Berbicara tentang jihad, anggapan masyarakat selalu pesimis dan
kadang menakutkan. Bagaimana tidak, selama ini orang-orang yang menyuarakan “jihad” dianggap sangat
merugikan dan menghantui kehidupannya.
Salah satu contoh adalah ISIS (Islamic State of Irak and Syiria)
yang kita kenal sekarang sebagai kelompok radikal yang menjadikan kelompoknya
untuk berjihad. Tujuannya adalah untuk menegakkan kembali sistem ke-Khalifahan
di muka bumi. Tetapi anehnya, kelakuan anarkis dan biadab terhadap manusia yang
tidak berdosa juga menjadi sasaran mereka, hanya karena alasan jihad.
Perlu kita pahami makna jihad yang kita adopsi dari Al-Quran, yang
di dalamnya ternyata tidak hanya berbicara masalah “perang”. Kata jihad berasal
dari kata “jahd” yang berarti “sulit/sukar”, maka, hal sulit itu menghasilkan
kerja keras dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat berasal dari
kata “juhd” yang berarti “kemampuan”. Karena menuntut kemampuan, maka harus
dilakukan sesuai kemampuan. Dari definisi ini kita bisa melihat sebuah ayat
Al-Quran:
“Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali ‘Imran [3]: 142)”.
Dari definisi di atas, dapat dimaknai bahwa seseorang akan
memperoleh Rahmat Allah (Surga), jika telah dibebani ujian yang dengan ujian
itu ia hadapi dengan segala kemampuannya. Juga disini jelas bahwa jihad itu
sulit dan memerlukan kesabaran.
Sebagai seorang mukmin, jihad merupakan kewajiban. Jihad juga
merupakan pengejawantahan dari kepibadian mukmin itu sendiri. Oleh karenanya tidak
dibenarkan jika ia bertentangan dengan fitrah manusia. Jihad yang dijelaskan
dalam al-Quran adalah jihad yang sebenar-benarnya dengan tidak adanya unsur
kebatilan.
Terkait dengan makna jihad yang disalahpahami oleh mukminun dan
mukminat kita sekarang ini, karena bersumber dari sejarah dan pemahaman
terhadap ayat-ayat jihad yang biasanya disandingkan dengan kata “anfusakum”.
Apalagi didukung dengan turunnya ayat ini ketika kaum Quraisy menyerang kaum
Muslimin. Padahal, perintah berjihad sesungguhnya telah diperintahkan jauh
sebelum “ayat-ayat perang” diperintahkan.
Yang menarik, kata “anfus” ini subur dalam pemahaman kita yang
diartikan “jiwa”. Sehingga menimbulkan pemahaman yang sempit dari jihad itu
sendiri. Padahal, kata “anfus” yang mufradnya “nafs” dapat berarti nyawa, hati,
jenis dan secara umum “totalitas manusia”. Jika totalitas manusia, seharusnya
mencakup nyawa, emosi, pikiran, pengetahuan bahkan waktu dan tempat juga
berkaitan.
Perlu diketahui, karena konteksnya ketika itu Nabi mendapat ancaman
dan tindakan kasar dari kafir Quraisy, maka kata “jihad” ketika itu berhubungan
erat dengan “perang”. Sedangkan konteks sekarang, orang-orang akan terlindungi
jika mendapat ancaman dan tindakan yang tidak berprikemanusiaan, dan dapat menempuh jalur hukum atau melaporkan ke pihak berwenang, sehingga makna
jihad sekarang tidak lagi singkron dengan “perang”.
Peran jihad yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang mukmin adalah
dengan mengupayakan segenap kemampuannya untuk mencapai tujuannya yang berimplikasi
pada kebaikan dirinya. Terbukti, Rasul dalam sebuah kesempatan mengatakan,
ketika pulang dari sebuah peperangan:
“Kita baru kembali dari jihad kecil ke jihad yang besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.
Artinya, seorang Mukmin yang berjihad harus memulai dari dirinya
sendiri dan mengoptimalisasikan kepribadian dan akhlaknya, sehingga tercermin
buat masyarakat dan bangsanya.
Oleh : Ahmad Muzhaffar (Santri Komplek Al-Kandiyas, Al-Munawwir
Krapyak)
No comments:
Post a Comment