Kalangan santri sedang geram sebab cuit olokan 'ndasmu' seorang pemuda terhadap kiai mereka, KH. Musthafa Bisri. Belum kelar urusan, muncul pula olokan 'bau liang lahat' dari seorang ibu kepada sosok kiai sepuh, KH. Maimoen Zubair, melalui media sosial. Tentu saja kaum santri bereaksi panas, sosok yang mereka kagumi diolok-olok semacam itu. Di-ndasmu-ndasmu-kan, di-bautanah-kan. Marah adalah hal wajar, asalkan reaksinya logis dan tak kebablasan.
Gus Mus dan pemuda yang mengoloknya, silaturrahim. |
Kita juga bisa lihat olokan-olokan ganas kepada Syaikh Hisyam Kabbani, Habib Ali al-Jufri, Sayyid Muhammad al-Maliki, Syed Ali Khemenei, Ahmadinejad, hingga Habib Riziq Shihab dan Ustadz Arifin Ilham. Disilanglah wajahnya, diblur, kemudian di-black kotak matanya mirip pelaku kriminal, dan sebagainya. Masalahnya adalah semua tokoh ini punya pengikut (entah murid atau sekedar simpatisan) yang sensitif. Sehingga yang terjadi kemudian adalah saling balas olokan yang tak sehat dan tak berujung.
Intensitas olok-olok begitu tinggi di dunia maya, apalagi jika sudah masuk arena perdebatan para kusir. Ketika argumen mentok, olok-oloklah yang keluar. Perlakuan ini menimpa para tokoh yang diposisikan sebagai ulama pesohor dari kalangan manapun. Oleh siapa? Tentu saja oleh 'dai-dai visual' yang begitu bersemangat berdakwah dan 'menyelamatkan umat'. Apalagi di era media sosial internet saat ini, olokan menjadi begitu buas. Malah olok-mengolok sepertinya memang menjadi ritual kenikmatan tersendiri bagi sebagian orang di dunia maya. Yesus Kristus dibabi-babikan, Siddharta Gautama dikeriting-keritingkan. Lalu dari kubu seberang sana, Nabi Muhammad dipedofil-pedofilkan, bahkan Ka'bah pun diphotoshop jadi toilet.
Dari dulu, hamba tidak pernah setuju dengan sikap kontra menggunakan manipulasi visual maupun olokan semacam itu. Tidak elegan, tidak pula terhormat. Kalau memang tidak setuju terhadap keyakinan, pemikiran dan amalan seseorang, maka kritisilah dia secara ilmiah dan obyektif.
Apa itu obyektif? Yakni hal yang kau tembak adalah obyek kritikan, bukan kemudian mengolok-olok hal-hal lainnya. Itupun kau terlebih dahulu harus melalui tahap demi tahap verifikasi data, atau disebut dengan 'tabayyun', agar kritikan yang diluncurkan tidak ngawur dan asal njeplak. Jangan sampai kritikan-kritikan yang dilontarkan menyakiti hati atau menjatuhkan muruah, karena saling kritik pada dasarnya -menurut Syaikh Imran Husain- merupakan dialektika ilmu pengetahuan yang wajar.
Bukankah Kanjeng Nabi pernah menasehati kita agar jangan mengolok-olok ayah orang lain? Karena hal itu sama saja kita sedang mengolok-olok ayah kita sendiri. Bagaimana bisa? Sebab orang yang kita olok-olok berkemungkinan besar akan membalas dengan olokan yang serupa, atau bahkan lebih keji. Mending kalau balasannya sekedar olokan, kalau teror bom bagaimana? Lalu kau pun marah dan angkat pedang untuk 'jihad' membantai mereka, dan mereka pun sama marahnya. Fenomena olok-olok inilah, menurut Syeikh Hamza Yusuf, asal mula lahirnya 'siklus ancaman' yang sangat susah putusnya. Dan dengan teori sederhana semacam ini, sangat mudah bagi 'Iblis' untuk mengobrak-abrik kita semua, persis seperti di Timur Tengah sana.
Hingga akhirnya hamba mengira, orang-orang yang suka mengolok-olok terhadap 'lawan-paham'-nya, baik dengan kata-kata kasar maupun manipulasi visual, bukanlah santri. Musti dikorek di mana dia ngaji adab, dan sejauh mana dia menguasai tema-tema khilafiyyah. Jangan-jangan cuma semangatnya saja yang meletup-letup membela kebenaran (versinya), tapi sama sekali tak punya pondasi logika yang kuat dan kemapanan ilmu-ilmu alat. Mengerikan.
Olok-olok akan selalu berkutat pada tataran fisik, dan itu sama sekali tidak ber-muruah. Termasuk mengolok-olok mereka yang memilih memanjangkan jenggot, atau kemana-mana berkopyah, atau mengantongi kayu miswak. Menurut hamba, hal-hal itu sudah masuk tataran dzauq bagi pelakunya. Dan satu catatan; mereka juga tidak boleh semena-mena merasa paling saleh, misal bagi muslimah yang memilih berjilbab lebar kemudian mengolok-olok mereka yang -menurutnya- belum syar'i, meski dengan bahasa yang disantun-santunkan.
Lalu bagaimana jika ada olokan-olokan berseliweran terhadap mereka yang kita anggap sebagai 'orang tua'? Ya, pertama, kita jangan sampai terpancing untuk meniru, dia bukan guru kita untuk digugu dan ditiru. Kedua, kita harus maklumi ketidaktahuannya (jahl). Ketiga, ambil langkah keselamatan, bukan percekcokan, dendam, permusuhan, apalagi pembantaian.
Misal, kasus ketika seorang pemuda Malaysia mengolok bacaan Quran sosok Habib Umar (ketika mengimami shalat Jumat) sebagai bacaan yang 'tidak bagus'. Nampak betul apa yang dicakapkan oleh si pengolok muncul dari ketidakpahamannya terhadap sosok yang diolok-oloknya. Apalagi kita tidak juga tahu secara jelas; bagaimana kriteria 'bacaan yang bagus' menurut orang ini? Jangan-jangan, kalau saat ini ada rekaman Sayyiduna Umar, atau pekikan adzan Sayyiduna Bilal, bakal ia perbandingkan 'bagusnya' dengan bacaan Syeikh Sudais qari Masjidil Haram atau Syeikh al-Husary sang pelantun tarhim yang legendaris itu.
Boleh jadi orang semacam ini sangat menguasai berbagai teori multimedia, fasih betul bicara konspirasi zionisme, atau begitu paham tentang kimia nuklir, atau begitu nampak gelora dakwahnya. Namun kalau memang tak mengerti standar ilmu-ilmu qira-at, mau bagaimana lagi? Tetap saja dianggap 'bodoh' (jahl) terhadap apa yang ia kritisi. Salah panggon. Dan jika ada 'olokan salah panggon' dari orang semacam ini, sudah ada tuntunan yang sangat gamblang di dalam Al-Qur'an;
WA 'IBAADUR ROKHMAANIL LADZIINA YAMSYUUNA 'ALAL ARDHI HAWNAW WA IDZAA KHOOTHOBAHUMUL JAAHILUUNA QOOLUU SALAAMAA
“..dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh ‘menyapa’ mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (Al-Furqan; 63)
Sekian. Salam.
Ahad, 10 Shafar 1437
*Artikel ini ditulis 2 tahun lalu dengan sedikit penyesuaian terhadap kasus kekinian, penulis adalah pemred www.santrijagad.org
No comments:
Post a Comment