Oleh:
Muhammad Itsbatun Najih - Kudus
Lepas era
otoritarian ala Orba, semerbak korupsi berbau amis muncul menjadi penanda
kejahatan baru dan mendarah daging- meskipun korupsi sudah menjadi kelaziman
saat itu yang didiamkan. Maka, meskipun amis, nuansa kegetiran praktik bejat
itu tetap subur hingga sekarang.
Kita lalu menyadari aspek kebangsaan hancur
karena dibangun berdasarkan kekuasaan koruptif. Menjelmakan keapatisan, saling
curiga, dan kebangkrutan negara sebagai pangkalnya.
Kalau
mendasarkan perubahan radikal pemberantasan korupsi, toh tak akan sesuai dengan
semangat juang demokrasi. Argumen penulis ini diajukan dengan mengambil kasus
di negeri Tirai Bambu, China. Di era sebelum Perdana Menteri Zhu Rongji, China
akrab betul dengan praktik korupsi. Konon malahan lebih parah ketimbang situasi
perkorupsian bangsa kita sekarang.
Penulis
masih begitu heran praktik korupsi di China yang sudah mendarah daging mampu
luluh walaupun sampai sekarang memang tak seratus persen luntur. Pemimpin kita
perlu belajar dari pernyataan Zhu Rongji yang mendunia sekaligus ekstrem. Bukan
sebatas berdiri paling depan sebagai panglima tapi letoy dalam pelaksanaannya.
Tapi Zhu Rongji mampu menyinergikan ucapan dan lakunya.
Lebih
jauh, Zhu Rongji mungkin sebagai pahlawan. Ia begitu tersohor serta lantang
memerangi korupsi. Tak sekadar kesantunan berpolitik yang sering dianggap
sebagai topeng kepalsuan. Tapi lantang bersiap ditembak mati dan menyiapkan
peti mati untuk dirinya sendiri bila ia terjerembab pada laku korupsi.
Hukuman
Mati
Hukuman
mati pada kasus korupsi masih menghadirkan dua kubu: menolak dan mendukung.
Hakim –yudikatif- hingga kini tak juga memberikan kepastian hukuman mati
atas kasus korupsi. Wacana hukuman mati seperti lagu lama. Sebagian pihak
merasa muak dan memilih ikhtiar lain. Baginya, hukuman mati nirkemanusiaan dan
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sebaliknya, hukuman mati di sisi lain
dipandang sebagai aspek keadilan.
Korupsi adalah kejahatan yang tersistematis
membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa secara tidak langsung. Korupsi juga bakal
membangkrutkan negara. Maka, HAM orang yang terbunuh/korban praktik korupsi
juga harus dibela. Sehingga koruptor wajib dihukum mati sebagai ganjarannya.
Sebagai
bentuk kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime), ibarat
penderita stroke, korupsi tak akan sembuh dengan sekadar diobati obat
warung. Tapi membutuhkan obat khusus, perawatan intensif, dan dokter spesialis.
Maka, stakeholder hukum (yudikatif) janganlah terjebak pada adagium
kemanusian, tapi tetapkan segera dan laksanakan hukuman mati.
Penulis
sebagai awam hukum miris menyaksikan terdakwa kasus pembunuhan dikenakan
hukuman berat sampai belasan tahun, sedangkan korupsi yang membunuh ribuan
nyawa hanya divonis kurang dari lima tahun. Itupun dalam pelaksanaannya selalu
bertabur remisi.
Tapi,
bukankah supremasi hukum baru dapat berjalan baik bila kondisi stabilitas aspek
lainnya juga harus baik pula? Jangan dulu bicara hukuman mati, mental aparatus
penegak hukum sering lunglai. Hakim kerap bermain mata dengan para terdakwa.
Belum nanti unsur-unsur lainnya seperti jaksa dan pengacara. Apakah ada jaminan
untuk itu sehingga hukuman mati dapat dijalankan dengan nuansa bersih hukum di
republik ini?
Bukankah
penegakan hukum dapat berjalan baik dan menemukan asas keadilannya ketika perut
sudah kenyang. Khalifah Umar bin Khattab pernah menanggalkan hukuman potong
tangan terhadap seorang pencuri padahal telah memenuhi unsur-unsurnya. Tapi,
sang khalifah tidak berbuat demikian dikarenakan aksi pencurian itu didasarkan
atas keterpaksaan. Sedangkan koruptor di masa sekarang sama sekali tidak
memenuhi urusan keterpaksaan perut. Melainkan keserakahan.
