Oleh: Hasyim Muzadi
Belakangan ini ada tema yang begitu merebut perhatian kita
bersama, baik dalam konteks lokal, nasional, regional, maupun global, yaitu
agama, radikalisme, dan terorisme. Tema ini, buat kita, menjadi amat signifikan
mengingat Indonesia merupakan negara yang berpenduduk Islam terbesar di dunia. Dan,
belakangan muncul semacam stigma bahwa Islam diparalelkan dengan
fundamentalisme atau bahkan terorisme.
Penulis ingin mengawali pembahasan dengan radikalisme agama.
Mengapa radikalisme agama bisa terjadi? Lebih spesifik, mengapa Islam
seolah-olah kemudian cenderung dikonotasikan dengan sesuatu atau gerakan yang
serba radikal?
Yang pertama harus dipahami adalah radikalisme dapat terjadi
di semua agama, bukan hanya Islam. Semua agama, menurut hemat penulis, baik
Yahudi, Kristen, Protestan, Hindu, maupun Budha, bahkan agama-agama lokal, juga
memiliki kemungkinan yang sama, yaitu dimuati gerakan radikalisme.
Bahkan, lebih jauh, radikalisme juga menghinggapi
ideologi-ideologi nonagama. Sebut misalnya, fasisme yang menggelorakan perang
di seluruh benua pada Perang Dunia II. Di banyak negara, gerakan-gerakan
fasistik dan ultra-nasionalis juga melakukan banyak tindakan kekerasan. Bahkan,
di negara-negara yang demokrasinya sudah dianggap maju, seperti Amerika Serikat
atau Eropa Barat, tindak-tindak kekerasan juga terjadi.
Belakang ini, kita memang menyaksikan banyak Kelompok Islam
yang mengatasnamakan agama Islam sebagai label gerakannya (yang pada kelompok
tertentu bahkan bersifat kekerasan), baik di Asia Tenggara maupun Timur Tengah.
Tetapi di sisi lain, kita juga melihat umat Kristen melakukan gerakan-gerakan
radikal yang bernuansa kekerasan di Irlandia atau Sudan Selatan. Di India, kita
juga melihat bagaimana umat Hindu melakukan kekerasan dan terlibat gerakan-gerakan
radikal di Ayodya, India.
Yang juga patut dicatat ialah agama memiliki empat dimensi,
yaitu teologi, ritual, sosial, dan humanitas. Dimensi teologi merupakan dimensi
yang privat, tidak bisa dicampuri siapa pun, dan tidak boleh disentuh dari luar
tanpa jalur kesadaran.
Sementara itu, dimensi ritual adalah hubungan langsung
manusia dengan Tuhannya. Penempatan dimensi teologi dan ritual secara benar
akan menumbuhkan harmoni sosial, yakni kebutuhan material (kemakmuran) dan
spiritual (keadilan, kebersamaan, dan sejenisnya) masyarakat terwadahi.
Penempatan dimensi teologi dan ritual dengan benar juga
berimplikasi pada penguatan dimensi humanitas. Dimensi sosial dan humanitas
ini, menurut penulis, ada pada ajaran semua agama. Yang berbeda hanyalah pola,
teknik, bentuk serta prosesnya.
Sebaliknya, jika kita keliru menempatkan dimensi teologi dan
spiritual, dua dimensi tersebut menyobek-nyobek harmoni sosial dan kemanusiaan.
Dengan kata lain, melalui empat dimensi tersebut, agama harus dikembangkan
sebagai potensi harmoni, bukan potensi konflik.
Dengan kata lain, radikalisme tidaklah identik dengan ajaran
agama, agama apa pun itu. Lalu mengapa radikalisme bisa terjadi di dalam
gerakan keagamaan? Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama, pemahaman dan penafsiran terhadap agama. Apakah agama
dipahami sebagai sebuah absolutisme, baik dalam wacana maupun tata laksana
teknis, ataukah agama dipahami sebagai absolutisme kebenaran dalam wacana,
tetapi tata laksana teknisnya disesuaikan kondisi yang melingkupinya.
Di sinilah wawasan keagamaan umat beragama menjadi
berbeda-beda, yang disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, faktor tingkat
pemahaman seseorang atau kelompok terhadap agama itu sendiri dan faktor
kualitas keberagamaan seseorang. Ada yang menerima agama secara parsial, tetapi
ada juga yang menerimanya secara utuh atau holistik. Sedangkan yang
memungkinkan munculnya radikalisme adalah pemahaman agama secara parsial. Contoh
kecil, ada orang yang mengtahui ajaran perang, tetapi tidak memahami ajaran
kesabaran atau perdamaian.
Kedua, konteks
lingkungan. Dalam skala privat, agama memang dijalankan sebagai pertanggung
jawaban pribadi atau keluarga. Namun, ketika agama hendak diketengahkan kepada
masyarakat yang memiliki penerimaan tidak sama (berbeda-beda satu sama lauin), faktor
lingkungan itu harus diperhatikan.
Saat itu, kita dibatasi hak asasi orang lain. Pada titik
ini, agama tidak boleh dipaksakan kepada siapa pun. Sebab, pada dasarnya tidak
sah hukumnya mengikuti agama lain melalui proses pemaksaan atau kekerasan. Dan Islam
tidak pernah mengajarkan serta menghendaki hal itu.
Ketiga, faktor
munculnya fenomena konflik nonagama di dalam masyarakat atau umat beragama yang
kemudian ditarik atau dikemas dalam wujud konflik agama. Di sejumlah tempat,
muncul fenomena ditariknya konflik politik, ekonomi, atau sosial yang kemudian
ditarik menjadi konflik agama.
Ada kelompok-kelompok radikal yang mengemas konflik yang
sebenarnya bukan merupakan konflik kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial
menjadi seolah-olah konflik agama. Di Indonesia, misalnya, hal ini terjadi di
Ambon, Maluku, yang sudah menelan korban ribuan orang, baik dari orang beragama
islam maupun Kristen. (bersambung…) [bq]
Sumber: Sumber: Z.A. Maulani
dkk. 2005. Islam dan Terorisme. Halaman 97-100. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment