Oleh: M. Amien Rais
Namun dalam kaitan ini perlu segera digarisbawahi, bahwa
terorisme dalam bentuk halus atau lebih canggih yang tidak menggunakan
kekerasan langsung, biasanya mendapatkan dukungan sangat efektif apabila media
massa membenarkan tindakan yang bersubstansi terorisme itu. Bayangkan andaikata
media massa Indonesia menjadi beo atau “Pak Turut”, mengikuti apa saja kata
media massa Filipina atau media massa asing yang mempunyai iktikad buruk
terhadap Indonesia, maka akan sempurnalah terorisme penangkapan tiga warga
negara Indonesia di Filipina itu.
Bila kita membicarakan peran media massa yang dikaitkan
dengan terorisme, maka juga menjadi jelas pihak yang menguasai media massa akan
mendominasi dalam menggambarkan terorisme seperti yang mereka kehendaki.
Sementara pihak yang lemah dan tidak menguasai media massa tentu akan kelabakan
dantidak sanggup memberikan pukulan balik terhadap jualan media massa yang
lebih kuat tersebut. Inilah barangkali yang perlu diperhatikan ketika Tamsil
Linrung dan kawan-kawan ditangkap di Filipina dengan alasan membawa bahan
peledak dan segala macam tuduhan, yang apabila kita gunakan pikiran jernih
rasanya tidak mungkin Linrung dan teman-temannya yang masih normal dan tidak
cukup gila, membawa bahan peledak melewati sebuah bandara di Manila.
Penulis sendiri ketika peristiwa itu terungkap sedang berada
di beberapa negara Eropa untuk rangkaian kunjungan dan ceramah di kampus-kampus
di sana. Namun penulis mengikuti secara cermat melalui internet. Dan memang
penangkapan tiga orang itu menimbulkan misteri yang sulit dipercaya. Misteri
yang paling menonjol adalah, bagaimana mungkin polisi Filipina dapat mengajukan
serangkaian pertanyaan tentang HMI, ICMI, Dewan Dakwah, PAN, Peristiwa Poso,
Peristiwa Maluku, dan berbagai hal yang pernah menjadi gejolak politik di
Indonesia seperti halnya aparat intelijen di Indonesia mengetahuinya. Memang
titik inilah yang menimbulkan tanda tanya besar, siapa yang memberikan suplai
pertanyaan kepada polisi Filipina, sehingga bisa-bisanya polisi Filipina
membuat pertanyaan sangat mendetail dan seolah-olah menguasai persoalan
Indonesia bahkan dengan segala fitnah dan segala macam dramatisasi serta
jebakan-jebakannya.
Karena penulis tidak mempunyai bukti yang solid untuk
menuduh siapa pun, maka penulis hanya ingin mengatakan bahwa terorisme di mana
pun, baik yang menggunakan kekerasan maupun psikologis, selalu mengandung
kebusukan serta kepengecutan. Tidak terkecuali dalam kasus Tamsil Linrung dan
kawan-kawan yang tampaknya polisi Filipina sendiri sulit mencari
tuduhan-tuduhan yang bisa menyeret tiga orang WNI itu ke arah yang diinginkan
oleh kekuatan lebih besar yang kini sedang menguasai lalu lintas Informasi,
bukan lalu lintas politik dan diplomasi di dunia dewasa ini. Tetapi satu hal
cukup jelas, bahwa menjadi tugas pemerintah Indonesia, lewat Departemen Luar
Negeri kita di Manila dan dibantu aparat hukum kita, untuk melindungi warga
negara Indonesia di mana pun mereka mengalami musibah untuk mendapatkan
klarifikasi yang sejelas-jelasnya, bagaimana duduk persoalannya, bagaimana cara
memecahkan masalah yang terlanjur meledak ini dengan sebaik-baiknya, agar tidak
mengganggu hubungan baik antara Jakarta dan Manila.
Akhirnya harus penulis garis bawahi di sini, bahwa kita
harus waspada terhadap orang-orang berhati busuk yang kadang menempuh jalan apa
saja untuk mencapai tujuannya. Perbedaan antara orang baik dan orang jahat
adalah, orang yang termasuk kategori baik tidak pernah menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuannya. Sementara orang yang termasuk kategori buruk dan
busuk, adalah mereka yang setiap kali dengan entengnya menggunakan prinsip
tujuan menghalalkan cara.
Sebagai catatan penutup harus juga disampaikan di sini,
bahwa ada perbedaan yang besar antara sebelum dan sesudah reformasi. Pada zaman
sebelum reformasi, badan intelijen di Indonesia memang merupakan lembaga yang
angker, gawat, ditakuti, dan membuat bulu orang yang bersangkutan dengan
lembaga intelijen ini berdiri saking takutnya. Tetapi pada zaman reformasi ini,
semua menjadi terbuka, sejak dari lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
tidak pelak menjadi terbuka juga berbagai macam lembaga intelijen kita tanpa
kecuali.
Karena itu, mungkin perlu kita ingatkan supaya
saudara-saudara kita yang berada di lembaga inetlijen negara hendaklah
berhati-hati. Sekarang ini zamannya transparansi. Semua bisa kelihatan,
layaknya lari di tengah lapangan, tidak ada yang bisa ditutup-tutupi lagi. Maka
kata kunci untuk kebaikan kita bersama adalah; hati-hati agar kita tidak
membuat blunder. Dengan tidak adanya blunder itu hidup kita menjadi tenang
bersama-sama. Tetapi kalau kita tidak hati-hati, masih membayangkan zaman ini
seperti zaman-zaman kemarin, maka blunder
demi blunder bisa terjadi dan itu
untuk kerugian kita bersama. Wallahu
a’lam. [bq]
Sumber: Z.A. Maulani dkk. 2005. Islam dan Terorisme. Halaman
83-86. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment