Tidak ada tiang listrik dan kabel-kabel berseliweran di area ini, tak seperti yang sering terlihat di kampung-kampung lain. Pasokan listrik di sini mengandalkan tenaga surya dan biogas ternak. Dengan area seluas empat hektar, sejak 2006 Pak Is –begitu ia akrab disapa- menerapkan kemandirian pangan dan energi secara tepat guna yang berakar pada keimanannya sebagai seorang muslim pengamal nilai-nilai tasawuf. Inilah yang diobrolkan oleh Santrijagad dengan Pak Is di Warung Bumi, salah satu lini usaha di Bumi Langit Institute.
Bapak Iskandar Waworuntu, pendiri Bumi Langit Institute |
Kondisi kehidupan saat ini sudah begitu tercemari oleh racun-racun yang sangat berbahaya bagi manusia dan alam dari berbagai sisinya. Ada satu hal dalam Islam yang sangat mencerahkan bagi saya, yakni hakekat makna thayyib. Halal selalu saja disandingkan dengan thayyib, hal ini menunjukkan bahwa thayyib adalah hal yang sangat penting dan merupakan solusi bagi ketercemaran itu.
Lihatlah bagaimana hari ini orang-orang begitu tergantung dengan industri. Mereka tak paham dengan apa yang dikonsumsi; dimakan, diminum, dipakai, dihabiskan, masuk ke dalam tubuh, kemudian jadi sampah. Kehalalannya saja sudah entah, apalagi kethayyiban? Itu baru urusan ‘yang masuk’, belum lagi masalah ‘yang keluar’. Hanya makhluk berupa manusia saja di muka bumi ini yang menghasilkan sampah tak terurai dan membahayakan kehidupannya sendiri. Kita terperangkap dalam budaya berlebihan, yang mana itu merupakan tipu daya setan. Apa yang kita borong di supermarket, 90% adalah barang-barang yang sebetulnya tidak betul-betul kita perlukan. Kita hanya ketagihan.
Jadi, makna thayyib itu bagaimana?
Konsep thayyib ini bermakna semua yang kita makan dan pakai harus melalui proses yang baik. Dan ini lebih halus daripada sekedar mengukur halalnya sebuah materi bahan produksi. Kalau menurut saya, dalam dimensi hakekat dan tasawuf, barang tidak thayyib itu sudah mendekati keharaman. Adapun proses membuat suatu barang konsumsi menjadi thayyib musti diawali dengan niat.
Niat yang baik kemudian diikuti proses yang baik, akan menghasilkan produk yang baik, thayyib, resik. Tentu sebaik-baik niat adalah ‘lillahi ta’ala’. Nah realitanya, hampir semua produk yang kita konsumsi di dunia modern saat ini berasal-usul dari hal-hal yang tidak thayyib, termasuk proses industrinya. Belum lagi niat yang ditanamkan sejak awal, yakni sekedar untuk mengeruk keuntungan finansial, niat yang paling jelek. Kalau kita pelajari sistem finansial, sistem keuangan modern (fiat money system) betul-betul sistem Iblis yang digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan.
Kesalahan niat ini kemudian disempurnakan oleh cara mewujudkan niat tersebut. Hampir semuanya melakukan eksploitasi, yakni mengambil sesuatu secara berlebihan, bahkan terhadap hal yang bukan milik kita. Baik dari alam maupun dari manusia lain. Kalau dalam Islam, kita kenal istilah ‘bathil’, ‘zhalim’, dan ‘fasad’. Kesalahan, kesewenangan, dan kerusakan.
Padahal fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah untuk menjaga keseimbangan, bukan justru mengeksploitasi dan menebarkan kerusakan di darat maupun lautan. Masalahnya adalah kita terjebak dalam suatu delusi bahwa kita baik-baik saja, padahal sebenarnya sedang merusak diri kita melalui apa yang kita konsumsi. Termasuk dalam kelakuan konsumtif kita hari ini. Kalau orang dahulu, masih punya istilah ‘ora elok’, ‘ora pantes’, dan nilai-nilai berdasar nurani yang menjadi patokan.
