Oleh:
Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq, Guru Besar Universitas al-Azhar - Mesir
Sesungguhnya, Islam bukanlah agama pertama yang melegalkan praktik poligami.
Islam, dengan demikian, tidaklah membawa sesuatu yang baru dan menjadi pelopor
praktik poligami. Justru Islamlah agama yang mengatur kehidupan berkeluarga dan
menjadi pelopor dalam hal pembatasan
jumlah istri dalam perkawinan poligami, setelah melegalkan perkawinan
seperti ini melalui serangkaian persyaratan dan kewajiban yang sangat ketat dan
tidak ringan.
Saat
Islam datang, Poligami sebenarnya telah dipraktikkan secara luas tanpa batasan
dan syarat apapun. Praktik Poligami tanpa batas ini bukan saja merebak di
kalangan bangsa arab, tetapi juga pada bangsa dan peradaban non-arab. Saat
Islam datang, syari’at atau aturan-aturan hukumnya tentu harus mempertimbangkan
prinsip kebertahapan dan gradualitas ( Sunnah at-tadaruruj) dalam mengubah tradisi dan adat istiadat yang
negatif. Kebertahapan ini merupakan satu hal yang niscaya dilakukan, terutama
bila di cermati, bahwa mengubah total secara all at once suatu tradisi
dan kultur yang telah mengakar merupakan suatu hal yang hamper mustahil dan
bersifat kontraproduktif. Karena itu, prinsip kebertahapan dan gradualitas
seperti ini menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan bagi siapapun yang
hendak memahami secara proporsional sikap Islam atas Poligami.
Seperti
disinggung diatas, sebelum kedatangan Islam model perkawinan poligami telah
marak dipraktikkan tanpa pembatasan jumlah istri yang dipoligami. Islam
kemudian datang membatasi jumlah istri yang boleh di nikahi, melalui Firman
Allah swt.:
“
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat “ (
Q.S an-Nisa’ [4]:3.)
Kendatipun
Islam menganggap sah menikah dengan –paling banyak-empat orang istri seperti
tersurat dalam ayat diatas, tetapi harus diingat, bahwa keabsahan poligami itu
hanya dapat dilakukan jika seorang suami memenuhi syarat pokoknya, yakni
kemampuan bersikap adil terhadap para istri. Oleh karenanya, Nabi saw. mengecam
pelaku poligami yang tidak dapat bersikap adil terhadap istri-istrinya. “
Barangsiapa yang memiliki dua istri (Namun) ia lebih cenderung kepada salah
satu dari keduanya, niscaya ia datang di hari Kiamat nanti dengan salah satu
kaki yang pincang,” demikian sabda Nabi saw.
Al-Qur’an
al-Karim sesungguhnya telah memperingatkan, bahwa bersikap adil terhadap para
istri merupakan sesuatu hal yang sangat sulit di wujudkan. Pelaku poligami,
betapapun kuat tekad dan usahanya, tidak akan pernah bisa berhasil
mengejawantahkan sikap adil itu secara sempurna. Dalam hal ini, al-Qur’an
secara jelas menyatakan :
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” ( Q.S an-Nisa’ [4]:129.)
Jika
demikian sulitnya mewujudkan sikap adil terhadap isteri-isteri dalam perkawinan
poligami, maka hendaknya seseorang-dalam situasi seperti ini-harus merasa cukup
dengan satu orang istri saja. Inilah sebenarnya anjuran al-Qur’an yang diutarakan
secara eksplisit dan gamblang sejak 14 abad yang silam. Allah swt berfirman :
“Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.”
( Q.S an-Nisa’ [4]:3.)
Demikianlah,
Islam sesungguhnya tidak bermaksud memerintahkan dan mendorong seorang muslim
untuk kawin dengan lebih dari satu orang, dan tidak lebih dari empat orang.
Islam juga bukan agama yang memelopori praktik perkawinan poligami. Sebelum
kedatangan Islam,poligami telah menjadi tradisi yang marak dipraktikkan oleh
banyak orang. Islam justru datang untuk mengarahkan praktik poligami ini dengan
cara yang penuh hikmah, tanpa perlu menimbulkan goncangan social yang tidak di
inginkan. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan disini, bahwa bermonogamilah
sebenarnya yang menjadi prinsip dasar perkawinan dalam islam. Poligami
diperbolehkan hanya sebagai bentuk pengecualian, dalam kondisi-kondisi khusus;
berdasarkan alas an-alasan yang kuat dan masuk akal.
Untuk
menyebut beberapa contoh dari kondisi-kondisi khusus yang dapat di jadikan
pengecualian keabsahan poligami adalah berkecamuknya peperangan yang
mengkibatkan berkurangnya jumlah laki-laki di satu sisi, sementara di sisi lain
kuantitas perempuan tetap dan terus berkembang. Dalam kondisi seperti ini,
poligami dapat dijadikan alternative untuk mengantisipasi ketidakseimbangan dan
menjadi solusi agar kaum perempuan tidak terpaksa harus melajang sepanjang
hayat mereka. Seorang istri yang mengalami sakit tak tersembuhkan dan tak mampu
lagi melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, atau seorang istri yang
tidak mampu memberikan keturunan, kondisi-kondisi seperti ini juga dapat di
masukkan sebagai bentuk pengecualian yang memungkinkan seorang suami melakukan
poligami, namun dengan tetap menjaga asas keadilan terhadap para istri, tanpa
pembedaan.
No comments:
Post a Comment