Mereka menolak listrik dan mesin bermotor dan ngotot
mempertahankan cara hidup (termasuk soal mode pakaian) persis seperti jaman
pelopornya, Jakob Ammann (1656 - 1730 M), seorang (mantan) pendakwah Mennnonite
dari Swiss.
Mereka hidup berkelompok dalam
perkampungan-perkampungan kecil yang eksklusif, masing-masing beranggotakan
maksimal 40 kepala keluarga. Ukuran kampung ini juga bagian dari doktrin
mereka, sehingga jika satu kampung berkembang sampai mendekati 40 kepala
keluarga, mereka diwajibkan membelah diri. Setiap kampung dipimpin oleh seseorang
yang dalam budaya kita sepadan dengan “kiai”, ia menjadi pemimpin paripurna di
segala bidang.
Alkisah, ada seorang peneliti muslim
berkunjung ke salah satu perkampungan itu di Lowa. Pertemuan dengan salah
seorang "kiai kampung Amish" sungguh mengesankan baginya. Sosok yang
teramat sederhana, wajahnya keras tapi "telanjang" tanpa
menyembunyikan apa-apa. Tidak punya hajat akan basa-basi dan tidak perduli
tanggapan orang atas kata-katanya ataupun keadaannya. Dalam bahasa Islam, semua
itu adalah cermin keikhlasan.
"Anda muslim ya?"
"Iya,"
"Dari mana?"
“Indonesia.”
Pemuka agama itu manggut-manggut.
"Tempo hari juga pernah ada
orang Indonesia datang kesini," ia mulai bercerita, "dua orang
perempuan. Yang satu Kristen, satunya lagi muslim. Tapi yang muslim malah lebih
Kristen ketimbang yang Kristen."
Si tamu tak paham maksud ‘kiai’ itu,
"Kok bisa?"
"Begini.. Wanita Kristen itu
pakaiannya terbuka sekali. Roknya sungguh pendek, jauh di atas lutut, tak
sampai hati aku memandangnya. Padahal wanita yang muslim saja roknya panjang
sampai mata kaki, bahkan dia mau pakai kerudung!"
Peneliti muslim itu terperangah.
"Sungguh dunia ini sudah terbalik-balik,"
gumam sang ‘kiai’ sambil geleng-geleng kepala. []