Oleh: Hasyim Muzadi
Perkembangan global tersebut kemudian diyakini memicu
munculnya gerakan-gerakan terorisme, mulai peristiwa 11 September. Di Indonesia,
terjadi ledakan bom di Bali dan beberapa tempat lainnya. Dan, sama dengan di
tempat-tempat lain di dunia, bom-bom di Indonesia kemudian dikaitkan dengan
Islam. Padahal, seperti penulis ungkapkan sebelumnya, umat Islam, khususnya di
Indonesia, mayoritas berpaham moderat.
Dengan kata lain, terorisme yang terjadi di Indonesia
bukanlah semata-mata merupakan gerakan terorisme domestik, melainkan bagian
dari terorisme internasional yang dipicu oleh kebijakan luar negeri Amerika
Serikat di Timur Tengah.
Itulah kondisi yang sesungguhnya. Tetapi, kita juga
meyakini, betapapun rumit dari sebuah persoalan, selalu tersedia jalan keluar. Dan,
jalan keluar tersebut hanya bisa diciptakan kita semua, semua umat beragama,
tanpa kecuali. Pertama, secara
bersama-sama dan serentak mengampanyekan serta menyosialisasikan pemahaman
agama secara benar kepada umat masing-masing.
Kedua, melakukan
pengetahuan terhadap gerakan-gerakan moderasi, termasuk khususnya di Indonesia.
Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya, berkomunikasi dan
bekerjasama secara intens di antara umat-umat beragama di seluruh dunia. Gerakan
penguatan terhadap gerakan agama yang moderat juga bisa dilakukan melalui
minimalisasi konflik global yang menjadi “pintu masuk” lahirnya gerakan-gerakan
radikal serta terorisme.
Yang paling penting adalah diubahnya politik luar negeri
Amerika Serikat di Timur Tengah mulai menyangkut konflik Palestina-Israel
sampai masalah Irak. Disadari atau tidak, politik luar negeri Amerika Serikat
itu memicu tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan radikal di seluruh dunia. Misalnya,
di Asia Tenggara, belakangan muncul apa yang disebut Jama’ah Islamiyah yang oleh sebagian pihak dianggap masih merupakan
“data intelijen”, belum bisa menjadi “fakta hukum”. Pemunculan Jama’ah Islamiyah menurut hemat penulis,
lebih bernuansa politik ketimbang hukum.
Tindakan-tindakan itu secara langsung atau tidak langsung telah
merupakan “subversi” atau bahkan “sabotase” terhadap gerakan-gerakan Islam
moderat yang terus berupaya mengampanyekan ajaran agama (Islam) yang ramah. Tanpa
dihapuskannya tindakan Amerika Serikat tersebut, apa yang dilakukan kelompok
Islam moderat selama ini akan sia-sia. Karena itu, tidaklah tepat menyebut
Indonesia sebagai “sarang terorisme”, sebab lebih tepat disebut “korban
terorisme”.
Ketiga, gerakan
pengamanan sebenarnya menjadi tugas negara dalam melindungi warganya. Gerakan pengamanan
tersebut bisa dilakukan secara fisik, misalnya, melalui institusi intelijen dan
kepolisian. Tetapi, juga tidak kalah penting, melalui pembangunan suprastruktur
serta infrastruktur –baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya—yang memungkinkan
tumbuh dan berkembangnya demokrasi serta pluralisme dalam suasana damai.
Keempat, mengembangkan
tata hubungan agama dan negara yang bisa menjamin stabilitas, kemajemukan,
serta pengembangan agama. Kami di Nahdlatul Ulama mempunyai konsep, yang
diserap dari agama ke dalam negara seharusnya adalah nilai-nilai agama yang
menyatukan dimensi sosial serta humanitas yang dikemas dalam idiom-idiom
nasional. Yang diserap dari agama bukanlah formalitas rincian-rincian hukum
positif yang kemudian dipaksakan ke dalam negara. Mengapa? Sebab, hal itu hanya
akan menimbulkan benturan antarumat beragama. [bq]
Sumber: Sumber: Z.A. Maulani
dkk. 2005. Islam dan Terorisme. Halaman 103-106. Yogyakarta: UCY Press
No comments:
Post a Comment