Fatimah Az-Zahra Puteri Kinasih Rasulullah - Kehidupan Yang Berat (2) - Santrijagad

Fatimah Az-Zahra Puteri Kinasih Rasulullah - Kehidupan Yang Berat (2)

Bagikan Artikel Ini

Baca Kisah sebelumnya FATIMAH AZ-ZAHRA, PUTERI TERCINTA RASULULLLAH SAW

Oleh : H.M.H Alhamid AlHusaini

H.M.H Alhamid AlHusaini
Lanjutan dari kisah sebelumnya Bagian 1: Kelahiran Si Bungsu

Siti Fatimah Azzahra r.a lahir dan dibesarkan di bawah naungan wahyu yang diterima ayahnya, Rasulullah saw. Kasih sayang ayah bundanya terlimpah kepadanya. Dalam suasana kerohanian yang tinggi dan ditengah keluarga suci itu Fatimah dibesarkan, sehingga seluruh kehidupan kejiwaanya penuh dengan semangat kenabian, sehingga seluruh kehidupan kejiwaanya penuh dengan semangat kenabian yang agung.

Puteri kesayangan Rasulullah saw itu ikut mengalami pahit getir, sebab masa itu ayah bundanya sedang menghadapi puncak gangguan, penganiayaan dan kekerasan yang dilancarkan oleh kaum musyrikin Quraisy. Siti Fatimah r.a tumbuh ditengah-tengah pertarungan sengit antara islam yang mulai tumbuh dan kejahiliyiahan yang mulai runtuh.

Puteri yang mulia itu sejak masa kanak-kanak dengan mata kepala sendiri merasakan langsung betapa gencarnya perjuangan para perintis iman melawan kaum Quraisy penyembah berhala. Tidak cukup puas dengan melakukan penganiayaan fisik terhadap kaum muslimin yang masih sedikit jumlahnya, mereka lebih meningkatkan lagi gerakan-gerakan permusuhan dalam bentuk pemboikotan total tehadap Rasulullah saw, keluarganya serta juga terhadap Bani Hasyim yang berada dibawah pimpnan Abu Thalib. Suatu pemboikotan menyeluruh, dibidang ekonomi dan social yang mereka lancarkan.

Siti Fatimah bersama segenap anggota keluarga suci dan sejumlah kaum Musimin terkepung rapat di dalam Syi’ib selama lebih dari tiga tahun. Bagaimana berat kesengsaraan hidup yang di deritanya semasa ia masih kanak-kanak yang justru menumbuhkan pertumbuhan yang baik.

Belum pulih benar dari kesulitan seberat itu, pada tahun ke 10 bits’ah ia di tinggal wafat oleh ibundanya yang tercinta. Dan pada tahun itu juga paman ayahandanya, Abu thalib, wafat. Orang yang selama ini menjadi pengawal dan pembela serta pelindung bagi ayahandanya. Siti Fatimah yang masih sangat muda itu bukan hanya menderita kesedihan karena di tinggal wafat oleh ibundanya, tetapi juga ikut merasakan langsung kehancur luluhan hati ayahandanya yang secara hamper bersamaan waktunya telah kehilangan isteri tercintanya dan paman yang penuh kasih sayang. Bersama ayahandanya hidup terpencil tanpa ibu yang selama ini menjadi sumber kecintaan dan kasih sayang.

Sebagai pengganti kasih sayang seorang ibu yang kini telah tiada, Rasulullah saw makin banyak mencurahkan perhatiannya kepada puteri bungsunya itu. Dari peristiwa berat itulah terjelma kasih sayang timbale balik yang sangat mendalam antara seorang ayah dan puteri kecintaannya. Rasulullah saw merasa tak ada seorang pun yang paling berkenan di hati dan terasa lebih dekat dengan beliau selain puteri kesayangannya itu, sehingga Siti Fatimah boleh dikatakan sama sekali tak sanggup berpisah dengan ayahandanya. Beliau saw sering menegaskan kepada kaum muslimin tentang hakekat hubungan silsilah dengan puteri kandungnya itu. Beliau saw meletakan persoalan yang amat besar dan amat penting pada hubungan silsilahnya itu mengenai keturunan yang akan ditinggalkannya. Ditegaskannya persoalan tersebut, agar kaum muslimin mengetahui kedudukan Siti Fatimah Azzahra dan menunaikan sebaik-baiknya apa yang sudah menjadi hak Siti Fatimah serta agar mereka menjaga serta memelihara baik-baik keturunan yang bakal ditinggalkannya.

