Baca Kisah sebelumnya FATIMAH AZ-ZAHRA, PUTERI TERCINTA RASULULLLAH SAW
Oleh : H.M.H Alhamid AlHusaini
Lanjutan dari kisah sebelumnya Bagian 1: Kelahiran Si Bungsu
Siti Fatimah Azzahra r.a lahir dan
dibesarkan di bawah naungan wahyu yang diterima ayahnya, Rasulullah saw. Kasih
sayang ayah bundanya terlimpah kepadanya. Dalam suasana kerohanian yang tinggi
dan ditengah keluarga suci itu Fatimah dibesarkan, sehingga seluruh kehidupan
kejiwaanya penuh dengan semangat kenabian, sehingga seluruh kehidupan
kejiwaanya penuh dengan semangat kenabian yang agung.
Puteri
kesayangan Rasulullah saw itu ikut mengalami pahit getir, sebab masa itu ayah
bundanya sedang menghadapi puncak gangguan, penganiayaan dan kekerasan yang
dilancarkan oleh kaum musyrikin Quraisy. Siti Fatimah r.a tumbuh ditengah-tengah
pertarungan sengit antara islam yang mulai tumbuh dan kejahiliyiahan yang mulai
runtuh.
Puteri
yang mulia itu sejak masa kanak-kanak dengan mata kepala sendiri merasakan
langsung betapa gencarnya perjuangan para perintis iman melawan kaum Quraisy
penyembah berhala. Tidak cukup puas dengan melakukan penganiayaan fisik
terhadap kaum muslimin yang masih sedikit jumlahnya, mereka lebih meningkatkan
lagi gerakan-gerakan permusuhan dalam bentuk pemboikotan total tehadap
Rasulullah saw, keluarganya serta juga terhadap Bani Hasyim yang berada dibawah
pimpnan Abu Thalib. Suatu pemboikotan menyeluruh, dibidang ekonomi dan social
yang mereka lancarkan.
Siti
Fatimah bersama segenap anggota keluarga suci dan sejumlah kaum Musimin
terkepung rapat di dalam Syi’ib selama lebih dari tiga tahun. Bagaimana berat
kesengsaraan hidup yang di deritanya semasa ia masih kanak-kanak yang justru
menumbuhkan pertumbuhan yang baik.
Belum
pulih benar dari kesulitan seberat itu, pada tahun ke 10 bits’ah ia di tinggal
wafat oleh ibundanya yang tercinta. Dan pada tahun itu juga paman ayahandanya,
Abu thalib, wafat. Orang yang selama ini menjadi pengawal dan pembela serta
pelindung bagi ayahandanya. Siti Fatimah yang masih sangat muda itu bukan hanya
menderita kesedihan karena di tinggal wafat oleh ibundanya, tetapi juga ikut
merasakan langsung kehancur luluhan hati ayahandanya yang secara hamper bersamaan
waktunya telah kehilangan isteri tercintanya dan paman yang penuh kasih sayang.
Bersama ayahandanya hidup terpencil tanpa ibu yang selama ini menjadi sumber
kecintaan dan kasih sayang.
Sebagai
pengganti kasih sayang seorang ibu yang kini telah tiada, Rasulullah saw makin
banyak mencurahkan perhatiannya kepada puteri bungsunya itu. Dari peristiwa
berat itulah terjelma kasih sayang timbale balik yang sangat mendalam antara
seorang ayah dan puteri kecintaannya. Rasulullah saw merasa tak ada seorang pun
yang paling berkenan di hati dan terasa lebih dekat dengan beliau selain puteri
kesayangannya itu, sehingga Siti Fatimah boleh dikatakan sama sekali tak
sanggup berpisah dengan ayahandanya. Beliau saw sering menegaskan kepada kaum
muslimin tentang hakekat hubungan silsilah dengan puteri kandungnya itu. Beliau
saw meletakan persoalan yang amat besar dan amat penting pada hubungan
silsilahnya itu mengenai keturunan yang akan ditinggalkannya. Ditegaskannya
persoalan tersebut, agar kaum muslimin mengetahui kedudukan Siti Fatimah
Azzahra dan menunaikan sebaik-baiknya apa yang sudah menjadi hak Siti Fatimah
serta agar mereka menjaga serta memelihara baik-baik keturunan yang bakal
ditinggalkannya.
