyat Amerika beragama Kristen. Oleh sebab itu,
dalam situasi dunia yang tidak menentu ini, marilah kita menggunakan akal sehat
dan pikiran waras untuk menilai suatu kejadian yang membinasakan dan menjadi
musuh peradaban itu.
Jika treagedi New York telah membinasakan 2.800 manusia
tidak bersalah, maka invasi pasukan Amerika dan Inggris atas Afghanistan telah
menewaskan 6.000 manusia tidak berdosa, tetapi hampir tidak ada protes yang
menggebu dari dunia. Bedanya sebenarnya terletak pada kenyataan bahwa tragedi
New York dilakukan oleh teroris kelompok tanpa seragam, maka tragedi
Afghanistan dilakukan teroris negara dengan pakaian seragam. Istilah terorisme
negara ini bukan dari penulis, tetapi dari Johan Galtung dan Dietrich Fischer
dalam artikelnya berjudul: “To End Terorism, End State Terorism”, Just Commentary, Vol. 2, No. 9
(September 2002: 1-2). Menurut Galtung dan Fischer, sejak 1945 Amerika Serikat
melalui terorisme negara telah melakukan intervensi terhadap negara lain
sebanyak 67 kali dengan korban tidak kurang dari 12 juta, baik yang dilakukan
CIA maupun Pentagon. Media Amerika, menurut Galtung, tidak pernah menyebut
terorisme negara yang dilakukan pemerintah Amerika ini. (bersambung…)
[bq]
Sumber: Maarif, Syafii Ahmad dkk. 2005. Islam Dan Terorisme Dari
Minyak Hingga Hegemoni Amerika: 89-91. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment