Oleh: M. Amien Rais
Masyarakat beradab pada zaman modern sekarang ini tidak ada
yang membenarkan aksi apapun yang tergolong terorisme. Secara singkat bisa
dikatakan bahwa terorisme merupakan sebuah bentuk kekerasan langsung atau tidak
langsung, yang dikenakan pada sasaran yang tidak sewajarnya mendapat perlakuan
kekerasan itu, dan dengan aksi tersebut dimaksudkan agar terjadi rasa takut
yang luas ditengah-tengah masyarakat. Bila seseorang meledakkan sebuah bom di
masjid, gereja, pasar, hotel, pertokoan, atau di kerumunan orang, maka teroris
yang meledakkan bom itu mengharapkan segera terjadi suasana ketakutan di
tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan masyarakat, maka semakin
berhasil gerakan terorisme.
Namun dalam kaitan ini perlu kiranya dikemukakan dua sebab
berbeda yang telah melahirkan terorisme. Yang pertama, terorisme muncul karena
ada sebuah kekerasan durjana dan durhaka yang ingin menundukkan masyarakat
tidak berdosa agar menjadi lemah lunglai dan tidak mempunyai nyali kembali
untuk mengangkat kepala serta melakukan perlawanan terhadap kekuatan durjana
itu. Sebaliknya ada terorisme yang disebabkan oleh keputusasaan dan frustasi
yang meluas di pihak si lemah, kemudian si lemah tidak bisa memberikan
perlawanan kepada penindasan yang dideritanya kecuali dengan melakukan teror,
agar si penindas atau si durhaka bisa mulai melepas cengkeramannya. Dengan kata
lain, supaya si penindas yang kejam itu juga kemudian mengalami rasa takut
untuk melanjutkan penindasan dan kedurjanaannya.
Secara demikian, tindakan Israel yang menghancurkan
perkampungan Palestina dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa, tentu
termasuk terorisme kategori pertama. Sementara orang-orang Palestina yang
melakukan pembalasan seadanya dengan melemparkan bom ke sebuah bus di Tel Aviv,
tentu termasuk terorisme kategori kedua. Disitulah letak interpretasi atau
pemaknaan terorisme yang bisa berlawanan. Para pejuang Palestina yang sedang
merebut kemerdekaannya dituduh sebagai kaum teroris oleh negara zionis Israel. Sementara
para penindas Israel yang telah melanggar HAM paling asasi, oleh pihak Israel
dianggap sebagai penjaga keamanan ataupun ketentraman, sedang bagi pihak
Palestina itu lebih jahat dari kaum teroris.
Yang jelas, terorisme kemudian berkembang menjadi luas,
karena motivasi masing-masing teroris berbeda satu sama lain. Dan, akhirnya
orang memahami ada terorisme kecil-kecilan yang dilakukan oleh segelintir
orang-orang yang tertindas. Tetapi juga ada terorisme berskala raksasa yang
sangat dhsyat, yang disponsori negara dengan aparat militer maupun aparat
kekerasannya. Dengan tinjauan seperti ini maka seluruh terorisme Israel
disponsori oleh negara zionis itu. Sementara terorisme yang dilakukan sejak
lama oleh para pejuang PLO pasti berbeda dalam skala maupun dampak yang
diptimbulkan oleh terorisme kecil-kecilan ala Palestina itu.
Selanjutnya makna terorisme terus berkembang ketika
akasi-aksi terorisme tidak saja dengan cara-cara kekerasan yang bersifat
telanjang, melainkan menggunakan tekanan psikologis dan tekanan mental yang
dibuat lebih canggih, tetapi hasilnya tidak kalah dari terorisme yang mengambil
model kekerasan.
Sekelompok warga negara asing yang kebetulan berada di
Amerika, kemudian ditangkap FBI lantas ditelanjangi di kamar kosong untuk
menjalani interogasi berhari-hari, maka perlakuan seperti ini jelas merupakan
tindakan terorisme yang sejatinya telah menginjak-injak hak asasi manusia. Contoh
mutakhir yang ramai dibicarakan adalah penangkapan tiga warga negara Indonesia
yang sedang berada di Filipina. Mereka ditangkap aparat kepolisian atau
intelijen Filipina dengan tuduhan membawa bom dan sebagainya. Bentuk perlakuan
seperti ini sesungguhnya termasuk kategori terorisme dengan tekanan psikologis
dan tekanan mental. (bersambung…) [bq]
Sumber: Z.A. Maulani dkk. 2005. Islam dan Terorisme. Halaman
81-83. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment