Semasa di Jakarta, kami kerap bertengger di tempat bercahaya itu, persis seperti namanya; Masjid Al-Munawwar di bilangan Pancoran - Jakarta Selatan, tempat digelarnya Majelis Rasulullah setiap Senin malam.
Jika kami sampai di lokasi pas setelah Isya, masih banyak tempat kosong. Kami bisa duduk di samping tiang, beberapa belas meter dari mimbar. Beberapa munsyid melantukan qashidah-qashidah, berisi puja-puji bagi Allah, sanjungan bagi Rasulullah, dan munajat susunan ulama salaf. Tepat pukul delapan, ketika jamaah sudah memadati masjid hingga meluber ke halaman, Sang Guru pun tiba.
Perawakannya tinggi besar, wajahnya putih bersinar berhias senyum menyejukkan. Jenggotnya tercukur rapi dengan agak tersemir kemerahan. Jika kau memandang wajahnya langsung, kau akan merasa ada sesuatu yang mempesona jiwamu, bukan karena sekedar rupawan. Beliaulah pimpinan majelis ini, Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Beliau duduk bersandar dinding mimbar, menghadap jamaah, dilingkari oleh ribuan jamaah yang membentuk shof-shof rapi hingga ke halaman luar. Jamaah laki-laki duduk di ruang utama dan serambi masjid, sedangkan jamaah wanita duduk di sebelah utara tertutup tabir.
Kemudian beliau membuka majelis dengan hadharah fatihah kepada para pendahulu dan membaca beberapa ayat Al-Quran dari Surat al-Ahzab. Dilanjutkan dengan pembacaan bait-bait maulid ad-Dhiyau al-Laami’ karya guru beliau, al-Musnid al-Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim Ibnu Hafidz. Beberapa fashal maulid tersebut dilantunkan oleh suara-suara mungil nan fasih, tak lain adalah suara putra-putra beliau, Sayyid Muhammad dan Sayyid Hasan, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan beliau. Begitu seterusnya hingga selesai pembacaan maulid yang berisi kemuliaan Rasulullah saw. dan qashidah-qashidah indah diiringi tabuhan hadrah.
Sekitar pukul sembilan malam, beliau berdiri menghadapkan wajahnya yang bercahaya ke arah jamaah yang duduk dengan khidmat. Haibah majelis ini sungguh terasa. Kemudian, beliau membimbing jamaah untuk membaca seuntai hadits shahih yang dikutip dari Shahih Bukhari. Memang, sebelum memasuki masjid, ada petugas yang membagikan lembaran kertas berisi hadits yang akan dibahas oleh beliau.
Kertas itu berisi matan, rowi, serta terjemah hadits, sehingga kajian yang dibahas cukup terarah dan jamaah pun bisa membawa ‘oleh-oleh’ yang tak ternilai harganya. Jika di dalam hadits tersebut berisi amalan, seperti dzikir dan doa ma’tsurat, maka beliau akan mengijazahkannya kepada jamaah sebagaimana beliau diijazahi oleh guru-gurunya. Setidaknya dalam satu pekan para jamaah bisa memahami atau bahkan hapal satu hadits shahih untuk diamalkan dalam keseharian.
Setelah dibaca bersama, al-Habib mulai membahas hadits tersebut dengan gamblang. Beliau memiliki tata bahasa lisan yang indah. Susunan kata-katanya puitis namun tidak berlebihan. Intonasinya pun harmonis dan membuat jamaah terpaku hening menyimak. Penyampaian beliau selalu mengarahkan semua pembahasan menuju satu titik: bahwa Allah adalah Sang Mahacinta dan merindukan siapapun yang merindukan-Nya, serta Rasulullah adalah pintu gerbang menuju kecintaan-Nya. Mahabbah.
Beberapa tahun hadir di majelis ini, tak sekalipun kami dengar caci maki dari lisan beliau kepada kelompok yang berbeda. Apalagi kepada para pelaku kemaksiatan. Beliau justru merangkul para pendosa untuk kembali dan memenuhi undangan cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Memang beliau meneragkan keburukan-keburukan maksiat dan perbuatan-perbuatan dosa, namun beliau tak pernah menghina para pelakunya. Karena justru mereka itulah yang paling butuh dirangkul untuk kembali menuju Ridha-Nya.
Majelis ini hanya berlangsung hingga pukul sepuluh malam, paling telat pukul sebelas, itupun jika ada tamu-tamu ulama lain. Beliau khawatir jika pengajian selesai terlalu larut akan mengganggu aktivitas keseharian jamaah. Beliau memahami betul kesibukan para jamaah dengan profesiya masing-masing di tengah hiruk pikuk ibukota.
Setelah dirasa cukup, beliau menutup majelis dengan untaian doa yang menyentuh hati, berbahasa Indonesia yang puitis dan mudah dipahami. Lalu mengajak jamaah memanggil-manggil Nama Allah, “Yaa Allaahu Yaa Allaaah.. Yaa Allaahu Yaa Allaah..”. tak sedikit di antara jamaah yang berlinang deraian air mata.
Beliau seringkali menyampaikan suatu hadits leluhurnya, Baginda Muhammad saw., bahwasanya kiamat belum akan datang selama masih ada hamba-hamba-Nya yang merengek manja memanggil-manggil Nama-Nya.
Kini beliau telah kembali menuju kesejatian. Berkumpul bersama datuk dan leluhur yang sering menjenguknya dalam mimpi, Baginda Muhammad saw. Sebagaimana masyhur dikisahkan bahwa beliau akan ‘dijemput’ Rasulullah dalam usia kurang lebih empat puluh tahun. Maka nyatalah sekarang, beliau yang terlahir pada 23 Februari 1973 telah wafat pada hari ini, Ahad 15 September 2013 setelah sekian lama dirawat di rumah sakit.
Banyak kisah yang beredar tentang beliau, gerak-geriknya yang luhur nan santun, dakwahnya hingga ke pelosok Papua, keteguhannya berdakwah meski dalam keadaan sekarat, karamahnya yang nampak maupun tersembunyi. Namun tentunya, akhlaknyalah yang paling mempesona. Banyak dari kita yang akan rindu dengan kesejukan yang beliau tebar, kesantunan budi pekerti yang beliau teladankan, serta semangat mengabdi beliau yang begitu berkobar.
Kami sering mendengar kabar dari guru-guru kami, bahwa ciri orang saleh, atau bahkan waliyullah, adalah jika dipandang wajahnya maka akan menggetarkan sanubari, mengingatkan diri akan keagungan Allah. Maka kami bersaksi, sebagaimana kami saksikan dengan mata penuh dosa ini, bahwa beliau adalah salah satu dari pribadi-pribadi istimewa itu.
Akhirnya, sebagaimana doa dalam bait-bait akhir ad-Dhiyau al-Lami’ yang selalu beliau panjatkan;
يا رب واجمعنا و أحبابا لنا # في دارك الفردوس يا رجوانا
“Duhai Tuhan, kumpulkan kami dan kekasih-kekasih kami di dalam negeri Surga-Mu, duhai tumpuan harapan kami.”
Semoga kelak bisa mencium telapak tangan beliau yang lembut itu lagi. Allah Kariim [Akhmad Syofwandi]
No comments:
Post a Comment