Oleh: Zia Ul Haq
Bagi Kiai Syuhud Zayyadi, setiap muslim menanggung kewajiban dakwah dan amar makmur nahi munkar sesuai kapasitas masing-masing. Dengan catatan kewajiban tersebut sebisa mungkin dilakukan tanpa kekerasan dan kekasaran. Sebab tujuan utamanya adalah merebut hati dan pikiran umat.
Sedangkan bentuk dakwah paling ideal di zaman ini, menurut beliau, adalah melalui lembaga pendidikan, seperti pesantren dan madrasah. Sebab inilah cara yang minim goncangan sosial, halus, tertata, dan nampak buahnya dalam jangka panjang. Memelihara tradisi ilmu dan mengawal generasi.
Dalam hal ini beliau berpesan bahwa tujuan pesantren adalah untuk dakwah melalui pendidikan. Bukan untuk bisnis. Maka konsekuensinya pengasuh tidak boleh digaji dari pendapatan pondok. Ia harus memenuhi kebutuhan ekonominya dari usaha sendiri. Sedangkan pendapatan pondok dari manapun harus untuk kemaslahatan pesantren. Meliputi pengembangan infrastruktur, biaya operasional, gaji guru pengajar, dan lain-lain.
Sebagai tokoh ulama sepuh NU pada umumnya, Kiai Syuhud Zayyadi juga dikenal sebagai muhibbin -pencinta dan peladen habaib. Selalu siap 24 jam memenuhi kebutuhan habib yang datang. Namun beliau tetap memiliki sikap yang berbeda, tergantung bagaimana habib yang ia hadapi.
Jika ada habib yang berilmu dan berakhlak luhur dan lembut, Kiai Syuhud akan menghormati dan mencintainya sebagaimana terhadap Rasulullah sendiri.
Jika ada habib yang berilmu, berakhlak mulia, dan berdakwah dengan cara keras, beliau akan tetap menghormati dan mencintainya, tetapi tidak akan mengikuti langkah dakwahnya. Tanpa menghina, apalagi merendahkannya.
Pernah suatu hari seorang habib yang terkenal keras dalam dakwah datang ke pesantren. Habib tersebut dipersilakan berpidato. Namun ketika pidatonya mulai menyuarakan ujaran kebencian dan hasutan kekerasan, Kiai Syuhud mematikan pelantang suara yang mengarah ke luar, tanpa menghentikan pidato tersebut.
Jika ada habib yang bukan dari kalangan ulama dan berakhlak baik, Kiai Syuhud akan menghormatinya sebagai keturunan Rasulullah, serta berupaya membantu kebutuhannya jika diperlukan.
Jika ada habib yang tidak berilmu dan tidak berakhlak baik, atau bahkan terjebak dalam dosa, Kiai Syuhud tetap menghormatinya dan bersedia membantu. Namun tetap akan menegur jika melihatnya melakukan maksiat. Pernah beliau menegur seorang habib yang bertamu sambil mabuk dan bicara sembarangan.
Agaknya sikap-sikap Kiai Syuhud ini mencerminkan garis besar manhaj dakwah mayoritas ulama Nusantara. Khususnya para kiai sepuh kita di Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.
Kalibening, 15 Desember 2020
*Disarikan dari Profil KH. Syuhud Zayyadi (1930-1993) pendiri Pesantren Al-Khoirot Malang, di website alkhoirot.com.
No comments:
Post a Comment