Permasalahan kita adalah perilaku berlebih-lebihan dalam konsumsi, kemudian berimbas pada prilaku produksi yang berlebihan pula. Termasuk dalam proses industrinya, eksploitasi alam. Padahal di dalam Islam, kita semua tahu bahwa seluruh makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini bertasbih kepada-Nya, mereka juga merupakan hamba-hamba Allah yang tunduk terhadap kodrat masing-masing, sunnatullah. Ketika kita berlaku sewenang-wenang terhadap mereka, berupa eksploitasi dan nyampah, berarti kita menzalimi mereka, padahal mereka adalah makhluk Allah yang taat kepada-Nya. Hasilnya apa? Kita kualat sebab kita zalim. Kita dikutuk oleh alam.
Tabir mereka dengan Allah relatif lebih tipis daripada tabir yang menghalangi kita dengan Allah. Kita ini punya tabir tebal berupa ego, sedangkan mereka tercipta dan hidup sesuai kodrat. Selain itu, mereka jauh lebih tua daripada kita dalam kehidupan di muka bumi ini. Sudah seharusnya kita menjaaga adab dengan alam sekitar. Dengan tidak menzalimi mereka, dengan senantiasa menjaga dan merawat mereka.
Berarti secara tidak sadar kita sudah berlaku zalim?
Ya! Dan parahnya, yang kita rusak, yang kita zalimi, bukan hanya alam di sekitar kita. Justru yang kita zalimi adalah tubuh kita sendiri, dengan berbagai perilaku konsumtif. Dan ini adalah satu pintu perusakan yang dilakukan Iblis untuk menghancurkan manusia secara umum, khususnya untuk menghancurkan umat Islam dalam rangka beribadah kepada Allah. Tidak ada pintu yang lebih mudah untuk merusak manusia selain makanan dan minuman.
Dalam Ihya Ulumiddin juga disebukan bahwa makanan menjadi sumber fasad (kehancuran) jika kita tidak hati-hati. Sekarang, secara ilmiah juga sudah terbukti bahwa perut disebu sebagai ‘second brain’ (otak kedua) yang sangat berpengaruh terhadap hidup kita. Inilah masalahnya, kita yang awalnya hidup sederhana di desa, punya akses langsung terhadap sumber kebaikan, baik itu makanan maupun barang-barang produksi lainnya, tiba-tiba diharuskan pindah kepada cara hidup kota. Kita dipaksa bergantung kepada produk industri, atas nama kemajuan dan modernisasi. Itu semua perangkap.
Ini dampak jangka panjangnya masyaallah. Kualitas kehidupan kita semakin hari semakin terputus dengan kebaikan. Kemuliaan sekedar menjadi konsep saja, tidak riil. Dahulu kita sering bertamu ke rumah orang-orang desa, yang menyuguhkan makanan dengan penuh ketulusan, yang ia buat dengan sepenuh hati secara mandiri, penuh nilai doa, dari sumber dan proses yang thayyib. Hari ini, kita sangat susah menemukan hal semacam ini.
Lalu bagaimana respon umat Islam dalam hal ini?
Itu masalahnya. Sayang sekali hal-hal semacam ini agak luput dari prioritas para ulama. Dahulu, ketika saya melihat realita di pondok pesantren, saya melihatnya sebagai suatu potensi sosial yang luar biasa. Sebagai suatu tempat penggodokan agen perubahan. Siapa sih yang menyangsikan ilmu di pesantren? Gila kalau ada orang meragukan kualitas keilmuan yang dipelajari di pesantren. Hanya sayangnya di pesantren tidak mengaji bagaimana sih pertanian Islami? Bukan sekedar mengaji hukum-hukum formal terkait paroan tanah atau perhitungan zakatnya, tetapi juga teknik dan prakteknya.
Bagaimana beternak yang Islami, membuat roti yang Islami, bikin ikan asin yang Islami, membuat mie yang Islami. Maksud ‘Islami’ di sini bukan sekedar ukuran kehalalan saja, tetapi juga kethayyibannya juga. Dan ukuran thayyib ini berhubungan dengan banyak aspek, berupa kebersihan, kesehatan, dan terutama niat. Tidak hanya dalam hal makanan, tapi juga urusan berkendaraan, bekerja sesuai profesi, bertetangga, dan seterusnya.
Coba saja lihat, saya bisa menilai seorang anak muda itu santri atau tidak dari gesturnya, bagaimana dia bergerak-gerik. Tapi saya tidak bisa lagi melihat kesantriannya ketika dia sudah mengendarai sepeda motor. Nggak kelihatan mana santri mana bukan, semua kebut-kebutan, semua sembarangan. Bukankah seharusnya nilai-nilai kesantrian itu menjadi karakter dalam laku keseharian mereka, bukan seedar menjadi gelar kebanggaan.
Ini sesuatu yang bagi saya memprihatinkan. Saya pernah mempertanyakan hal ini kepada guru-guru saya yang tentu saya hormati, namun tidak menutup sikap kritis saya. Saat itu di pesantren ada bantuan dana pada masa Presidan Gus Dur, nah kucuran modal itu dibuat koprasi yang menjual berbagai jenis makanan pabrik yang kita tahu mengandung banyak hal-hal yang tidak baik, untuk jajan anak-anak madrasah sore. Saya usulkan, mbokyao dana itu dibuatkan jajanan-jajanan semacam nogosari, atau jajanan lainnya yang bisa kita buat sendiri. Bahan-bahannya kita tanam sendiri, toh Pak Kiai juga punya tanah untuk ditanami singkong dan sebagainya.
Apa jawabannya? ‘Mboten kober, Mas’ (tidak sempat, Mas), sudah terlalu padat waktunya untuk mengaji. Itulah yang menurut saya memprihatinkan. Aksi-aksi kebaikan riil semacam itu tidak dianggap sebagai proses mengaji. Menjual barang-barang yang penuh racun justru diamini sebagai aktivitas untuk pondok. Ini ‘kan ironis sekali.
Saya merasa prihatin dengan pondok pesantren karena pesan ini kok tidak jadi prioritas. Saya ini ‘kan orang baru belajar Islam, makanya saya sering mengkonfirmasikan apa yang saya pahami ini tentang kelestarian lingkungan, kedaulatan dan keberdayaan, kehalalan dan kethayyiban, kepada guru-guru saya. Ya rata-rata para kiai yang saya tanyai membenarkan, “Sampean leres, Mas.. (sampean yang benar, Mas..)” Namun selalu saja dilanjutkan, “Nanging angel.. (tapi susah).”
Ini menurut saya adalah suatu bentuk syiar kita. Harus ditegakkan. Kalau tidak, kita akan hancur, Mas. Iblis akan makin mudah mengancurkan umat Islam. Lihat saja, hari ini kita makin merasa Islam tapi makin mudah diadu domba. Fitnah semakin mudah menyebar. Kita terputus dari keberkahan apa yang kita konsumsi. Hawa kita panas, sumuk, sumpek. Kita hanya belajar konsep keberkahan, namun keberkahan itu tidak terinternalisasi dlam diri kita.
Padahal di pesantren kita diajari konsep menjaga apa yang masuk ke perut, dan apa yang kita kenakan, karena bisa menyebabkan hijab antara kita dengan Allah. Dalam sains modern, mmang terbukti ada sesuatu yang disebut sebagai ‘Brain Fog’, kabut otak, yang menghalangi kita dari banyak hal. Dengan berlapis-lapisnya hijab ini, lalu bagaimana kita meraih cahaya Allah, ijabah, syafaat, dan ngalap berkah?
