Muslimat NU: Pemerkosa Bisa Dihukum Mati - Santrijagad
demo-image

Muslimat NU: Pemerkosa Bisa Dihukum Mati

Bagikan Artikel Ini
Maraknya kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak menjadi perhatian khusus bathsul masail dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Muslimat NU di Asrama Haji Pondok Gede, Sabtu (31/5). Sejumlah pakar hukum Islam pada forum tersebut membolehkan penerapan hukuman mati bagi para pelaku kekerasan seksual atau pemerkosa.
Rakernas Muslimat NU 2015
Dewan Pakar Muslimat NU, Bidang Hukum Islam, Prof Huzaemah T Yanggo mendefinisikan pemerkosaan sebagai pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan atau tanpa kehendak yang disadari oleh pihak perempuan.

“Dalam hukum Islam, perkosaan dipandang sebaagai salah satu kejahatan seksual sadistis. Pelakunya berdosa dan harus dihukum berat, yaitu di-had (dicambuk atau dirajam hingga mati) sesuai hukuman bagi pelaku zina, ditambah hukum ta’zir, yaitu hukuman tambahan yang ditetapkan oleh hakim, tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan,” papar Huzaemah, seraya mengutip Al-Qur’an, ayat 33 dari surat an-Nur.
TKW Terzalimi

Huzaemah juga menyoroti ketidakadilan hukum di Saudi Arabia, yang menimpa banyak tenaga kerja wanita (TKW). Para korban pemerkosaan, katanya, malah dihukum had oleh Hakim, atau bahkan dihukum qisas atau pancung, ketika si korban membela diri, mempertahankan kehormatannya hingga terpaksa harus membunuh sang peemerkosa.

Menurut Huzaemah, TKW yang membunuh majikannya karena mempertahankan diri dari perkosaan atau tindak kekerasan lain, seharusnya dibebaskan dari hukuman. Asalkan dia dapat mendatangkan saksi.

“Seharusnya majikannya itu yang dikenai hukum had. Namun terkadang, perkosaan yang diderita TKW tidak ada saksinya, maka hal itu bisa dibuktikan dengan pemeriksaan dokter ahli yang independen dan didampingi penasehat hukum,” tandasnya.

Pemaksaan Perbuatan Zina

Sementara, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ali Mustofa Ya’qub mempunyai definisi tentang pemerkosaan yang berbeda dengan Huzaemah. Menurut Mustofa, pemerkosaan adalah pemaksaan perbuatan zina.

“Jika menggunakan definisi ibu Huzaemah, nanti seorang suami yang karena sesuatu hal, memaksa istrinya berhubungan seksual, bisa disebut pemerkosa juga. Tapi jika didefinisikan sebagai pemaksaan perbuatan zina, maka bisa dikenai dua hukuman, yakni pemaksaan dan hukuman zina,” paparnya.

Mengenai hukuman bagi pemerkosa, menurut Mustofa, bisa dikenakan hukuman mati, dengan dasar bahwa hukuman bagi pezina saja bisa dicambuk atau dirajam, maka ketika perzinahan tersebut dilakukan dengan paksaan bisa dihukum lebih berat.

“Dalam ushul fiqh ada bab ikrah (pemaksaan). Yang dibahas pada bab ini, justru tentang hukum bagi si korban yang dipaksa. Bahwa pembebasan hukuman berlaku karena ikrah. Sementara hukuman bagi pelaku tidak ada had, tetapi ta’zir. Ta’zir ini boleh lebih berat dari had, hal ini berdaasarkan pendapat Syekh Abdul Qadir Audah,” ungkapnya.

Melihat banyaknya kejahatan seksual yang marak terjadi di Indonesia, menurut Mustofa, seharusnya ditetapkan istilah darurat zina. “Kenapa istilah yang digunakan darurat kejahatan seksual, kenapa tidak darurat zina saja. Dengan diksi ini bisa diberlakukan bagi semua pelaku. Terlebih pelaku pemerkosaan terhadap anak-anak. Ini harus dihukum berat,” ujarnya.

Sementara terkait penanganan terhadap anak korban kekerasan, Sekretaris Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Erlinda mengajak Muslimat NU untuk mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak. Terutama dalam tiga isu, tentang perlindungan hak anak; pemenuhan hak dan peran tanggung jawab, serta; peningkatan sanksi hukum pidana tindak kekerasan bagi pelaku dewasa, minimal 20 tahun dan maksimal seumur hidup.

“Kita juga harus meningkatkan penanganan, rehabilitasi dan pendampingan anak korban  dan anak pelaku kekerasan, serta mendorong partisipasi dan kewaspadaan aktif masyarakat terhadap perlindungan anak,” ujarnya. [Abdel Malik / Mahbib]

*Sumber: NU Online
Comment Using!!

No comments:

Post a Comment

Pages