Hari Santri, Lalu Kita Mau Apa? - Santrijagad

Hari Santri, Lalu Kita Mau Apa?

Bagikan Artikel Ini
OLEH: ZIA UL HAQ - TEGAL

Kata tokoh budayawan kita, Kiai Agus Sunyoto, momen 17 Agustus 1945 hanyalah proklamasi kemerdekaan secara politik. Sedangkan secara ekonomi, budaya, hingga pendidikan, kita belum merdeka. Kalau dahulu Resolusi Jihad digelorakan dalam bentuk perjuangan bersenjata, lha sekarang Hari Santri mau memperjuangkan apa?

 Jawabannya jelas ada di depan mata. Penetapan Hari Santri tepat dikerubungi berbagai peristiwa tragis yang menimpa negeri ini. Mulai dari pembakaran hutan dan kabut asap, mafia tambang, intoleransi Tolikara-Singkil, maraknya peredaran narkoba, kebejatan pedofilia, pelemahan KPK, gundulnya lahan-lahan dan kekeringan dimana-mana, isu perpanjangan kontrak Freeport di Papua, hingga kecelakaan pesawat dan heli yang lagi-lagi terjadi.

Lhoh, apakah itu semua tanggung jawab santri? Ya jelas bukan, bisa njeblug ndasmu. Semua problem itu urusan bersama dan setiap unsur masyarakat musti ambil bagian di dalamnya, gotong royong sesuai bidang masing-masing. Sebagaimana diupayakan Front Nahdliyyin dengan Resolusi Jihad Jilid II-nya tentang penolakan terhadap neoimperialisme dalam hal Sumber Daya Alam. Minimal bisa mencegah hal-hal buruk dan memalukan itu tak terjadi lagi di 'masa kita' esok hari. Sebagaimana para santri dahulu juga ambil bagian dalam atmosfer perjuangan merebut kemerdekaan.

Dahulu Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari memfatwakan kewajiban jihad dengan instruksi gerakan darurat penyelamatan negeri yang kemudian ditaati seluruh santri. Maka hari ini ada instruksi apa dari atasan-atasan kita di Nahdlatul 'Ulama? Salah satu sesepuh NU saat ini, Habib Luthfi, tak bosan-bosannya mendorong kaum muda Nahdliyyin berjihad secara ekonomi, teknologi, pertanian, kesehatan, hingga pangan. Dan kata beliau; saat jihad semacam itu dilakukan, silakan bertakbir nyaring-nyaring!

Nah, sanggup? Kalau tak sanggup, ya sudah. Tak usah dipikir. Cukup jadikan Hari Santri sebagai seremonial saja, bak tahun baru penuh pesta kembang api, biar orang-orang non-santri tahu bahwa kaum santri pernah berjasa besar dahulu kala, cukup ramaikan medsos dengan foto modifikasi muka sendiri (untuk menunjukkan bahwa 'saya santri') plus logo Hari Santri Nasional.


Bagi yang setuju Hari Santri, tak usah keburu mencemooh mereka yang tak setuju, semisal Muhammadiyyah itu. Biar saja, toh hari ini mereka sudah punya gerakan Jihad Konstitusi yang cukup sukses, tak kalah dengan kita yang punya Resolusi Jihad, dulu. Lagipula yang mereka gugat bukanlah eksistensi perjuangan santrinya, melainkan dampak negatif dan efektivitasnya.

Maka bagi siapapun yang setuju -termasuk saya- semoga bisa menepis kekhawatiran sedulur-sedulur kita itu, juga bisa menjawab pertanyaan ini dengan tindakan nyata: "Kalau sudah ada Hari Santri, lalu kau mau berbuat apa?"

Dan satu lagi, semoga predikat 'santri' tak menjadi semacam gelar bergengsi layaknya 'sarjana', banyak yang berbondong-bondong ngaku 'santri' padahal ngaji atau punya guru saja tidak. Karena hal terpenting dari jihad sosok santri adalah kewajibannya ngaji! Nah ini yang bikin hatiku teriris-iris menjelang Hari Santri, sebab menyadari kemalasan diri dalam hal ngaji, apalagi kalau sudah menyinggung 'akhlak santri'. Berat berat berat. []

No comments:

Post a Comment