Kita gemar sekali ngalap berkah kepada sesama manusia, namun lupa untuk ngalap berkah kepada alam sekitar. Bukankah mereka justru selalu bertasbih kepada Allah? Bukankah 'hubungan' mereka lebih langsung kepada Allah daripada manusia yang terhalang lapisan-lapisan hijab? Kita mustinya ngalap berkah dengan cara menjaga, merawat, dan tidak hanya mengambil, tetapi juga memberi kepada alam sekitar. Bukan justru merusak dan mengeksploitasinya.
Konsep thayyib itu Anda terapkan di sini?
Ya ikhtiar untuk menuju itu. Apa yang saya lakukan di sini adalah mencoba mempraktekkan konsep khalifatullah. Yakni bagaimana memosisikan manusia sebagai pemelihara alam semesta yang tidak hanya mengambil, tetapi juga memberi kepada alam sekitar. Mencoba mematuhi sunnatullah sebagai kodrat alam dengan menjaga kesinambungan kebermanfaatannya. Ilmu permaculture yang kami praktekkan dan amalkan di sini adalah ilmu yang islami seislami-islaminya.
Pada awalnya saya juga sempat curiga kepada permaculture ini, karena kesannya seperti memuja-muja alam, bukankah ini bentuk paganisme? Tapi setelah saya telaah, tidak juga. Justru ini adalah satu bentuk adab kita sebagai khalifatullah terhadap apa yang dikhalifahi. Adab inilah yang tidak ada dalam sistem industri modern karena yang dituju hanyalah keuntungan finansial dengan cara eksploitasi.
Di sini kami menanam dengan ilmu permaculture, beternak juga, memanfaatkan energi surya dan biogas untuk pasokan listrik, memproduksi berbagai produk organik, menyelenggarakan pelatihan, kelas terbuka, dan membuat warung sebagai lini usaha kami. Siapapun boleh belajar di sini, juga boleh mengajarkan ilmunya di sini. Sayangnya di sini saya belum dapat orang untuk jadi kiainya, yang bersedia ngimami shalat di mushalla yang baru itu, dan ngajar ngaji.
Kalau saya ya jelas nggak berani. Untuk urusan ilmu agama ‘kan bukan urusan sembarangan, harus ada sanadnya. Kalau saya ini ‘kan belajar sendiri, baru ngaji tentang Islam, jadi ya hanya untuk diamalkan sendiri. Kalau untuk mengajarkan kepada orang lain secara luas dari kitab-kitab ‘kan harus ada sopan santunnya, harus punya sanad keilmuan yang jelas. Sampai saat ini saya juga masih mencoba terus mengaji kepada kiai-kiai di sekitar sini. Saya lebih klop dengan ‘Islam desa’ yang tenteram dan sarat spiritualitas.
Dari mana asalnya Permaculture ini?
Sebenarnya, permaculture yang selaras dengan sunnatullah ini adalah ilmu yang sudah dipraktekkan kakek-kakek kita sejak dahulu secara intrinsik. Watak alamiah manusia untuk menjaga kelestarian alam sebenarnya sudah tertanam karena kita memang tercipta sebagai khalifah di muka bumi. Cuma ya itu tadi, Iblis terus menerus mencoba menjauhkan kita dari fitrah itu. Melalui mode, tren, gaya hidup, dan konsumerisme.
Waktu dulu Walisongo datang ke Nusantara ‘kan beliau-beliau tidak mengubah kebiasaan dan cara hidup natural masyarakat. Yang diubah hanya aspek-aspek inti seperti tauhid dan peribadahan. Adapun bagaimana cara bertani, mengolah tanah, dan sebagainya, tetap dilestarikan. Mana mungkin para pendatang dari Arab mengajari sesuatu yang kita lebih tahu? Kita kan lebih paham dengan bumi kita sendiri, sedangkan mereka mungkin air mengalirpun jarang mereka lihat. Nah sisi-sisi kearifan ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi.