Rasulullah saw memperkenalkan puterinya itu dan menegaskan kepada umatnya: “Fatimah adalah bagian dariku. Barangsiapa yang membencinya berarti membenciku”.”Fatimah adalah bagian dariku. Apa saja yang mengganggunya, berarti menggangguku”.

Imam Ali r.a pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “ Ya Rasulullah, siapakah diantara keluargamu yang paling kaucintai?”

Beliau menjawab: “Fatimah binti Muhammad”.

Rasulullah saw sendiri menamakan puterinya dengan sebutan “Ibu Ayahnya” (Ummu Abiha), kasih sayang Siti Fatimah kepada ayahnya sama seperti kasih sayang ibu kepada anaknya. Ia menjaga dan memelihara ayahnya, sama seperti penjagaan dan pemeliharaan yang diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil. Hal ini merupakan tauladan yang tinggi dalam hubungan antara seorang anak dengan ayahnya.

Cobaan yang dialami oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan tugas yang diberi oleh Allah swt tidaklah ringan. Cobaan-cobaan yang paling ringan sampai yang paling biadab harus Beliau hadapi. Dan boleh dikata bahwa semua cobaan yang dialami oleh Rasulullah saw itu tidak luput dari pandangan dan pengetahuan Siti Fatimah Azzahra. Di riwayatkan oleh Imam Bukhari yang mengambil riwayat dari Ibnu Mas’ud. Yaitu ketika pada suatu hari Rasulullah saw sedang melaksanakan ibadah di Ka’bah seorang diri, diaman terdapat sekerumunan orang Quraisy. Salah seorang diantaranya yang menyaksikan Rasulullah saw sedang khusyuk melaksanakan ibadahnya itu kemudian mengatakan: “ Hai, lihat itu apa yang sedang dilakukan dia (Nabi Muhammad saw). Tidak adakah diantara kalian yang mau pergi ke tempat pembantaian hewan dan mengambil kotoran binatang, lalu nanti kalau orang itu sujud lagi, kotoran itu kita taruh di bahunya?”.  Segera salah seorang yang terkenal paling jahat dalam kerumunan itu yang bernama Uqbah bin Abi Mu’aith (setelah mengambil kotoran dari tempat pembantaian hewan) melemparkan kotoran tersebut ke punggung Rasulullah saw yang sedang sujud. Perbuatan ini disambut gelak tawa gerombolan orang-orang Quraisy yang menyaksikan (perbuatan keji) itu.

Beberapa saat kemudian datanglah Siti Fatimah, diambilnya kotoran dari punggung Ayahnya. Seusai sujud, Rasulullah saw dengan tenang berdoa : “ Ya Allah, timpahkanlah murka-Mu kepada Abu Jahl bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Uqbah bin Abi Muaith dab Ubaiy bin Khalaf!”. Usai sholat Beliau saw menggandeng puterinya pulang kerumah.

Di kemudian hari semua orang itu mati terbunuh dalam perang Badar.

Demikian diantara cobaan berat terhadap ayahnya yang disaksikan sendiri di saat usia masih sangat muda. Semua pengalaman yang serba berat dan keras itu turut membentuk kepribadian dan memberi pelajaran kepadanya tentang bagaiamana cara menghadapi kehidupan dan cobaan yang kelak mungkin akan dialaminya sendiri. Semuanya itu merupakan gemblengan iman untuk dapat dengan teguh menghadapi berbagai kesukaran dan kesulitan di masa yang akan datang. [Akhmad Syofwandi]


No comments:

Post a Comment