Oleh : Turah Untung
“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru, namamu
akan selalu hidup, dalam sanubariku...” (syair lagu Pahlawan tanpa tanda jasa)
Cuplikan
lagu tersebut tentu sudah dikenal sejak kita di bangku sekolah dulu. Bahkan
seluruh bait lagu serta lirik dihafal benar dan mengerti artinya, namun belum
terasa menyentuh hati sanubari. Lirik ini hanya terasa di lisan saja, namun
belum masuk dalam hati. Belum menyatu, belum “nyurup” ke dalam sanubari.
Mungkin
karena itu, seorang teman guru menyebut dalam suatu kesempatan, “suatu saat
kamu akan mengerti”akan agungnya jasa guru dalam kehidupan kita. Mereka para
guru menitipkan bekal kepada kita berupa ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge).
Nantinya, kita pakai untuk meniti perjalanan hidup kita. Ilmu berguna seperti
cadangan air ketika dahaga. Atau, jadi sistem reserve ketika ukuran fuel bensin merah mentok ke kiri, bahkan
seperti bom waktu yang siap meledak melahirkan ide-ide brilian.
Memang
perlu waktu memahami jasa “sang pahlawan tanpa tanda jasa” ini. Sama lamanya pemahaman
kita, seperti saat kesabaran di dalam menuntut ilmu. Makanya, tidaklah kita
menjadi heran ketika Imam Ahmad, seorang ulama besar perawi hadits menyebut,
“Aku terus mempelajari permasalahan darah haid (tentang hadis darah haid)
selama sembilan tahun, sehingga aku memahaminya”. Mungkin masalahnya bukan
hanya waktu, tetapi juga perlunya “peristiwa” ini tuntas digali dan tentu atas`kehendak
Allah SWT agar ilmu “haid” ini dapat bermetamorfosa menjadi hikmah.
Kembali
kita membahas kata guru. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan guru
adalah orang yang pekerjaannya (atau mata pencahariannya, profesinya) mengajar.
Jika dalam Wikipedia, guru berasal
dari bahasa sansakerta yang secara harfiah berarti berat, namun dipahami juga
dihormati.
Secara
umum arti guru merujuk kepada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik atau muridnya.
Dalam
filosofi Jawa, guru dimaknai sanepo digugu
lan ditiru , artinya mereka selalu dicontoh dan dipanuti.
Sebaliknya
ada juga peribahasa guru kencing berdiri,
murid kencing berlari, artinya, apabila ada seorang guru melakukan
kesalahan walau sekecil biji sawi, maka murid akan mengikuti berbuat yang salah
juga sebesar buah semangka, malahan akan lebih. Peribahasa ini menekankan arti
penting guru dalam kehidupan hendanya sebagai contoh yang baik.
Dalam
Islam, guru memiliki beberapa istilah seperti mu’allim, mu’addib, murabbi, muddaris dan mursyid.
Istilah – istilah ini memiliki pengertian hampir sama. Mu’allim adalah dari
kata dasar “ilmu” yang berarti menangkap hakikat sesuatu. Dalam setiap “ilmu”
terdapat dimensi teori dan dimensi amal. Karena itu, guru sebagai pengajar,
penyampai ilmu pengetahuan secara teori, tetapi juga harus diselaraskan dengan
praktiknya.
Sebagaimana
dikandung dalam istilah mu’addib yang kata dasarnya adab, berarti etika dan
moral atau juga kemajuan. Konsepsi guru di sini lebih menekankan sebagai pembina
moralitas dan akhlak dengan keteladanan. Lain lagi penekanan istilah murabbi
berakar dari kata dasar Rabb, yang berarti menumbuhkembangkan, memelihara alam,
karena itu guru hendaknya menekankan bagi pengembangan dan pemeliharaan, baik
aspek jasmani maupun rohani.
Istilah
muddaris berakar kata darasa-yadrusu-darsan
wadurusan wadirasatan yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus,
menjadikan usang, melatih, atau mempelajari.
Dilihat
dari pengertian ini, maka tugas guru adalah berusaha mencerdaskan peserta
didik dengan menghilangkan ketidaktahuan atau menghapus kebodohan mereka, serta
melatih keterampilan mereka.
Sementara
istilah mursyid biasa digunakan untuk guru dalam Thariqah atau kelompok yang menganut mazhab tertentu. Sedangkan
istilah yang umum dipakai dan memiliki cakupan makna luas dan netral adalah
ustadz yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “guru”.
Seseorang
yang melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diyakini. Dan apa yang diyakini
tersebut sangat bergantung dari apa yang dia ketahui. Dalam bahasa yang lain;
amal perbuatan sangat bergantung pada iman, dan iman bergantung pula pada
ilmu. Betapa penting posisi ilmu, oleh karena itu dalam Islam sangat
mengedepankan orang-orang yang berilmu.
Dari
Abi Darda, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda”, “Barang siapa yang menempuh suatu jalan
dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju
surga, dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya karena ridho
(rela) terhadap orang yang mencari ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencari
ilmu akan memintakan bagi mereka siapa - siapa yang ada di langit dan di
bumi bahkan ikan-ikan yang ada di air. Dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu
atas orang yang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas
seluruh cahaya bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para Nabi,
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mereka
mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil bagian untuk mencari ilmu,
maka dia sudah mengambil bagian yang besar (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud,
dan Ibnu Majjah)
Telah
bersabda Rasulullah saw, “Jadilah engkau
orang yang berilmu (pandai), atau orang yang belajar, atau orang yang mau
mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi
orang yang kelima maka kamu akan celaka (HR. Baihaqi)
(Turah Untung
adalah Staf Pemkot Tegal)
No comments:
Post a Comment