Rasulullah
saw memperkenalkan puterinya itu dan menegaskan kepada umatnya: “Fatimah adalah
bagian dariku. Barangsiapa yang membencinya berarti membenciku”.”Fatimah adalah
bagian dariku. Apa saja yang mengganggunya, berarti menggangguku”.
Imam
Ali r.a pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “ Ya Rasulullah, siapakah diantara
keluargamu yang paling kaucintai?”
Beliau
menjawab: “Fatimah binti Muhammad”.
Rasulullah
saw sendiri menamakan puterinya dengan sebutan “Ibu Ayahnya” (Ummu Abiha), kasih sayang Siti Fatimah kepada ayahnya sama seperti kasih sayang ibu
kepada anaknya. Ia menjaga dan memelihara ayahnya, sama seperti penjagaan dan
pemeliharaan yang diberikan oleh seorang ibu kepada anaknya yang masih kecil.
Hal ini merupakan tauladan yang tinggi dalam hubungan antara seorang anak
dengan ayahnya.
Cobaan
yang dialami oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan tugas yang diberi oleh
Allah swt tidaklah ringan. Cobaan-cobaan yang paling ringan sampai yang paling
biadab harus Beliau hadapi. Dan boleh dikata bahwa semua cobaan yang dialami
oleh Rasulullah saw itu tidak luput dari pandangan dan pengetahuan Siti Fatimah
Azzahra. Di riwayatkan oleh Imam Bukhari yang mengambil riwayat dari Ibnu
Mas’ud. Yaitu ketika pada suatu hari Rasulullah saw sedang melaksanakan ibadah
di Ka’bah seorang diri, diaman terdapat sekerumunan orang Quraisy. Salah
seorang diantaranya yang menyaksikan Rasulullah saw sedang khusyuk melaksanakan
ibadahnya itu kemudian mengatakan: “ Hai, lihat itu apa yang sedang dilakukan
dia (Nabi Muhammad saw). Tidak adakah diantara kalian yang mau pergi ke tempat
pembantaian hewan dan mengambil kotoran binatang, lalu nanti kalau orang itu
sujud lagi, kotoran itu kita taruh di bahunya?”. Segera salah seorang yang terkenal paling
jahat dalam kerumunan itu yang bernama Uqbah bin Abi Mu’aith (setelah mengambil
kotoran dari tempat pembantaian hewan) melemparkan kotoran tersebut ke punggung
Rasulullah saw yang sedang sujud. Perbuatan ini disambut gelak tawa gerombolan
orang-orang Quraisy yang menyaksikan (perbuatan keji) itu.
Beberapa
saat kemudian datanglah Siti Fatimah, diambilnya kotoran dari punggung Ayahnya.
Seusai sujud, Rasulullah saw dengan tenang berdoa : “ Ya Allah, timpahkanlah
murka-Mu kepada Abu Jahl bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah,
Uqbah bin Abi Muaith dab Ubaiy bin Khalaf!”. Usai sholat Beliau saw menggandeng
puterinya pulang kerumah.
Di
kemudian hari semua orang itu mati terbunuh dalam perang Badar.
Demikian
diantara cobaan berat terhadap ayahnya yang disaksikan sendiri di saat usia
masih sangat muda. Semua pengalaman yang serba berat dan keras itu turut
membentuk kepribadian dan memberi pelajaran kepadanya tentang bagaiamana cara
menghadapi kehidupan dan cobaan yang kelak mungkin akan dialaminya sendiri.
Semuanya itu merupakan gemblengan iman untuk dapat dengan teguh menghadapi
berbagai kesukaran dan kesulitan di masa yang akan datang. [Akhmad Syofwandi]
No comments:
Post a Comment