Inilah yang selama seratus tahun ini dihancurkan, kita punya kearifan tapi hilang. Roh keidupan kita dicabut. Digantikan dengan satu bayangan ilusi baru bernama modernism. Sampai-sampai seorang muslim Barat, Gay Eaton, menyebutkan bahwa dahulu ketika negara-negara Timur dijajah secara politik pada hakekatnya mereka secara rohani mereka bebas. Misalnya di Nusantara ini katakanlah dijajah 300 tahun, memang secara politis terjajah. Tetapi secara budaya kita tidak terjajah, justru kita terlindungi. Karena kita dilarang berpendidikan seperti orang Barat, tidak boleh berbusana seperti mereka, bergaulpun harus sesama pribumi. Kalau direnungkan, itu adalah satu bentuk perlindungan terhadap budaya kita sendiri.
Rakyat Santrijagad di mushalla Nur Alam, komplek Bumi Langit Institute |
Iya! Tentu saja. Bisa masuk sebagai suatu kurikulum dengan bentuk praktek langsung. Atau kalau belum bisa ya sebagai bentuk pemahaman akademik dulu. Lha wong di pondok itu sebenarnya sudah ada kitabnya kok, sudah ada ajarannya kok. Sayangnya pemaknaan terhadap itu kadang terlalu sederhana. Misalnya kita diajari agar tidak zalim kepada tubuh, pemaknaannya sekedar 'kalau ngantuk ya tidur', 'kalau capek ya istirahat', tidak mendalam kepada asupan-asupan makanan yang kita konsumsi.
Saya sangat membuka pintu lebar-lebar bagi teman-teman dari pesantren yang ingin belajar di sini, atau saya yang datang sowan ke pesantren-pesantren untuk berbagi ilmu ini. Tapi memang paling efektif adalah bila ilmu ini dipraktekkan langsung. Dalam hal ini saya kira kita tidak bisa mengandalkan generasi sepuh. Yang bisa kita harapkan sekarang adalah para generasi muda penerus pesantren itu sendiri, para calon pengampu pesantren yang besok akan jadi kiai-kiai masa depan. Kita harus menularkan kesadaran semacam ini. []
*ISKANDAR WAWORUNTU adalah Senior Praktisi Permaculture, Pemilik Bumi Langit Farm dan Ketua Yayasan Wakaf Bumi Langit. Lahir di Jakarta tanggal 1 Maret 1954, Iskandar hanya menjalani sekolah formal sampai umur 14 tahun di 10 sekolah yang berbeda. Sejak itu, beliau mencari makna hidup dengan melakukan berbagai macam petualangan dan kegiatan. Tahun1969 sampai 1970, beliau pergi ke Australia, dan antara tahun 1971 dan 1973, beliau hidup di pedalaman Sulawesi. Tahun 1973 sampai 1982, beliau memutuskan untuk menetap di Yogyakarta, bergabung dengan Bengkel Teater dan mendirikan koperasi pengrajin kulit. Dari tahun 1983 sampai 1987 beliau mengikuti program transmigrasi spontan dan membuka lahan pertanian di hutan Bengkulu, Sumatra dimana disini beliau akhirnya mendapatkan keyakinan bahwa pekerjaan paling mulia bagi seorang manusia adalah menjadi petani. Berbekal pengalamannya dari Bengkulu, beliau membuka lahan pertanian organik di Pupuan, Tabanan, Bali yang masih berjalan sampai sekarang. Disana beliau juga mendirikan Yayasan Wisnu dan membuka restoran organik Café Batu Jimbar di Sanur, Bali. Kecintaanya kepada pertanian, membawanya mendalami Permaculture, dan sejak awal tahun 2007, beliau dan keluarganya kembali bermukim di Yogyakarta dengan membuka Bumi Langit Farm di Desa Mangunan, Imogiri, Yogyakarta. Reporter: Zia Ul Haq
No comments:
Post a Comment