Oleh: Zia Ul Haq
Ada perkembangan cukup unik yang saya amati dalam bentuk lembaga pendidikan pesantren. Perrkembangan yang tentu saja dipengaruhi perubahan zaman serta kesadaran akan kebutuhan manusia. Tahap perkembangan model pesantren ini saya bagi menjadi tiga era, yang masing-masing era melahirkan jenis pesantren yang unik sesuai zaman tersebut, yakni salafiyah, modern, dan vokasi.
Salafiyah
Yakni kerika para kiai sekadar menggelar pengajian di surau-surau bagi santri setempat. Lalu berkembang menjadi pemondokan, santri jauh menginap di rumah kiai atau di bilik-bilik khusus yang dibangun belakangan. Santri mengaji di bawah asuhan kiai secara langsung, dengan mempelajari kitab-kitab ilmu syariat belaka.
Selain mengaji kitab, para santri juga berkehidupan secara komunal di pondok, berkegiatan selayaknya kehidupan berumah tangga sehari-hari secara mandiri. Mulai dari masak, mencuci, bahkan beternak dan berladang. Ciri khas ini masih bisa dilihat bekasnya di pesantren-pesantren yang mempertahankan model salafiyyah. Ambil contoh Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Cidahu di Banten, atau Dayah Mudi Mesra di Samalanga.
Karakter keilmuan di era salafiyyah ini adalah penguasaan ilmu agama secara mendalam, asah spiritualitas, disertai bekal kemasyarakatan secara praktis. Santri mendalami ilmu-ilmu syariat saja secara total. Mulai dari kitab paling dasar sampai paling babon. Fokusnya adalah pengkaderan calon-calon ulama mutafaqqih fid din.
Biasanya, pesantren salafiyah punya spesialisasi ilmu tertentu yang didalami. Termasuk dalam kategori ini adalah pesantren takhosus tahfidhul Quran, pesantren tarekat, pesantren suluk, dan pesantren sepuh. Tantangan yang muncul dalam model tradisional ini adalah kecakapan santri untuk menghadapi kehidupan duniawi yang terus berkembang pesat.
Modern
Pasca masa kemerdekaan, beberapa tokoh kiai membuka diri atas masuknya ilmu-ilmu non-syariat di lingkungan pesantren. Tentu dorongan utamanya adalah agar menjadi kompetitor terhadap dunia non-pesantren di ranah global. Sehingga muncullah model-model pesantren modern dengan ciri khas; ada sekolahan di tengah pesantren.
Sekolahan yang dimaksud di sini adalah lembaga-lembaga pendidikan formal dengan kurikulum tertentu, dengan model sekolah peninggalan era kolonial. Model pesantren semacam ini sudah mulai merata dimana-mana. Pionir model ini bisa kita sebut Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Pesantren Krapyak di Yogyakarta, atau Pesantren Al-Khairat di Palu.
Adanya kekhawatiran pesantren ketinggalan zaman dan ditinggalkan masyarakat jika tidak bikin sekolahan seakan sudah menjadi momok wajar di lingkungan kiai-santri saat ini. Tentu hal ini musti dimaklumi sebagai tuntutan zaman. Belakangan, pesantren-pesantren modern juga menyediakan fasilitas-fasilitas 'pembantu' keseharian santri, semisal binatu dan katering.
Karakter keilmuan di era pesantren modern adalah perpaduan antara penguasaan ilmu-ilmu agama sekaligus memiliki gelar-gelar akademik kesarjanaan. Pesantren modern menggelar pembelajaran ilmu-ilmu umum melalui lembaga pendidikan formal. Tentu saja, porsi pendalaman ilmu-ilmu syariat juga tidak semendalam pesantren salafiyah. Tujuannya agar bisa mengikuti perkembangan zaman. Belakangan, banyak juga pesantren salafiyah yang membangun unit modern, sambil tetap mempertahankan unit salafiyahnya.
Tantangan yang muncul pada model modern ini adalah berkurangnya kadar pendalaman ilmu-ilmu syariat. Serta masalah mendasar yang juga dialami lembaga persekolahan sekuler, yakni ketidakjelasan arah pembelajaran dan keribetan administratif yang tak perlu. Adanya fasilitas pembantu juga menimbulkan masalah baru, yakni ketidakmandirian santri dan tentu saja; mahal.
Vokasi
Jika kita maknai pesantren sebagai lingkungan belajar berbasis keislaman sehari semalam, maka saat ini muncul model baru lembaga pendidikan ala pesantren. Yakni pesantren vokasional, di mana santri tidak lagi diarahkan untuk menguasai ilmu-ilmu umum ala sekolahan ataupun menyabet gelar-gelar akademik. Di pesantren ini, santri belajar mengasah keterampilan riil yang dibutuhkan masyarakat sesuai keminatannya.
Misalnya pesantren pertanian, pesantren peternakan, pesantren properti, pesantren internet marketing, pesantren sains, pesantren sastra, pesantren batik, dan lainnya. Pengajian ilmiah ilmu-ilmu syariat sekadar untuk membekali santri dasar-dasar keislaman dalam akidah, ibadah, dan muamalah. Tidak sampai mendalam, sebab bukan untuk mengkader keulamaan. Melainkan untuk mengkader profesional muslim berkeahlian. Termasuk di kategori ini adalah pesantren rehabilitasi.
Memang tujuan pembelajaran utama pesantren vokasional ini bukanlah pendalaman ilmu agama atau tafaqquh. Ilmu-ilmu agama yang dipelajari di pesantren model vokasional ini 'hanya' ilmu-ilmu tingkat dasar -atau paling pol menengah- yang perlu dipelajari santri sebagai orang Islam. Sebab fokus pesantren model ini adalah pelatihan keterampilan atau keahlian tertentu.
Kalau boleh memprediksi, agaknya pesantren-pesantren model vokasional ini akan banyak menjamur dalam satu-dua dasawarsa ke depan. Dan akan banyak diminati masyarakat. Seiring dengan mentasnya para santri atau gus yang memiliki spesialisasi keterampilan dalam bidang-bidang tertentu. Tantangan yang akan dihadapi model ini adalah perihal keabsahan sanad ilmu-ilmu syariat yang diajarkan. Karena masih membawa nama sakti 'pesantren', maka para pengasuh pesantren vokasional harus tetap menjaga keberkahan rantai ilmu syariat yang diajarkan di dalamnya.
Dari sini kita bisa memahami kenapa banyak pesantren yang tetap mempertahankan karakter salafiyahnya. Mengapa juga banyak yang memilih corak modern. Dan apa sebab banyak munculnya pesantren vokasional. Tiga jenis lembaga pesantren ini bisa saling melengkapi. Bahkan hari ini, mungkin saja di satu wilayah pesantren ada dua atau bahkan tiga jenis itu sekaligus. Ya ada unit salafiyahnya (hanya madrasah diniyah), ya ada unit modernnya (plus sekolah umum), ya ada unit vokasinya (berupa BLK). Pokoknya komplit!
KH. Ahmad Djazuli Utsman Ploso dalam suatu acara |
No comments:
Post a Comment