Jihad dalam Konsep Islam Rahmatan lil 'Alamin - Santrijagad

Jihad dalam Konsep Islam Rahmatan lil 'Alamin

Bagikan Artikel Ini
Oleh: Ahmad Tsauri - Pekalongan 

Jihad, mendengar kata ini yang terbayang dalam benak kita adalah peperangan yang tak kenal ampun, pembantaian, kelaparan, kemudian keterbelakangan, kebodohan sebagai efeknya yang berkepanjangan.

Permasalah menjadi lebih pelik ketika term jihad ini kita gandengkan dengan Islam. Kemudian timbulah generalisai Islam teroris, umat Islam adalah teroris, Muhammad adalah teroris. Tragedi pengeboman menara kembar Wold Tride Center, bom Bali I dan II, Ambon, Halmahera, Poso, JW. Marriott, Ritz-Carlton genaplah sudah tuduhan ‘Islam sebagai agama teroris itu.

Di satu sisi kita menggeborkan Islam Rahmatan lil alamin, dilain pihak teks-teks yang mempunyai otoritas membentuk normatif dalam pranata sosial Islam-pun ternyata bermasalah; teks-teks itu bisa dijadikan pembenran bagi tindakan-tindakan desktruktif atas nama Islam. Lalu dimanakah Islam ramah itu, Islam rahmatan lilalamin itu?

Interpretatif Jihad  
Pertanyaan tersebut telah memaksa juris Islam untuk memetakan ulang (bukan rekontruksi) pandangan-pandangan ulama Islam terdahulu. Barangkali karena semakin dangkalnya nalar umat, format ulang menjadi suatu hal yang niscaya. DR. Ramadhan Bouthi- pakar piqh kenamaan asal Siriya- memulai uraiannya tentang jihad dengan mengulas makna jihad. Menurutnya telah terjadi kesalahan pemahaman di kalangan umat Islam tentang makna kata ini, dimana jihad selalu berkonotasi perang .

Pemahaman seperti itu salah sama sekali. Sebab jihad mencakup berbagai varian, diantaranya melawan hawa nafsu, upaya-upaya menyampaikan dakwah; baik dengan sikap, ucapan juga termasuk jihad, amar ma’ruf nahi munkar, dan perang juga termasuk di dalamnya. Sehinga ketika kita menemukan kata ‘jihad’ dalam literatur klasik, tidaklah selalu berarti perang. Semisal kata ‘jihad fisabilillah’, kalimat ini mengakomodir varian yang telah di sebut tadi.

Melawan hawa nafsu merupakan varian jihad yang paling utama. Bagaimana tidak –tambah al Bouthi- secara tegas ayat al Quran mensipatinya demikian sebagai jihadan kabira, jihad yang paling utama. Dalam sabdanya nabi mengatakan “ jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran-kebenaran di hadapan penguasa lalim ” dalam sabdanya yang lain “ jihad yag paling utama adalah melawan hawa nafsmu kareana Allah Ta’ala ”. Demikian fakta bahwa jihad tidaklah selalu bermakna perang.

Menurut al Bhouthi, pemahaman seperti itu bermuara dari pemahaman umum bahwa jihad di syari’atkan pertama kali setelah Rasul hijrah (migrasi) ke Madinah. Menurutnya, faktanya tidaklah demikian. Surat yang diturunkan di Mekah pun berbicara masalah jihad seperti halnya umumnya surat Madaniah. Semisal surat al Furqon 25/52, an nahl 16/110, ayat ayat dalam surat ini menurut mayoritas (jumhur ) ulama adalah Makiah tapi juga berbicara masalah jihad. Sementara Ibnu Abas mengecualikan tiga ayat, menurutnya ayat 95, 96, 97 dalam surat an Nahl adalah madaniah.

Dakwah Islam adalah dakwah persuasif

Dalam Islam tidak ada paksaan untuk meyakini sesuatu bagi sekelompok orang yang berbeda keyakinan, dakwah dilakukan secara persuasive sebagaiman dalam firmanNya: ” serulah umat manusia menuju jalan tuhanmu dengan hikmah dan tuturkata yang baik. Dalam surat Kahfi di cetitakan bagaiman Nabi Musa di perintah untuk bertutur kata yang halus ketika mengahdapi Firaun raja Mesir yang mengaku menjadi tuhan, “ paqula qaulan lainan…” berkatalah dengan halus pada Firaun, demikian peritahNya.

Dakwah Islam di tegakan atas dasar taawun alal birri wattaqwa: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS: ala Maidah: 2).

Jika motif dakwah adalah demikian, maka dakwah; ajakan tidak boleh keluar dari aturan-aturan dan karakteristiknya yang toleran. Terbukt ayat-ayat Madaniah yang dipandang oleh sementara kalangan sebagai periode jihad dengan makna perang, nyatanya terdapat banyak ayat yang berbicara tentang upaya dakwah persuasive, sebut saja misala firman Alah Awt: ”Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka” (QS: ar Ra’du: 40).

”Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,
”( QS: al Ghosyah: 21-22), demikian ayat-ayat itu menjadi bukti tentang prinsip dasar dakwah baik dperiode Mekah maupun Madinah.

Sehingga tepat pendapat mayoritas ulama jika ayat-ayat makiah yang dianggap lebih toleran tidak di anulir (nasakh).

Hadits ‘ أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهد أن لا أله الا الله .....’
"Aku di perintah untuh memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah’ demikian bunyi hadis yang meyisakan kejanggalan-kejanggalan ketika kita mengacu pendapat para ulama yang mengatakan jihad defensif. DR. Ramadahan al Bouthi pertama mengomentari hadis ini dari sudut pandang historis lalu ke sudut pandang transmisi. Menurutnya -sebagaimana yang dikutip dati Ibnu Hajar al-Asqolani- hadis ini secara transmisi adalah hadits ghorib (hanya diriwayatkan oleh satu perawi).

Meski demikian Imam Bkhori dan Imam muslim memasukannya dalam kaegori sahih. Sementara Imam Ahmad yang standar penilaian sahehnya tidak seketat kedua pakar hadis itu tidak memasukannya kedalam ensiklopedi hadisnya. Ibnu Hajar Al Asqolani, menuturkan sementara ulama berpretensi hadis itu jauh dari kemungkinan sahih, mereka beralasan, hadis ini di riwayatkan oleh Ibnu Umar.

Menurut mereka seandainya hadis ini benar di riwayatkan oleh Ibnu Umar seharusnya Umar bin Khatab -ayah dari Ibnu Umar- tidak akan mementang kebijakan Abu bakar untuk memerangi para pembangkang jakat. Karena semestinya umar Tahu hadis yang di riwatyatkan Ibu Umar itu, yang mana dalam hadis itu termuat keharusan memerangi para pembangkang zakat.

Tetapi al Bouthi lebih lanjut mengatakan dalil itu belum cukup untuk mendoifkan status hadis ini. Lalu bagaimana jawaban dari kejanggalan tadi. Menurut DR. Bouthi, sebenarnya tak perlu janggal karena dalam redaksi hadis itu mengguanakan kata أقاتل (uqِِatilu) yang bermakna musyarakah (kedua-duanya sebagai subjek sekaligus objek) bukan mutaadi (sobjek-objek).

Orang Arab menggunakan kata ini hanya ketika pihak lawan yang memulai melakukan sebuah aksi. Dengan demikian hadis ini selaras dengan pandangan mayoritas ulama bahwa bahwa jihad dalam Islam adalah jihad defensive, perang untuk melindungi diri dari ancaman.

Jihad ofensif ataukah jihad defensif?

Sebelum kita jawab pertanyaan tesebut kita diskusikan perbedaan pendapat ulama tentang defensif-offensif . Adalah fakta yang tak dapat di bantah jika para juris Islam terdahulu telah berselisih pendapat dalam memahami ayat-ayat yang berbicara jihad.

Semisal dalam memahami firman Allah Swt berikut: ‘Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (QS: al Baqoroh: 193).

Menurut al Qurtubi mengomentari ayat ini ulama ada yang mengatakan ayat ini adalah inruksi untuk memerangi non muslim dimanapun berada, sampai hilanya kemusyrikan tanpa harus menunggu agresi dari mereka. Kelompok ini berpijak pada pendapat mereka bahwa ayat-ayat ini telah menganulir (naskh) fase-fase jihad sebelumnya.

Pendapat inilah yang dijadikan pijakan oleh para teroris (saya sebut teroris).Versi yang kedua mengatakan; pendapat ini tidaklah menganulir fase-fase yang dimuat oleh ayat-ayat sebelumnya. Oleh sebab itu kelompok ini berpendapat perang hanya boleh terjadi ketika kita di serang, setelah upaya damai tak dapat di upayakan.

Kedua kelompok itu berbeda pendapat bermula dari sebuah pertanyaan, kewajiban berperang yang diintruksian dalam firman-Nya itu karena alasan (ilat) apa. Kelompok pertama mengtakan karena status kufur-nya sementara kelompok kedua mengakatan alasannya adalah harabah, penyerangan mereka terhadap pihak muslim.

Kelompok pertama berpijak pada firman Allah: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu , maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan . Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang (QS: at taubat: 5).

Pijakan yang kedua Hadis ‘ umirtu an uqatila annasa..’, yang menurt al Bouthi, sebenarnya menjadi sumber kebingungan mereka. Ayat ini tidaklah memberi kepahaman bahwa kekufuran yang menjadi motif adanya perintah untuk berperang, ayat tersebut hanya mengijinkan perang selain pada asyhurul hurum. Karena masih mungkin motif lain, yaitu harabah, menyerang. Sebagaimana menjadi ketentuan umum di kalngan para fakar fiqh, ketika ihtimal (ambigu), maka dalil itu tak bisa di jadikan pijakan.

Adapun masalah hadis yang mereka jadikan pijakan, di komentari oleh al Bouthi secara kebahasaan seperti yang telah disebut diatas. Jika pengambilan dalil kelompok kedua ini lemah, dan cacat maka jelas pendapat kedualah yang bisa di jadikan pegangan. Sehingga kita tidak perlu lagi mempertanyakan ‘dimana Islam rahmatan lilalamin itu’ sebab ternyata terorisme tidak memliki pijakan dalam konstelasi fiqh. []