Oleh: Abdullah Mubaqi
Sengaja saya beri tanda petik pada dua kata terakhir di judul, sebagai sebuah tanda bahwa Kaki Juned tidak hanya menjadi Kaki Juned tetapi juga menjadi "Kaki Juned". Simbol untuk mereka yang tak bernama Kaki Juned, tetapi mengalami hidup Kaki Juned.
Suatu Ashar,
saya menyengaja jalan kaki menuju rumah Mbah, yang harus melewati rumah Kaki
Juned—Kaki, panggilan untuk kakek yang sangat sepuh--. Pas di seberang pintu
belakang rumah beliau, saya diteriaki Bi Maslah—Bi, kependekan dari Bibi. Di tempat
tinggal saya, Bibi menjadi panggilan untuk Ibu-ibu yang berjualan--, “Qi, itu
kaki Juned dituntun.” Dengan segera, saya menghampiri Kaki Juned. Saya tuntun
beliau. Karena belum tahu beliau sudah tuli, saya mengarahkan arah ke mana
harus berjalan.
Sore itu, Kaki
Juned baru saja selesai sholat Ashar. Masjid berada sekitar 50 meter dari rumah
beliau. Speaker Masjid, pun salah satunya mengarah ke sekitar rumah beliau.
Tidak aneh, sebenarnya, bila kemudian Kaki Juned langsung bergegas ketika azan.
Tetapi itu berlaku, jika beliau tidak tuli. Jika kemudian tuli, tapi masih
mendengar, kan Aneh!
“Kaki Juned
sudah tidak bisa mendengar.” Begitu tutur Bi Maslah selepas saya menuntun Kaki
Juned. Ditambah olehnya juga, bahwa Kaki Juned sudah tidak bisa melihat. Saya
terhentak waktu itu. Mungkin, bagi lingkungan Kaki Juned, itu sudah wajar.
Tetapi bagi saya, ada keanehan. Sepanjang sisa jalan ke rumah Mbah aku berfikir
sampai-sampai tidak aku fikirkan lagi. Toh, banyak faktor yang bisa menjadi
sebab; salah satunya kebiasaan.
Di tempat lain,
ada seorang pemuda yang ke musholla dekat rumahnya. Sebelum maghrib menadlomkan
asmaul husna, selepas maghrib me-speker-kan surah Ya Siin, sesudah Isya di
hari-hari tertentu dia menadlomkan burdah. Hingga terkenal sebagai pemuda yang
alim. Tidak cukup itu. Di rumah, dia membantu orang tuanya dengan rajin dan
tekun. Bila ada kerja bakti, dia ikut. Ada tetangga yang sakit, dia menjenguk.
Ada yang kena musibah, ia membesuk. Tak ada sempat untuk nongkrong dengan
pemuda-pemuda lain. Konsekuensinya, ia dikenal sebagai pemuda yang berbakti.
Sikap pemuda itu
wajar, sebab masih sehat, seger buger.
Masih bisa melihat, bisa mendengar, bisa berjalan tanpa tongkat. Tidak seperti
Kaki Juned. Mungkin akan lebih berasa aneh ketika saya utarakan fakta ini:
Setiap sepertiga malam, Kaki Juned melangkah ke Masjid melalui jalan yang sama
dengan ketika saya menuntun. Masuk ke Masjid lewat pintu sebelah selatan. Mengambil
wudlu di sebelah Utara. Kembali lagi. Dan sholat di serambi selatan Masjid.
Serambi itu biasanya untuk Jamaah perempuan. Kemudian sembari menunggu subuh
tiba, beliau duduk Tawarruk.
Sepertiga malam, adalah waktu yang sepi di desaku. Man Dasrun saja, Muazin
Masjid, selalu datang di akhir sepertiga malam.
***
Tentu, tak ada
seorangpun yang bisa membaca niat keduanya. Baik si Pemuda maupun Kaki Juned.
Sebab itu, bukan soal niat yang hendak dibicarakan. Tetapi apresiasi-apresiasi
yang membentuk suatu identitas. Si Pemuda di apresiasi masyarakat dengan
sebutan Pemuda Alim dan Berbakti, Kaki Juned juga Aki Alim dan berbakti.
Apresiasi
berkaitan dengan nilai. Nilai yang bukan angka. Berkaitan dengan harga. Harga
yang bukan nominal uang. Bisa saja, kita membeli sayuran dengan harga sekian
rupiah. Bisa saja seorang pengajar memberikan nilai dengan nilai 8 pada hasil
pengerjaan tugas seorang siswa. Terhadap sebuah ketaatan, apakah bisa ditakar
dengan angka dan nominal?
Dalam seutas
sayuran ada kesepakatan-kesepakatan harga, dalam sebuah PR ada aturan-aturan tertentu
untuk memberi nilai. Pun dalam ketaatan, ada kesepakatan dan ada aturan-aturan.
Kesepakatan antara siapa? Aturan-aturan siapa?
Kaki Juned,
katakan, tidak sehat. Sudah tidak lagi bisa melihat, mendengar, pun berjalan
dengan tongkat. Sedangkan si Pemuda, kebalikannya. Bagi Kaki Juned, apakah
masih berpengaruh apresiasi-apresiasi itu? apresiasi siapa yang sedang
diharapkan Kaki Juned? Kalaupun dari Masyarakat, beliau sudah tidak bisa
menikmati apresiasi-apresiasi itu. Berbeda dengan si Pemuda. Meski belum tentu,
dia mengharapkan apresiasi dari Masyarakat, namun dia bisa saja menikmati
apresiasi itu. Sebab masih bisa mendengar, melihat.
Ada satu
apresiasi, yang apabila diyakini, maka tidak akan pernah dilepaskan begitu
saja. Misal, sholat berjamaah, diapresiasi 27 derajad ketimbang sholat munfarid
yang diapresiasi 1 derajat, orang-orang berilmu diparesiasi dengan dinaikkan
derajatnya, orang-orang yang mau bersabar diapresiasi dengan kehadiranNya
bersama mereka, dan masih banyak lagi
bentuk apresiasi lainnya, surga, bidadari, lipatan-lipatan kebaikan,
diantaranya. Bahkan meski hanya sebentuk penglihatan dan atau pendengaran saja –Jika
pernah mengalami Cinta, hanya dilihat saja atau didengar saja sudah menjadi
apresiasi yang wah--. Hingga dalam surah al-Kahfi, sebuah perjumpaan, untuk
mengapresiasi mereka yang beramal sholeh dan tidak menyekutukan dalam
peribadatannya. [bq]
No comments:
Post a Comment