Oleh: Hasyim Muzadi
Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Dari media
massa, kita menangkap kesan bahwa di negeri ini muncul banyak konflik agama
yang amat lekat dengan nuansa kekerasan. Bahkan sejumlah media massa internasional
dan beberapa pemimpin negara lain menyebut negara Indonesia merupakan “sarang
terorisme” atau “kelompok-kelompok radikal Islam”.
Yang harus dipahami adalah umat Islam di Indonesia mayoritas
berpaham moderat. Sekitar 87 persen penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Dan
mayoritas penduduk Islam adalah moderat yang berasal dari Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan lain-lain.
Mengapa mayoritas bisa berpaham moderat? Hal ini bisa
dilacak dari sejarah kebudayaan dan sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Seperti
diketahui bersama, Islam bukanlah agama pertama yang masuk ke bumi Indonesia. Sebelumnya
sudah masuk lebih dulu agama Hindu dan Budha. Dan sebelum Hindu dan Budha,
rakyat memeluk animisme. Islam masuk ketika mayoritas rakyat dan kerajaan yang
ada di bumi Indonesia waktu itu memeluk agama Hindu dan Budha.
Lalu, mengapa kemudian mayoritas memeluk Islam, dari yang
sebelumnya Hindu, Budha, atau animisme. Inilah konteks kebudayaan yang
membedakan negeri ini dengan kawasan lain seperti Timur Tengah. Pada awal-awal
penyebaran agama Islam di Timur Tengah, saat Nabi Besar Muhammad SAW masih
hidup, rakyat setempat belumlah beragama. Saat itu, Masyarakat Timur Tengah
sedang berada dalam suasana “jahiliyah” atau kegelapan. Sebuah masyarakat tanpa
tatanan, tanpa keadilan, dan dipenuhi perang-perang suku.
Waktu itu, Islam memperkenalkan perang sebagai metode
pembelaan diri (bukan ofensif). Sebab, jelas-jelas saat itu terjadi tindak
kekerasan terhadap umat Islam yang memang mengharuskan umat Islam
mempertahankan diri.
Tetapi, di Indonesia, masyarakat sudah memiliki agama ketika
Islam mulai masuk. Sejarah mencatat, tidak ada darah yang ditumpahkan ketika
Islam disebarkan di bumi Indonesia.
Mengapa bisa tanpa kekerasan dan mengapa Islam kemudian
menjadi pilihan matoritas rakyat Indonesia? Sebab, Islam di Indonesia disebarkan
melalui metode akulturasi budaya. Dan, akulturasi budaya merupakan cara yang
moerat dan karena itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang berpaham
moderat pula.
Kalau kemudian beberapa tahun belakangan ini, sejak 1999,
muncul radikalisme, bahkan gerakan terorisme di Indonesia, itu bukanlah terjadi
tanpa konteks. Hal tersebut terkait munculnya gerakan reformasi pada Mei 1998
yang berimplikasi jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi presiden yang sudah
digenggamnya selama 32 tahun.
Reformasi di Indonesia membawa pengaruh amat besar pada
kondisi politik. Runtuhnya resim otoriter yang mengontrol hampir semua aspek
kehidupan rakyat membuat iklim politik berubah 180 derajat. Dari kondisi di
mana semuanya serba terkekang dan tidak bebas, kondisi tersebut sontak berubah
menjadi bebas dan tidak terkekang. Muncul apa yang disebut banyak kalangan
sebagai “liberalisme” atau demokratisasi yang terlalu cepat.
Reformasi yang belum sepenuhnya tuntas itu menimbulkan efek,
yaitu kebebasan tanpa bentuk. Semua orang merasa bisa bertindak semaunya tanpa
mengindahkan hukum, nilai, dan norma sosial politik. Di sisi lain, negara belum
sempat mengonsolidasikan dirinya untuk menjadi pengendali di antara pluralitas
berikut kepentingan warganya.
Dalam kondisi seperti itu, gerakan-gerakan radikal, baik
dari kelompok kanan maupun kiri, mulai muncul kembali. Tokoh-tokoh gerakan
radikal yang selama pemerintah Soeharto mengasingkan diri atau diasingkan ke
luar negeri, baik di Eropa maupun Asia, beramai-ramai kembali. Mereka pun mulai
melakukan gerakan-gerakan di dalam negeri tanpa kontrol yang berarti dari
institusi negara dan hukum.
Di sisi lain, muncul perkembangan situasi global yang
kemudian mendorong gerakan radikal ini –pada titik-titik tertentu—bermetamorfosis
menjadi gerakan terorisme. Secara umum, situasi global tersebut digambarkan
Samuel W. Huntington sebagai clash of civilization.
Benturan kebudayaan tersebut kemudian diparalelkan dengan benturan antara dunia
Barat dan dunia Islam. Runtuhnya Uni Sovyet membuat Amerika Serikat –sebagai representasi
dunia Barat- menjadi negara superpower tunggal.
Dan, kebetulan pula, banyak kebijakan, khususnya politik
luar negeri Amerika Serikat, yang kemudian ditafsirkan merupakan benturan
antara Barat dan Islam. Yang paling mendapat catatan adalah politik luar negeri
Amerika Serikat di Timur Tengah yang menyangkut konflik Palestina dan Israel. Hal
tersebut secara langsung atau tidak langsung diyakini memicu munculnya apa yang
kini biasa disebut “terorisme internasional”, yang kemudian selalu dikaitkan
dengan Islam. Padahal, sejarah mencatat, terorisme semacam ini juga pernah
muncul di Jepang, Eropa, Amerika Latin, bahkan Amerika Serikat. (bersambung…)
[bq]
Sumber: Sumber: Z.A. Maulani
dkk. 2005. Islam dan Terorisme. Halaman 100-103. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment