Oleh Prof. Dr. Mahmoud Hamdi Zaqzouq
Dalam pandanngan islam, perempuan memiliki
kemandirian penuh dan terbebaskan dalam mengatur hak-hak ekonominya. Kaum
perempuan yang memenuhi standar kompetensi penggunaan harta (Ahliayah
at-tasharruf) memiliki kebebasan mutlak dalam penggunaan harta miliknya, dan
tidak memerlukan izin dari pihak lelaki, baik dalam bentuk transaksi jual-beli,
hibah, investasi maupun bentuk-bentuk transaksi lainnya. Lebih dari itu,
seorang suami, atau lelaki manapun dari sanak kerabat, tidak berhak menggunakan
harta milik seorang istri atau saudari perempuan mereka, tanpa izin darinya.
Sesungguhnya
kaum lelaki-bahkan seorang bapak sekalipun-tidak berhak memaksa seorang
perempuan untuk menikah dengan pria yang tidak disenanginya. Suatu perkawinan
hendaknya dilakukan atas dasar kerelaan dan persetujuan calon mempelai
perempuan.
Mari
kita melihat hal ini dari tradisi kenabian. Suatu kali, seorang gadis
mendatangi Nabi SAW, dan mengadukan bapaknya yang memaksanya untuk menikah dengan
putra pamannya yang tidak dicintainya, dengan harapan akan mengangkat status
sosialnya dengan perkawinan tersebut. Nabi SAW, kemudian memanggil sang bapak
dan memberikan kebebasan bagi sang putri untuk menolak atau menerima perjodohan
tersebut. Ketika putri tersebut memutuskan dengan kehendaknya sendiri untuk
menerima perjodohan itu, ia berkata, “ Wahai Rasulullah, aku memang rela
melaksanakan rencana ayahku, tetapi aku ingin kaum perempuan tahu, bahwa
sesungguhnya tak ada hak sedikitpun bagi seorang bapak ( untuk memaksakan
kehendak mereka atas putri-putri mereka).” (HR Bukhari dalam kitab an-nikah ).
Dari riwayat ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa seorang bapak tidak memiliki
hak untuk memaksa putri mereka dalam suatu perkawinan yang tidak diinginkannya.
Seorang
istri adalah partner suami dalam menjalankan urusan-urusan kerumahtanggaan,
juga dalam pembinaan dan pendidikan putra-putri mereka. Suatu mahligai rumah
tangga mustahil dapat berdiri tegak tanpa adanya kerjasama dan partisipasi yang
baik dari kedua belah pihak. Jika salah satu
pihak-baik suami maupun istri- tidak melaksanakan perannya secara baik
dan proporsional, niscaya akan membuat oleng bahtera rumah-tangga, dan akhirnya
akan berdampak negatif bagi perkembangan anak-anak mereka. Oleh karenanya, Nabi
SAW,. Berpesan kepada para suami dan istri untuk masing-masing menyadari
tanggung jawab bersama mereka dalam membina mahligai rumah tangga. Rasulullah
SAW bersabda :
“Kalian
semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintakan pertanggungjawaban atas
kepemimpinan kalian. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab
atas apa yang di pimpinnya. Seorang lelaki adalah pemimpin, dan ia
bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin dalam
rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” ( HR Bukhari dan Muslim)
Penegasan
hadist di atas tentang adanya tanggung jawab seorang istri, sesungguhnya telah
membantah tuduhan bahwa isalm memosisikan kaum perempuan di bawah subordiansi
kaum lelaki. Sebab, suatu tanggungjawab meniscayakan adanya kebebasan. Dan
kebebasan tidak memiliki makna apa-apa dalam keterkekangan atau kondisi
tersubordinasi.
Dalam
islam, seorang suami tidak di perkenankan melarang istrinya yang ingin memenuhi
hak-hak hidupnya. Sebagaiamana seorang suami juga tidak berhak melarang seorang
istri untuk beribadah di masjid. Dalam hal ini, Rasulullah SAW. Pernah
bersabda:
“Janganlah
kalian melarang hamba perempuan-hamba perempuan Allah untuk shalat di
masjid-masjid Allah!” ( HR. Ibnu
majah dalam muqoddimah sunan-nya, Juz I, hal 8.)
Sebagaimana pesan Ustad Muhammad Wahyudi (Kanthongumur): "Wahai wanita janganlah engkau berkecil hati Iqlima saudara qobil beriman dan menjadi istri dari habil yang juga beriman, sedangkan saudaranya yang bernama qobil tidaklah beriman. Siti hajar istri nabi ibrohim mampu membesarkan dan mendidik ismail putranya sendirian. Siti Asiyah istri fir'aun yang mendidik Musa ketika kecil beriman, sedangkan suaminya mengaku sebagai tuhan."
"Siti maryam ibu Nabi Isa merupakan ahli ibadah, sampai Nabi Zakaria pun bertawassul atasnya dalam berdoa meminta putra. Akhirnya Nabi Zakaria dianugrahi seorang putra bernama Yahya.
Robiah Al-Adawiyyah adalah wali ALLOH yang memperoleh derajat mahabbah (ŁŲŲØŁŁ ŁŁŲŲØŁŁŁ)"
No comments:
Post a Comment