Oleh: Habib Muhammad Lutfi Bin Yahya
Kiai-Kiai kita dulu, jika ada satu butir nasi saja yang jatuh,
langsung diambil dan dimakan. Sebab, terkadang karena satu butir nasi
bisa menimbulkan rasa sombong. Letak kesombongan ada di hati.
Kadang-kadang, satu butir nasi saja jatuh, kita agak malu untuk
mengangkatnya kembali: “Ah, cuma sebutir kok. Biarin saja lah. Masih
punya beras yang banyak.”
Padahal, satu butir nasi itu bisa sampai di piring kita karena proses yang teramat panjang: ditanam, tanahnya dibajak, memakai
sapi/kerbau/traktor, petaninya berkeringat di tengah terik matahari
sehari penuh, mengairi, dicangkul, sampai panen membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Sesudah jadi beras pun, harus didistribusikan ke pasar,
sampai ke warung beras, dibeli ibu kita sampai ke dapur, dibersihkan,
ditanak sampai matang, dan tersaji di hadapan Anda.
Ada banyak tangan yang memiliki andil dalam sebutir nasi. Kiai-kiai
kita mengajarkan untuk menghargai prosesnya. Baginda Rasul pun mendidik
kita untuk bersyukur ketika hendak menyantap makanan: “Allahumma barik
lana fima razaqtana (Ya Allah, berkahilah makanan yang Engkau rizkikan
kepada kami)”, dan disambung dengan doa, “Waqina adzab al-Nar (dan jaga
kami dari siksa api neraka).”
Dalam rizki yang sangat kecil (sebutir nasi) saja kita lupa untuk bersyukur, bagaimana bisa kita akan bersyukur untuk hal-hal yang besar?
Sumber:Fanspage Resmi Habib Muhammad Lutfi bin Yahya.
Dalam rizki yang sangat kecil (sebutir nasi) saja kita lupa untuk bersyukur, bagaimana bisa kita akan bersyukur untuk hal-hal yang besar?
Sumber:Fanspage Resmi Habib Muhammad Lutfi bin Yahya.
No comments:
Post a Comment