Jadi,
ketika ekonomi kita konon masih stabil dan tetap tumbuh sesuai rencana -namun
belum adanya pemerataan,- hukuman mati harus dilaksanakan. Koruptor hanyalah
potret manusia rakus dan serakah. Tragedi Nenek Minah yang mencuri beberapa
buah kakao dan dipenjara adalah paradoks hukum kita ketika semakin tumpul ke
atas, namun begitu tajam ke bawah.
Usaha
pemberantasan korupsi setidaknya terpilah menjadi dua bagian rancang bangun.
Pertama, jangka pendek, dalam bentuknya seperti penerapan hukuman mati. Aspek
lainnya adalah terletak pada karakter pemimpin bangsa itu sendiri. Baiklah,
Pemilu 2014 akan segara ditabuh. Kita membutuhkan pemimpin berkarakter tegas
dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Tak ada urusan soal latar belakang
militer ataupun sipil.
Komitmen
pemberantasan korupsi setidaknya sudah terekam jelas lewat rekam jejak seorang
calon pemimpin. Untuk itu, dari sekarang hendaknya mencermati laku calon
pemimpin kita ke depan dalam usaha memerangi korupsi. Bukan sekadar ujug-ujug
ketika saat kampanye atau sebatas lipstik dalam kesantunan berpolitik.
Dukungan
kepada pemimpin berkarakter perlu mendapat suntikan dari pelbagai elemen
masyarakat. Tokoh agama dalam hal ini memegang peranan kuat membimbing
masyarakat menuju usaha-usaha sistematis pemberantasan korupsi. Tokoh agama
adalah benteng terakhir yang secara sosial mempunyai pengaruh kuat sampai saat
ini.
Spirit
Keagamaan
Pemahaman
keagamaan adalah urusan universal karena semua agama tidak menghendaki adanya
keculasan dan kebohongan. Maka mengembalikan spirit keagaaman dalam usaha
pemberantasan korupsi mutlak perlu dilakukan. Sementara itu, para tokoh agama
pun perlu mendesain ulang prioritas ceramahnya dengan tidak melulu
berbicara perihal ritual peribadatan semata. Namun lebih membumi dengan
menjadikan permasalahan bangsa seperti maraknya korupsi sebagai tema yang
kontinyu untuk diceramahkan sebagai bagian dari penyadaran.
Jangka
panjang pemberantasan korupsi tak lain melalui jalur pendidikan. Sudah saatnya
kita membutuhkkan kurikulum pendidikan yang membebaskan. Acuan pendidikan yang
hanya beroreintasi pada angka-angka akan semakin mendangkalkan mental
kesadaran menjadi mansuia yang terdidik sesuai tujuan asal pendidikan.
Anak-anak
kita adalah aset. Ia pewaris bangsa ini. Oleh karena itu, memutus rantai
jeratan kurikulum pendidikan yang bersifat angka sentris perlu
diterapkan. Sudah saatnya kurikulum anti-korupsi diterapakan sejak Sekolah
Dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pengenalan bahaya korupsi sejak dini
akan semakin menumbuhkan kesadaran berlaku jujur ketika mereka benar-benar
memangku warisan republik ini kelak.
Pendidikan
adalah manifestasi perihal menjadi manusia yang benar-benar memanusiakan. Tanpa
perubahan besar-besaran dengan menerapkan kurikulum pendidikan yang
beroreintasi moral maka praktik korupsi akan menjadi rantai yang tak akan
pernah putus.
Karena
korupsi ibarat stroke, tentu tak mudah menyembuhkannya dalam tempo semalam. Butuh waktu lama. Sedangkan “lama” adalah sebuah konsep semata. Ia bisa
saja dimaknai setahun-dua tahun. Tapi, bisa saja berpuluh-puluh tahun.
Tergantung kemauan dari setiap anak bangsa ini mulai dari diri masing masing.
Lebih utama para pemangku kepentingan dengan adanya kemauan (political will).
Tanpa itu, pemberantasan korupsi hanya akan terus langgeng dalam diskusi
seminar dan obrolan di warung kopi. []